Share

Stories 15 Agustus 2023

Kebijakan Sensor Konten Layanan Film Berbasis Internet

Konten-konten yang beredar di layanan kanal film berbasis internet seperti Netflix seringkali memuat adegan vulgar dan penuh kekerasan.

Context.id, JAKARTA - Kemajuan teknologi internet memungkinkan sarana hiburan seperti film atau musik bermunculan. Alhasil, jutaan film bisa diakses masyarakat Indonesia tiap tahunnya melalui berbagai layanan streaming online atau kanal internet (over the top /OTT) atau Video on Demand (VoD) seperti Netflix, Disney Plus, HBO Go, Bilibili dan sebagainya.  

Belum lagi, pengguna internet di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) seperti dikutip dari dataindonesia.id, pengguna internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. 

Jumlah tersebut meningkat 2,67 persen dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebanyak 210,03 juta pengguna. Jumlah pengguna internet tersebut setara dengan 78,19 persen dari total populasi Indonesia yang sebanyak 275,77 juta jiwa. Persentasenya lebih tinggi 1,17 persen poin dibandingkan pada 2021-2022 yang sebesar 77,02 persen.

Tentunya, banyak masyarakat yang senang dengan kehadiran layanan kanal internet khusus film itu, karena bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Persoalannya, banyak juga masyarakat yang merasa gerah dengan konten-konten yang beredar di layanan itu. Banyak adegan vulgar dan penuh kekerasan yang ditayangkan. 

Layanan OTT atau VoD seperti disebut di atas memang sampai saat ini belum tersentuh lembaga sensor. Sejak 2016 lalu, Kominfo sebenarnya sudah menerima aduan dan keluhan masyarakat. Namun, saat itu peminat layanan itu belum seramai sekarang sehingga aduan itu pun hilang begitu saja. 

Saat ini, karena peminat sudah mulai banyak dan jangkauannya semakin meluas, Kominfo sudah berkoordinasi dengan Lembaga Sensor Film (LSF) untuk menertibkan ini dan akan mengkaji serius soal potensi memasukkan layanan streaming film ke dalam ranah penyiaran seperti siaran TV konvensional.

Hal ini untuk menciptakan kesetaraan. Pasalnya, tayangan free to air (FTA) juga dikenakan sensor sementara platform OTT atau VOD tidak. Sejauh ini, layanan streaming tak masuk wilayah pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena dianggap tidak ada aturan yang mengatur itu. 

Sebelumnya pada Februari lalu, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR, KPI mengakui tak punya kewenangan mengatur konten-konten dari layanan OTT. Sejauh ini, kewenangan KPI sejauh ini hanya menjangkau TV konvensional atau TV kabel. 

Harus diakui, kebijakan sensor terhadap platform tersebut terhalang UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. UU tersebut hanya menyebutkan kewenangan penyensoran berlaku untuk Radio dan Televisi yang berpusat di Indonesia. Sedangkan platform kanal internet hampir semuanya berpusat di luar negeri. 

Pada tahun 2021 diketahui dua TV konvensional Indonesia pernah mengajukan uji materi terhadap UU Penyiaran yakni agar Netflix dan YouTube dapat ditertibkan. Namun permohonannya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam putusannya, MK menyebut permohonan dua stasiun TV itu tak relevan karena tak ada kekosongan hukum. MK menganggap masalah layanan streaming turut diatur UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dapat mengatur konten yang bermuatan pornografis, SARA, ujaran kebencian, hingga pelanggaran kekayaan intelektual.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 15 Agustus 2023

Kebijakan Sensor Konten Layanan Film Berbasis Internet

Konten-konten yang beredar di layanan kanal film berbasis internet seperti Netflix seringkali memuat adegan vulgar dan penuh kekerasan.

Context.id, JAKARTA - Kemajuan teknologi internet memungkinkan sarana hiburan seperti film atau musik bermunculan. Alhasil, jutaan film bisa diakses masyarakat Indonesia tiap tahunnya melalui berbagai layanan streaming online atau kanal internet (over the top /OTT) atau Video on Demand (VoD) seperti Netflix, Disney Plus, HBO Go, Bilibili dan sebagainya.  

Belum lagi, pengguna internet di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) seperti dikutip dari dataindonesia.id, pengguna internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. 

Jumlah tersebut meningkat 2,67 persen dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebanyak 210,03 juta pengguna. Jumlah pengguna internet tersebut setara dengan 78,19 persen dari total populasi Indonesia yang sebanyak 275,77 juta jiwa. Persentasenya lebih tinggi 1,17 persen poin dibandingkan pada 2021-2022 yang sebesar 77,02 persen.

Tentunya, banyak masyarakat yang senang dengan kehadiran layanan kanal internet khusus film itu, karena bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Persoalannya, banyak juga masyarakat yang merasa gerah dengan konten-konten yang beredar di layanan itu. Banyak adegan vulgar dan penuh kekerasan yang ditayangkan. 

Layanan OTT atau VoD seperti disebut di atas memang sampai saat ini belum tersentuh lembaga sensor. Sejak 2016 lalu, Kominfo sebenarnya sudah menerima aduan dan keluhan masyarakat. Namun, saat itu peminat layanan itu belum seramai sekarang sehingga aduan itu pun hilang begitu saja. 

Saat ini, karena peminat sudah mulai banyak dan jangkauannya semakin meluas, Kominfo sudah berkoordinasi dengan Lembaga Sensor Film (LSF) untuk menertibkan ini dan akan mengkaji serius soal potensi memasukkan layanan streaming film ke dalam ranah penyiaran seperti siaran TV konvensional.

Hal ini untuk menciptakan kesetaraan. Pasalnya, tayangan free to air (FTA) juga dikenakan sensor sementara platform OTT atau VOD tidak. Sejauh ini, layanan streaming tak masuk wilayah pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena dianggap tidak ada aturan yang mengatur itu. 

Sebelumnya pada Februari lalu, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR, KPI mengakui tak punya kewenangan mengatur konten-konten dari layanan OTT. Sejauh ini, kewenangan KPI sejauh ini hanya menjangkau TV konvensional atau TV kabel. 

Harus diakui, kebijakan sensor terhadap platform tersebut terhalang UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. UU tersebut hanya menyebutkan kewenangan penyensoran berlaku untuk Radio dan Televisi yang berpusat di Indonesia. Sedangkan platform kanal internet hampir semuanya berpusat di luar negeri. 

Pada tahun 2021 diketahui dua TV konvensional Indonesia pernah mengajukan uji materi terhadap UU Penyiaran yakni agar Netflix dan YouTube dapat ditertibkan. Namun permohonannya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam putusannya, MK menyebut permohonan dua stasiun TV itu tak relevan karena tak ada kekosongan hukum. MK menganggap masalah layanan streaming turut diatur UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dapat mengatur konten yang bermuatan pornografis, SARA, ujaran kebencian, hingga pelanggaran kekayaan intelektual.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024