Stories - 14 November 2023

Medsos Ini Dianggap Berbahaya Bagi Pemimpin Politik

Penelitian menunjukkan TikTok memiliki fitur keamanan data yang paling rentan, sementara Facebook dan Instagram paling banyak menambang data pengguna

Context.id, JAKARTA - Di era kemajuan teknologi informasi yang begitu cepat dan produknya seperti media sosial diakses oleh ratusan juta orang, sepertinya kerahasiaan data pribadi menjadi sesuatu hal yang sulit untuk dilindungi. 

Selama beberapa tahun belakangan, kita selalu disodori informasi mengenai bocornya data pribadi di perbankan yang diperjualbelikan di pasar online gelap, atau berita peretasan lembaga negara di beberapa sektor vital. 

Cerby, perusahaan keamanan Siber dalam sebuah penelitiannya seperti dilansir dari Infosecurity mengungkapkan bahwa TikTok adalah platform media sosial yang paling tidak aman di bandingkan Twitter, Instagram, Facebook, dan YouTube.

Penilaian ini menggunakan enam parameter. Parameter-parameter ini adalah metode otentikasi dua faktor, otentikasi tingkat perusahaan, kontrol akses berbasis peran, profil penggunaan akun, privasi, dan keamanan yang siap pakai.

Dari penelitian itu, Facebook mendapatkan nilai tertinggi yaitu 3,74, diikuti oleh YouTube dengan nilai 3,15. X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter mendapatkan skor yang kurang mengesankan yaitu 2,95, sedangkan Instagram lebih buruk lagi dengan skor 2,78.

TikTok mendapatkan skor yang paling rendah yaitu sebesar 2,5, yang tampaknya menunjukkan bahwa platform ini sangat tertinggal di salah satu area paling kritis yang seharusnya menjadi fokusnya.

Melansir dari Digital Information World, Cerby menyarankan para pemimpin politik atau kepala negara menghindari penggunaan platform dengan peringkat di bawah 2,6 seperti TikTok karena berpotensi membahayakan mereka.

Perlu diketahui bahwa skor rata-rata untuk platform media sosial hanya 2,54 pada tahun 2022, tetapi telah meningkat 18,9% menjadi 3,02 tahun ini.

Sebelumnya, seperti dilansir dari Bisnis, Skotlandia memutuskan untuk mengambil tindakan penghapusan TikTok ini usai seorang anggota parlemen menunjukkan kekhawatiran tentang cara TikTok memproses dan menyimpan data pengguna, terutama terkait dengan privasi dan keamanan. 

Selain Skotlandia, sejumlah negara telah lebih dulu mengambil tindakan tegas dengan membatasi penggunaan TikTok di negara mereka. Sebut saja Amerika Serikat dan India.

AS mengeluarkan perintah eksekutif pada 2020 yang melarang TikTok dan aplikasi serupa lainnya, seperti WeChat beroperasi di negara itu karena alasan keamanan nasional. 

India juga memberlakukan kebijakan serupa pada tahun yang sama setelah meningkatnya ketegangan perbatasan antara India dan China, negara asal TikTok.

Langkah ini juga diambil sebagai tindakan pencegahan terhadap potensi pelanggaran data atau serangan siber yang mungkin terjadi pada perangkat di dalam gedung parlemen.

Penelitian terkait medsos juga menemukan banyak aplikasi untuk ponsel pintar yang gencar meminta akses akan data pribadi pengguna. Instagram dan Facebook yang menempati posisi teratas.

Penelitian ini dilakukan oleh TRG Datacenters yang meneliti 100 aplikasi teratas di iOS App Store dan Google Play Store. Mereka ingin mengetahui aplikasi mana yang paling banyak meminta izin untuk mengakses informasi pengguna.

Hasilnya menunjukkan bahwa keluarga aplikasi Meta seperti Facebook, Instagram, dan Messenger menduduki peringkat teratas di kedua platform tersebut. 

Aplikasi-aplikasi ini meminta akses ke 14 jenis data pengguna yang berbeda untuk dapat berfungsi sepenuhnya. Ini termasuk detail pribadi seperti lokasi, riwayat penelusuran, kontak, dan banyak lagi.

Aplikasi lain yang masuk dalam daftar teratas termasuk LinkedIn dan YouTube misanya masing-masing membutuhkan 12 izin. Meskipun jaringan profesional LinkedIn tidak meminta akses riwayat penelurusan.

Sedangkan aplikasi TikTok yang ditengarai menambang secara ilegal data pengguna hanya meminta 11 izin di iOS. Ini 3 lebih sedikit dari platform saingannya Facebook dan Instagram


Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

MORE  STORIES

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id | 29-10-2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id | 29-10-2024

Dari Pengusaha Menjadi Sosok Dermawan; Tren Filantropis Pendiri Big Tech

Banyak yang meragukan mengapa para taipan Big Tech menjadi filantropi, salah satunya tudingan menghindari pajak

Context.id | 28-10-2024

Dari Barak ke Ruang Rapat: Sepak Terjang Lulusan Akmil dan Akpol

Para perwira lulusan Akmil dan Akpol memiliki keterampilan kepemimpinan yang berharga untuk dunia bisnis dan pemerintahan.

Context.id | 28-10-2024