Share

Home Stories

Stories 23 Oktober 2023

MK Bentuk Majelis Kehormatan Sidangkan Persoalan Etik

Mahkamah Konstitusi sudah memilih anggota Majelis Kehormatan yang akan menilai soal dugaan pelanggaran etik terkait uji materi soal usia capres-cawapres

Context.id, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Senin (23/10).

Pembentukan ini buntut dari banyaknya laporan dari masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, terutama terkait dengan putusan yang menyangkut bolehnya kepala daerah di bawah 40 tahun untuk maju capres-cawapres.

Juru Bicara Bidang Perkara MK Enny Nurbaningsih menyebutkan tiga anggota MKMK yaitu Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams.

"Berkaitan dengan MKMK, siapa saja yang menjadi bagian dari keanggotaan MKMK, kami dalam Rapat Permusyawaratan Hakim telah menyepakati yang akan menjadi bagian MKMK yaitu Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams," kata Enny di Gedung MK, Jakarta.

Keanggotaan itu merupakan perwakilan dari tiga unsur. Jimly mewakili unsur tokoh masyarakat sekaligus mantan Ketua MK, Bintan mewakili akademisi sedangkan Wahiduddin mewakili hakim konstitusi yang masih aktif sesuai dengan UU No 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sejumlah lembaga telah melaporkan dugaan pelanggaran etik hakim MK, salah satunya Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) yang melaporkan lima dari sembilan hakim MK kepada Dewan Etik Hakim Konstitusi, Kamis (19/10/2023).

Pelaporan kelima hakim MK ini terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim pada putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Lima hakim yang dilaporkan PBHI ke Dewan Etik Hakim Konstitusi yakni Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah.

Publik tentu berharap sosok yang dipilih untuk mengisi posisi MKMK ialah figur berintegritas. Sosok berintegritas itu juga harus bisa independen dan imparsial saat menangani kasus dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi.

Sejauh ini, MK sudah menerima empat laporan atau pengaduan dugaan pelanggaran etik terkait dengan putusan 90/PUU-XXI/2023 yang disampaikan masyarakat.

Adapun dalam putusan nomor 90 itu, MK menyatakan, meskipun belum menginjak usia 40 tahun, seseorang dapat mengajukan diri dalam kontestasi pemilihan presiden asalkan pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Putusan itu tidak bulat. Dari sembilan hakim konstitusi, dua hakim mengajukan alasan berbeda, sedangkan empat hakim mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.

Dalam siaran persnya, MK memandang pengaduan itu sebagai bentuk perhatian publik kepada institusi tersebut. Lembaga tersebut juga komitmen untuk mendukung seluruh proses penanganan yang akan dilakukan oleh Majelis Kehormatan secara transparan.

Adapun terkait dengan dampak putusan etik itu terhadap tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden yang masih bergulir, selama ini putusan etik tidak pernah memengaruhi putusan perkara substantif. 

Namun jika terbukti ada pelanggaran etik yang fatal semisal intervensi pihak lain agar menguntungkan pihak tertentu bisa jadi diarahkan ke ranah pidana. Terlebih lagi jika ada indikasi suap.

Seperti diketahui, ramainya sorotan kepada MMK dikarenakan adanya dugaan kepentingan untuk memperjuangkan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, dalam pemilihan capres-cawapres 2024.

Gibran yang saat ini menjabat Wali Kota Surakarta merupakan keponakan dari istri Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan adik kandung dari Presiden Jokowi



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 23 Oktober 2023

MK Bentuk Majelis Kehormatan Sidangkan Persoalan Etik

Mahkamah Konstitusi sudah memilih anggota Majelis Kehormatan yang akan menilai soal dugaan pelanggaran etik terkait uji materi soal usia capres-cawapres

Context.id, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Senin (23/10).

Pembentukan ini buntut dari banyaknya laporan dari masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, terutama terkait dengan putusan yang menyangkut bolehnya kepala daerah di bawah 40 tahun untuk maju capres-cawapres.

Juru Bicara Bidang Perkara MK Enny Nurbaningsih menyebutkan tiga anggota MKMK yaitu Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams.

"Berkaitan dengan MKMK, siapa saja yang menjadi bagian dari keanggotaan MKMK, kami dalam Rapat Permusyawaratan Hakim telah menyepakati yang akan menjadi bagian MKMK yaitu Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams," kata Enny di Gedung MK, Jakarta.

Keanggotaan itu merupakan perwakilan dari tiga unsur. Jimly mewakili unsur tokoh masyarakat sekaligus mantan Ketua MK, Bintan mewakili akademisi sedangkan Wahiduddin mewakili hakim konstitusi yang masih aktif sesuai dengan UU No 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sejumlah lembaga telah melaporkan dugaan pelanggaran etik hakim MK, salah satunya Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) yang melaporkan lima dari sembilan hakim MK kepada Dewan Etik Hakim Konstitusi, Kamis (19/10/2023).

Pelaporan kelima hakim MK ini terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim pada putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Lima hakim yang dilaporkan PBHI ke Dewan Etik Hakim Konstitusi yakni Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah.

Publik tentu berharap sosok yang dipilih untuk mengisi posisi MKMK ialah figur berintegritas. Sosok berintegritas itu juga harus bisa independen dan imparsial saat menangani kasus dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi.

Sejauh ini, MK sudah menerima empat laporan atau pengaduan dugaan pelanggaran etik terkait dengan putusan 90/PUU-XXI/2023 yang disampaikan masyarakat.

Adapun dalam putusan nomor 90 itu, MK menyatakan, meskipun belum menginjak usia 40 tahun, seseorang dapat mengajukan diri dalam kontestasi pemilihan presiden asalkan pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Putusan itu tidak bulat. Dari sembilan hakim konstitusi, dua hakim mengajukan alasan berbeda, sedangkan empat hakim mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.

Dalam siaran persnya, MK memandang pengaduan itu sebagai bentuk perhatian publik kepada institusi tersebut. Lembaga tersebut juga komitmen untuk mendukung seluruh proses penanganan yang akan dilakukan oleh Majelis Kehormatan secara transparan.

Adapun terkait dengan dampak putusan etik itu terhadap tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden yang masih bergulir, selama ini putusan etik tidak pernah memengaruhi putusan perkara substantif. 

Namun jika terbukti ada pelanggaran etik yang fatal semisal intervensi pihak lain agar menguntungkan pihak tertentu bisa jadi diarahkan ke ranah pidana. Terlebih lagi jika ada indikasi suap.

Seperti diketahui, ramainya sorotan kepada MMK dikarenakan adanya dugaan kepentingan untuk memperjuangkan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, dalam pemilihan capres-cawapres 2024.

Gibran yang saat ini menjabat Wali Kota Surakarta merupakan keponakan dari istri Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan adik kandung dari Presiden Jokowi



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Sushila Karki, Perdana Menteri Perempuan Pertama di Nepal

Setelah meredanya gelombang protes di Nepal, Sushila Karki ditunjuk sebagai Perdana Menteri Sementara dan disebut menandakan tumbuhnya kepercayaan ...

Renita Sukma . 16 September 2025

Penembak Aktivis Charlie Kirk Ditangkap Setelah 33 Jam Diburu

Tyler Robinson, pria 22 tahun dari Utah, berhasil ditangkap setelah buron 33 jam atas tuduhan membunuh aktivis konservatif Charlie Kirk

Renita Sukma . 14 September 2025

Setelah Penggerebekan Imigrasi AS, Pekerja Korea Selatan Dipulangkan

Sekitar 300 pekerja Korea Selatan akhirnya kembali ke negara setelah sempat ditahan oleh imigrasi AS.

Renita Sukma . 14 September 2025

Ada Tuntutan Bubarkan DPR, Secara Hukum Indonesia Bisa?

Tuntutan pembubaran DPR menggaung saat aksi demonstrasi 25 Agustus 2025. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut hal itu secara hukum tid ...

Renita Sukma . 14 September 2025