Share

Stories 09 Oktober 2023

Beleid Rehabilitasi dan Bansos Bagi Korban HAM Berat

Pemerintah terbitkan Keppres dan Inpres untuk merehabilitasi dan memberikan bantuan sosial bagi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu

Context.id, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 dan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

Melalui beleid itu juga pemerintah meminta maaf kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh negara dan mengadakan rehabilitasi serta memberikan bantuan sosial kepada para penyintas HAM tersebut. 

Keppres dan Inpres tersebut merupakan tindak lanjut dari Tim Yudisial yang telah menyampaikan laporan pelanggaran HAM pada awal tahun 2023. Presiden Jokowi mengatakan telah meninjau laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. 

Dari laporan tersebut, ada 13 kejadian yang menyebabkan pelanggaran HAM berat dengan rentang kejadian mulai dari tahun 1965 hingga 2003. 

Berikut ini kejadian pelanggaran HAM tersebut:  
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;
6. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;
7. Peristiwa kerusuhan Mei 1998;
8. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999;
9. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
10. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999;
11. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002;
12. Peristiwa Wamena, Papua di 2003; dan
13.Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Dengan sudah ditetapkannya peristiwa-peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat, pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial sekaligus menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. 

Selain itu, Jokowi dan pemerintah juga berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang.

Dirinya juga  meminta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik.

Pada Pasal 4 Keppres Nomor 17 Tahun 2022 dijelaskan mengenai Rekomendasi pemulihan bagi korban atam keluarganya sebagairnana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dapat berupa: a. rehabilitasi fisik; b. bantuan sosial; c. jaminan kesehatan; . beasiswa; dan/atau e. rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya.

Memantik Polemik
Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma mempertanyakan bahwa seberapa penting presiden mengeluarkan keppres dan inpres tersebut.

Menurutnya bagaimana pemerintah akan mengakomodir peristiwa tahun 1965 diselesaikan secara non yuridis. 

“Sebenarnya kami ingin tahu seberapa pentingkah terbitnya keppres dan inpres ini,” tutur Filep.

Filep juga mempertanyakan kasus peristiwa pelanggaran HAM pada 1965 ini tidak berjalan tuntas. Bahkan, sampai saat ini pelaku peristiwa 1965 tidak terungkap ke publik. 

Peneliti HAM di SETARA Institute memandang Presiden Jokowi tengah menunjukkan topeng simpatinya terhadap para korban dan keluarga korban, tanpa dengan sungguh-sungguh mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat. 

Dari awal terbentuknya Tim PPHAM pada Agustus 2022, jalur yudisial yang dijanjikan untuk tetap diakomodir pun nyatanya hingga kini, tidak ada signifikansi perkembangan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat. 

Alih-alih memutus impunitas, lanjut SETARA Institute, aktor dan segala narasi yang menjadi hak atas kebenaran (right to truth) bagi korban masih belum mampu diungkap oleh negara.

Tidak lagi pada tahap tidak bisa, namun pemerintah memang cenderung tidak memiliki political will untuk benar-benar memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana amanat UU Pengadilan HAM.

"Paralel dengan Inpres dan Keppres tersebut, para aktor yang diduga terlibat sejumlah pelanggaran HAM di masa lalu, semakin mulus melenggang melanjutkan karir dan obsesi politiknya menjelang Pemilu 2024," tegas peneliti SETARA Institute Sayyidatul Insiyah dan Ismail Hasani



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 09 Oktober 2023

Beleid Rehabilitasi dan Bansos Bagi Korban HAM Berat

Pemerintah terbitkan Keppres dan Inpres untuk merehabilitasi dan memberikan bantuan sosial bagi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu

Context.id, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 dan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

Melalui beleid itu juga pemerintah meminta maaf kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh negara dan mengadakan rehabilitasi serta memberikan bantuan sosial kepada para penyintas HAM tersebut. 

Keppres dan Inpres tersebut merupakan tindak lanjut dari Tim Yudisial yang telah menyampaikan laporan pelanggaran HAM pada awal tahun 2023. Presiden Jokowi mengatakan telah meninjau laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. 

Dari laporan tersebut, ada 13 kejadian yang menyebabkan pelanggaran HAM berat dengan rentang kejadian mulai dari tahun 1965 hingga 2003. 

Berikut ini kejadian pelanggaran HAM tersebut:  
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;
6. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;
7. Peristiwa kerusuhan Mei 1998;
8. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999;
9. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
10. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999;
11. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002;
12. Peristiwa Wamena, Papua di 2003; dan
13.Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Dengan sudah ditetapkannya peristiwa-peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat, pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial sekaligus menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. 

Selain itu, Jokowi dan pemerintah juga berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang.

Dirinya juga  meminta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik.

Pada Pasal 4 Keppres Nomor 17 Tahun 2022 dijelaskan mengenai Rekomendasi pemulihan bagi korban atam keluarganya sebagairnana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dapat berupa: a. rehabilitasi fisik; b. bantuan sosial; c. jaminan kesehatan; . beasiswa; dan/atau e. rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya.

Memantik Polemik
Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma mempertanyakan bahwa seberapa penting presiden mengeluarkan keppres dan inpres tersebut.

Menurutnya bagaimana pemerintah akan mengakomodir peristiwa tahun 1965 diselesaikan secara non yuridis. 

“Sebenarnya kami ingin tahu seberapa pentingkah terbitnya keppres dan inpres ini,” tutur Filep.

Filep juga mempertanyakan kasus peristiwa pelanggaran HAM pada 1965 ini tidak berjalan tuntas. Bahkan, sampai saat ini pelaku peristiwa 1965 tidak terungkap ke publik. 

Peneliti HAM di SETARA Institute memandang Presiden Jokowi tengah menunjukkan topeng simpatinya terhadap para korban dan keluarga korban, tanpa dengan sungguh-sungguh mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat. 

Dari awal terbentuknya Tim PPHAM pada Agustus 2022, jalur yudisial yang dijanjikan untuk tetap diakomodir pun nyatanya hingga kini, tidak ada signifikansi perkembangan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat. 

Alih-alih memutus impunitas, lanjut SETARA Institute, aktor dan segala narasi yang menjadi hak atas kebenaran (right to truth) bagi korban masih belum mampu diungkap oleh negara.

Tidak lagi pada tahap tidak bisa, namun pemerintah memang cenderung tidak memiliki political will untuk benar-benar memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana amanat UU Pengadilan HAM.

"Paralel dengan Inpres dan Keppres tersebut, para aktor yang diduga terlibat sejumlah pelanggaran HAM di masa lalu, semakin mulus melenggang melanjutkan karir dan obsesi politiknya menjelang Pemilu 2024," tegas peneliti SETARA Institute Sayyidatul Insiyah dan Ismail Hasani



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024