Peraih Nobel Sastra 2023 dan Kritik kepada Akademi Swedia
Penulis Norwegia Jon Fosse dianugerahi Hadiah Nobel Sastra 2023 dan menjadi orang Eropa kesekian kalinya yang meraih penghargaan bergengsi ini.
Context.id, JAKARTA - Penulis Norwegia Jon Fosse dianugerahi Hadiah Nobel Sastra tahun ini. Akademi Swedia atau Akademi Nobel menganugerahkan penghargaan itu karena terpukau dengan drama dan prosa Fosse yang menyuarakan hal-hal yang tak bisa atau sulit dikatakan.
“Karyanya yang luar biasa yang ditulis dalam bahasa Norwegia Nynorsk dengan berbagai macam genre mencakup banyak drama, novel, kumpulan puisi, esai, buku anak-anak dan terjemahan,” tulis Akademi dalam pertimbangannya itu.
Fosse tidak pernah mendapat pengakuan populer di luar Norwegia, karena memang bisa dibilang dia menulis dalam bahasa yang penuturnya sangat sedikit di dunia ini, yakni bahasa Nynorsk.
Namun, di kalangan sastrawan penulis berusia 64 tahun ini dianggap sebagai salah satu penulis naskah terbaik.
Ia telah mendapat penghargaan di berbagai penjuru Eropa dan bahkan menerima gelar bangsawan di Prancis pada tahun 2007.
Keberhasilan Fosse dalam penulisan naskah drama mulai terlihat saat 1998, yang mana drama pertamanya dipentaskan di Paris dan sejak itu, drama-drama Fossen telah diproduksi di banyak negara.
Fakta tentang Fosse
Jon Fosse dikenal dengan gaya naratif atau menyajikan situasi dan kehidupan sehari-hari dalam setiap karya-karyanya.
Dalam setiap karya yang ditulis, Jon Fosse menulis dalam bahasa Nynorsk atau bahasa penutur kedua yang ada di Norwegia dan hanya sekitar 10-15 persen masyarakat Norwegia yang masih berbicara sampai menulis dalam bahasa Nynorsk.
Bukan hanya itu saja, The Daily Telegraph memasukkan nama Jon Fosse sebagai salah satu dari 100 orang jenius teratas yang masih atas. Dia berada di posisi peringkat ke-83.
Jon Fosse juga menjadi salah satu konsultan sastra untuk Bibel 2011, terjemahan Alkitab bahasa Norwegia yang diterbitkan pada 2011.
Jon Fosse telah menulis novel, cerita pendek, puisi, buku anak, esai, dan juga drama. Karya-karyanya sukses diterjemahkan ke dalam 50 bahasa.
Kritik kepada Akademi
Meskipun banyak kalangan di teater yang merayakan kemenangan Fosse, para pengkritik telah lama menuduh Komite Nobel secara tidak adil lebih memihak penulis Eropa dan kulit putih lainnya alias berbasis sentimen rasial dalam menentukan pemenang penghargaan.
Enam dari sepuluh pemenang Nobel Sastra terakhir memang berasal dari negara Eropa. Selama ini, mereka dianggap terlalu condong kepada penulis dan sastrawan Euronesia dan tidak membuka jalan bagi pengarang dari geografis selain Eropa.
Padahal penulis dari Asia selalu masuk ke dalam situs bandar judi dan diberitakan oleh media massa internasional, sebut saja Haruki Murakami asal Jepang, penulis Tiongkok Yu Hua, Can Xue yang aktif dengan gaya realisme Tiongkok modern.
Akademi Swedia juga telah lama dikritik karena terlalu banyak memilih penulis laki-laki berkulit putih yang berasal Barat atau lebih tepatnya dari Eropa.
Kendati begitu, sejak viralnya skandal #MeToo pada 2018, Akademi Nobel mulai mereka berbenah dan menjanjikan penghargaan sastra yang lebih global alias melampaui sekat rasial dan berbasis kesetaraan gender.
RELATED ARTICLES
Peraih Nobel Sastra 2023 dan Kritik kepada Akademi Swedia
Penulis Norwegia Jon Fosse dianugerahi Hadiah Nobel Sastra 2023 dan menjadi orang Eropa kesekian kalinya yang meraih penghargaan bergengsi ini.
Context.id, JAKARTA - Penulis Norwegia Jon Fosse dianugerahi Hadiah Nobel Sastra tahun ini. Akademi Swedia atau Akademi Nobel menganugerahkan penghargaan itu karena terpukau dengan drama dan prosa Fosse yang menyuarakan hal-hal yang tak bisa atau sulit dikatakan.
“Karyanya yang luar biasa yang ditulis dalam bahasa Norwegia Nynorsk dengan berbagai macam genre mencakup banyak drama, novel, kumpulan puisi, esai, buku anak-anak dan terjemahan,” tulis Akademi dalam pertimbangannya itu.
Fosse tidak pernah mendapat pengakuan populer di luar Norwegia, karena memang bisa dibilang dia menulis dalam bahasa yang penuturnya sangat sedikit di dunia ini, yakni bahasa Nynorsk.
Namun, di kalangan sastrawan penulis berusia 64 tahun ini dianggap sebagai salah satu penulis naskah terbaik.
Ia telah mendapat penghargaan di berbagai penjuru Eropa dan bahkan menerima gelar bangsawan di Prancis pada tahun 2007.
Keberhasilan Fosse dalam penulisan naskah drama mulai terlihat saat 1998, yang mana drama pertamanya dipentaskan di Paris dan sejak itu, drama-drama Fossen telah diproduksi di banyak negara.
Fakta tentang Fosse
Jon Fosse dikenal dengan gaya naratif atau menyajikan situasi dan kehidupan sehari-hari dalam setiap karya-karyanya.
Dalam setiap karya yang ditulis, Jon Fosse menulis dalam bahasa Nynorsk atau bahasa penutur kedua yang ada di Norwegia dan hanya sekitar 10-15 persen masyarakat Norwegia yang masih berbicara sampai menulis dalam bahasa Nynorsk.
Bukan hanya itu saja, The Daily Telegraph memasukkan nama Jon Fosse sebagai salah satu dari 100 orang jenius teratas yang masih atas. Dia berada di posisi peringkat ke-83.
Jon Fosse juga menjadi salah satu konsultan sastra untuk Bibel 2011, terjemahan Alkitab bahasa Norwegia yang diterbitkan pada 2011.
Jon Fosse telah menulis novel, cerita pendek, puisi, buku anak, esai, dan juga drama. Karya-karyanya sukses diterjemahkan ke dalam 50 bahasa.
Kritik kepada Akademi
Meskipun banyak kalangan di teater yang merayakan kemenangan Fosse, para pengkritik telah lama menuduh Komite Nobel secara tidak adil lebih memihak penulis Eropa dan kulit putih lainnya alias berbasis sentimen rasial dalam menentukan pemenang penghargaan.
Enam dari sepuluh pemenang Nobel Sastra terakhir memang berasal dari negara Eropa. Selama ini, mereka dianggap terlalu condong kepada penulis dan sastrawan Euronesia dan tidak membuka jalan bagi pengarang dari geografis selain Eropa.
Padahal penulis dari Asia selalu masuk ke dalam situs bandar judi dan diberitakan oleh media massa internasional, sebut saja Haruki Murakami asal Jepang, penulis Tiongkok Yu Hua, Can Xue yang aktif dengan gaya realisme Tiongkok modern.
Akademi Swedia juga telah lama dikritik karena terlalu banyak memilih penulis laki-laki berkulit putih yang berasal Barat atau lebih tepatnya dari Eropa.
Kendati begitu, sejak viralnya skandal #MeToo pada 2018, Akademi Nobel mulai mereka berbenah dan menjanjikan penghargaan sastra yang lebih global alias melampaui sekat rasial dan berbasis kesetaraan gender.
POPULAR
RELATED ARTICLES