Layanan SAPA 129 Respon Cepat Laporan Kekerasan Anak
Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah menyediakan layanan SAPA 129 untuk respon cepat pelayanan laporan kekerasan terhadap anak.
Context.id, JAKARTA - Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah menyediakan layanan SAPA 129 sebagai senjata untuk menangani maraknya kasus kekerasan terhadap anak.
Layanan ini hadir selama 24 jam dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja untuk kepentingan menjaga dan melindungi anak-anak di Indonesia dari kasus kekerasan.
Pribudiarta Nur Sitepu, Sekretaris Kementerian PPPA menegaskan bahwa anak yang terlibat dengan kasus kekerasan, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku kekerasan, sejatinya merupakan korban dari ekosistem yang tidak memungkinkan mereka bertumbuh sebagaimana mestinya.
Hal itu sudah tertera dengan jelas dalam UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Untuk itu, lanjutnya, diperlukan kepedulian dan peran bersama-sama demi mewujudkan ekosistem yang ramah bagi anak, termasuk mencegah dan menghentikan kasus kekerasan terhadap anak.
“Karena itulah, kemudian Kementerian PPPA mengembangkan berbagai instrumen untuk tempat mengadu yang kita sebut SAPA 129, atau Sahabat Perempuan dan Anak 129. Ini untuk mengadu kalau ada masalah. Kemudian juga call center di 08111129129,” ujanya dalam diskusi bertajuk “Negara Hadir Atasi Darurat Kekerasan Anak”, Senin (13/11/2023),
Dia menambahkan bahwa call center SAPA 129 tersebut dilengkapi dengan tim untuk dapat merespons berbagai aduan yang masuk.
Tim yang bernama UPTD PPA tersebut akan merespon secara tepat dan berjenjang sesuai dengan batas wilayah kasus yang terjadi.
Budi berharap dengan kehadiran instrumen pelaporan tersebut, pihaknya bersama dengan seluruh elemen masyarakat dapat bahu membahu mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak dan menekan perkembangannya.
“Karena ternyata kasusnya itu sangat bervariasi, mulai dari kasus yang simpel sampai yang rumit, kompleks, yang penanganannya ternyata tidak bisa diselesaikan hanya di wilayah itu karena dia sifatnya lintas wilayah. Dan, untuk masalah-masalah batas wilayah ini penyelesaiannya oleh pembina wilayah yang lebih tinggi, misalnya provinsi untuk lintas kabupaten dan untuk nasional oleh Kementerian PPPA,” ucapnya.
Dia menyebutkan bahwa penanganan anak korban maupun pelaku kekerasan dilakukan secara one stop service.
Sehingga, langkah penanganannya dilakukan secara holistik yang meliputi, pengaduan, pelayanan medis dan penegakan hukum - apabila terjadi kekerasan fisik, yang kemudian dilanjutkan dengan proses rehabilitasi.
Selain penanganan kasus yang telah terjadi, Budi juga menegaskan pentingnya langkah mitigasi untuk mencegah munculnya kasus kekerasan terhadap anak.
“Pendampingan dari UPTD tidak ada biayanya, sebagaimana arahan presiden. Namun, anak yang mengalami kekerasan itu harus ditangani secara tuntas. Sampai dia bisa kembali lagi masuk ke dalam keluarganya atau lingkungannya itu kadang-kadang memakan proses yang lama dan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk rehabilitasinya,” tegasnya.
Dia menegaskan bahwa pencegahan dapat dilakukan apabila seluruh pihak di dalam ekosistem betul-betul menyadari dan memahami tentang kekerasan terhadap anak.
Terutama ekosistem sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat, di mana anak-anak banyak menghabiskan waktunya setiap hari.
“Ekosistem sekolah, orang tua, pengasuh, menjadi penting. Tentunya harus mampu untuk mencegah terjadinya kekerasan dan agar anak tidak kemudian terjebak menjadi korban atau terjebak menjadi pelaku,” katanya.
RELATED ARTICLES
Layanan SAPA 129 Respon Cepat Laporan Kekerasan Anak
Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah menyediakan layanan SAPA 129 untuk respon cepat pelayanan laporan kekerasan terhadap anak.
Context.id, JAKARTA - Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah menyediakan layanan SAPA 129 sebagai senjata untuk menangani maraknya kasus kekerasan terhadap anak.
Layanan ini hadir selama 24 jam dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja untuk kepentingan menjaga dan melindungi anak-anak di Indonesia dari kasus kekerasan.
Pribudiarta Nur Sitepu, Sekretaris Kementerian PPPA menegaskan bahwa anak yang terlibat dengan kasus kekerasan, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku kekerasan, sejatinya merupakan korban dari ekosistem yang tidak memungkinkan mereka bertumbuh sebagaimana mestinya.
Hal itu sudah tertera dengan jelas dalam UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Untuk itu, lanjutnya, diperlukan kepedulian dan peran bersama-sama demi mewujudkan ekosistem yang ramah bagi anak, termasuk mencegah dan menghentikan kasus kekerasan terhadap anak.
“Karena itulah, kemudian Kementerian PPPA mengembangkan berbagai instrumen untuk tempat mengadu yang kita sebut SAPA 129, atau Sahabat Perempuan dan Anak 129. Ini untuk mengadu kalau ada masalah. Kemudian juga call center di 08111129129,” ujanya dalam diskusi bertajuk “Negara Hadir Atasi Darurat Kekerasan Anak”, Senin (13/11/2023),
Dia menambahkan bahwa call center SAPA 129 tersebut dilengkapi dengan tim untuk dapat merespons berbagai aduan yang masuk.
Tim yang bernama UPTD PPA tersebut akan merespon secara tepat dan berjenjang sesuai dengan batas wilayah kasus yang terjadi.
Budi berharap dengan kehadiran instrumen pelaporan tersebut, pihaknya bersama dengan seluruh elemen masyarakat dapat bahu membahu mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak dan menekan perkembangannya.
“Karena ternyata kasusnya itu sangat bervariasi, mulai dari kasus yang simpel sampai yang rumit, kompleks, yang penanganannya ternyata tidak bisa diselesaikan hanya di wilayah itu karena dia sifatnya lintas wilayah. Dan, untuk masalah-masalah batas wilayah ini penyelesaiannya oleh pembina wilayah yang lebih tinggi, misalnya provinsi untuk lintas kabupaten dan untuk nasional oleh Kementerian PPPA,” ucapnya.
Dia menyebutkan bahwa penanganan anak korban maupun pelaku kekerasan dilakukan secara one stop service.
Sehingga, langkah penanganannya dilakukan secara holistik yang meliputi, pengaduan, pelayanan medis dan penegakan hukum - apabila terjadi kekerasan fisik, yang kemudian dilanjutkan dengan proses rehabilitasi.
Selain penanganan kasus yang telah terjadi, Budi juga menegaskan pentingnya langkah mitigasi untuk mencegah munculnya kasus kekerasan terhadap anak.
“Pendampingan dari UPTD tidak ada biayanya, sebagaimana arahan presiden. Namun, anak yang mengalami kekerasan itu harus ditangani secara tuntas. Sampai dia bisa kembali lagi masuk ke dalam keluarganya atau lingkungannya itu kadang-kadang memakan proses yang lama dan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk rehabilitasinya,” tegasnya.
Dia menegaskan bahwa pencegahan dapat dilakukan apabila seluruh pihak di dalam ekosistem betul-betul menyadari dan memahami tentang kekerasan terhadap anak.
Terutama ekosistem sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat, di mana anak-anak banyak menghabiskan waktunya setiap hari.
“Ekosistem sekolah, orang tua, pengasuh, menjadi penting. Tentunya harus mampu untuk mencegah terjadinya kekerasan dan agar anak tidak kemudian terjebak menjadi korban atau terjebak menjadi pelaku,” katanya.
POPULAR
RELATED ARTICLES