Stories - 21 November 2023

Kisah Kutukan Pelat Nomor #1 MotoGP Hantui Pecco

Kendati juara dunia berhak untuk menggunakan nomor wahid, sejarah era MotoGP modern membuktikan belum pernah ada motor dengan pelat nomor 1 menjadi juara bertahan

Context.id, JAKARTA - Langkah juara bertahan MotoGP, Francesco 'Pecco' Bagnaia (Ducati Lenovo) mempertahankan gelarnya pada musim 2023 akan menantang, salah satunya karena banyak orang percaya mitos pelat nomor #1 benar-benar nyata.

Sebagai informasi, Pecco masih harus bersaing dengan sang penantang, Jorge Martin (Prima Pramac Ducati) pada seri penutup musim, di mana seri ke-20 itu akan berlangsung di GP Valencia pekan depan.

Selepas seri ke-19 di GP Qatar pada akhir pekan lalu, Pecco selaku juara bertahan masih memimpin klasemen dengan 437 poin, terpaut 21 poin terhadap Martin di peringkat ke-2 yang mengumpulkan 416 poin. 

Menilik lagi awal musim ini, keputusan Pecco untuk memilih pelat nomor #1 dan menanggalkan nomor khasnya #63, disebut-sebut sebagai langkah nekat oleh banyak kalangan. 

Tak heran, kendati juara dunia berhak untuk menggunakan nomor wahid, sejarah era MotoGP modern membuktikan bahwa belum pernah ada motor dengan pelat nomor #1 yang bisa mempertahankan juara pada musim berikutnya.

Terakhir kali pemegang nomor #1 berhasil mempertahankan gelar juara dunia adalah Mick Doohan pada era motor 500cc 2 tak. Itu pun minus musim 1999. 

Pasalnya, setelah pada 1998 menjadi juara dunia dan memilih pelat nomor #1, Doohan mengalami cedera serius pada sesi latihan di seri ke-3, tepatnya di GP Spanyol 1999. Pada musim itu, rekan setim Doohan di Repsol Honda, Alex Criville yang menjadi juara dunia. 

Berlanjut ke musim 2000, Criville yang mengambil nomor #1 justru mengalami musim terburuk karena beberapa kali sakit dan motornya kerap mengalami gangguan teknis. Giliran pembalap legendaris Suzuki, Kenny Roberts Jr. yang menjadi juara dunia. 

Skema yang sama kembali terjadi pada musim 2001, di mana Kenny Roberts Jr. yang mengambil nomor urut #1 banyak mengalami gangguan teknis. Motor Suzuki waktu itu seperti serasa motor medioker lagi, entah apa alasannya. 

Alhasil, pada musim itu, seorang bocah yang kelak menjadi legenda MotoGP, Valentino Rossi, berhasil menjadi jawara untuk pertama kali berbekal motor tim satelit Nastro Azzurro Honda.   

Sejak saat itu, pemegang pelat nomor #1 dianggap sering ketiban sial. Oleh karenanya, Valentino Rossi pun memilih tetap setia dengan nomor #46 walaupun sudah beberapa kali menjadi juara dunia. 

Masih belum percaya kutukan nomor #1 itu nyata? MotoGP era modern mencatat setidaknya 4 ada kasus serupa soal kesialan pengguna nomor #1. 

Pertama, juara dunia MotoGP 2006 Nicky Hayden hanya bisa menonton dari jauh perebutan gelar antara Casey Stoner, Dani Pedrosa, dan Valentino Rossi pada musim 2007. Bahkan, Hayden tak pernah menang lagi pada musim ini. Prestasi terbaiknya hanya naik podium 3 kali.

Kedua, Stoner yang waktu itu berhasil menjadi juara dunia dan memakai nomor #1 pada musim 2008, gagal mempertahankan gelarnya yang kembali direbut oleh Rossi. 

Ketiga, rekan setim Rossi di Yamaha, Jorge Lorenzo yang menjadi juara dunia pada 2010, mencoba memakai nomor #1 pada musim 2011. Gelar juara pun berpindah lagi ke Stoner yang kala itu memperkuat Repsol Honda.

Stoner ternyata belum kapok memakai nomor #1 di motornya pada musim 2012, dan benar saja, Lorenzo justru berhasil merebut lagi tahta MotoGP. Setelah itu, Lorenzo yang kapok memakai pelat nomor #1, dan mempertahankan nomor khasnya, #99. 

Setelah itu, sama seperti Rossi, Marc Marquez pun tak berani memakai nomor #1 sehingga tetap menggunakan #93 sepanjang karier dominannya di MotoGP. Juara dunia lain, Joan Mir dan Fabio Quartararo pun lebih memilih bertahan dengan nomor khasnya masing-masing, #36 dan #20.

Adapun, Pecco sang juara dunia 2022 terbilang mendominasi pada awal musim ini dengan motor nomor #1, sehingga dipercaya sebagai orang yang mampu mendobrak kutukan. 

Namun, sejak pertengahan musim, Martin mulai terus mengejar, terutama pada sesi-sesi Sprint Race. Sementara Pecco terbilang terlalu santai, walaupun konsisten berada di barisan depan. 

Sebagai gambaran, pada sesi sprint race di setiap hari Sabtu, Martin lebih banyak unggul. Sebutan Raja Sprint pun sudah layak diatribusikan kepada Martin yang telah naik podium 13 kali dan menang 7 kali. Adapun, Pecco juga naik podium sprint 13 kali, tapi hanya menang 4 kali.

Sebaliknya, apabila bicara sesi balapan utama di hari Minggu, Pecco terbilang konsisten dengan naik podium 14 kali dari total 19 seri, dengan 6 di antaranya merupakan podium kemenangan. Adapun, Martin naik podium 8 kali, dengan hanya 4 di antaranya merupakan kemenangan.

Lewat tren tersebut, jarak keduanya pun terus menipis sampai pengukuhan juara harus terjadi sampai seri balapan final. Sejak saat itu, mulai muncul kembali tanda tanya besar, apakah kutukan nomor #1 benar-benar nyata?


Penulis : Aziz Rahardyan

Editor   : Wahyu Arifin

MORE  STORIES

Perebutan Likuiditas di Indonesia, Apa Itu?

Likuditas adalah kemampuan entitas dalam memenuhi kewajiban finansialnya yang akan jatuh tempo

Noviarizal Fernandez | 26-07-2024

Suku Inuit di Alaska, Tetap Sehat Walau Tak Makan Sayur

Suku Inuit tetap sehat karena memakan banyak organ daging mentah yang mempunyai kandungan vitamin C, nutrisi, dan lemak jenuh tinggi

Context.id | 26-07-2024

Dampingi Korban Kekerasan Seksual Malah Terjerat UU ITE

Penyidik dianggap tidak memperhatikan dan berupaya mencari fakta-fakta yang akurat berkaitan dengan kasus kekerasan seksual

Noviarizal Fernandez | 26-07-2024

Ini Aturan Penggunaan Bahan Pengawet Makanan

Pengawet makanan dari bahan kimia boleh digunakan dengan batas kadar yang sudah ditentukan BPOM

Noviarizal Fernandez | 25-07-2024