UU Kesehatan Disahkan DPR, Ini 5 Poin Kontroversialnya
DPR mengesahkan UU Kesehatan baru kendati mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.
Context.id, JAKARTA - DPR telah mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna ke-29 DPR RI, Selasa (11/7/2023).
Omnibus law kesehatan yang terdiri dari 20 bab dan 478 pasal ini tetap disahkan kendati mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.
Dilansir Bisnis.com, RUU Kesehatan disetujui menjadi RUU usul inisiatif DPR RI pada 14 Februari 2023. Namun dalam pengambilan keputusan pada rapat kerja DPR pada 19 Juni 2023, fraksi Demokrat dan PKS menyatakan penolakan terhadap RUU tersebut dengan fraksi Nasdem memberikan catatan.
Di luar parlemen, penolakan terhada UU Kesehatan ini juga telah disuarakan oleh lima organisasi profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Selain itu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) turut menyuarakan penolakannya.
Alasan publik adalah sejumlah pasal dalam UU Kesehatan masih kontroversial. Berikut ini sejumlah poin yang menjadi sorotan dalam UU Kesehatan:
1. Penghapusan Mandatory spending
Mandatory spending, dalam Pasal 409 UU Kesehatan, digantikan dengan pola penganggaran berbasis kinerja. Artinya, pemerintah pusat dan daerah wajib mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBN dan APBD sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam RIBK dengan memerhatikan penganggaran berbasis kinerja.
Dalam regulasi terdahulu yakni UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, mandatory spending menjadi kewajiban dengan pemerintah pusat harus mengalokasian anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN, sedangkan pemda minimal 10 persen dari APBD.
Penolakan atas penghapusan mandatory spending datang dari anggota DPR dan juga organisasi profesi. Hilangnya mandatory spending dinilai akan mengarah pada konsep privatisasi di sektor kesehatan, mengingat kebutuhan kepentingan kesehatan yang kian besar dan pembiayaan kesehatan yang tergolong tinggi.
2. Ceruk tenaga kesehatan asing
UU Kesehatan yang baru, khususnya Pasal 246-256, membuka celah bagi masuknya tenaga medis spesialis dan subspesialis serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu setelah mengikuti evaluasi kompetensi.
Poin ini dinilai akan mengancam keberadaan tenaga medis dan kesehatan dalam negeri yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun.
3. Pelemahan organisasi profesi
UU Kesehatan teranyar mengamanatkan pembentukan Konsil, lembaga independen di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. Konsil diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kompetensi teknis keprofesian tenaga medis dan kesehatan serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
Namun, poin ini dinilai melemahkan organisasi profesi. Pasalnya, sebagian besar fungsinya diambil alih oleh Kementerian Kesehatan.
4. Ancaman Pidana Nakes
UU Kesehatam baru menyebutkan ancaman pidana penjara atau denda kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan yang lalai sehingga menyebabkan pasien luka berat atau menyebabkan kematian.
Aturan ini dikhawatirkan akan memunculkan potensi mudahnya kriminalisasi tenaga medis dan kesehatan.
5. Zat Adiktif
UU Kesehatan yang baru disahkan DPR itu juga menyatakan rokok elektronik dan tembakau termasuk dalam zat adiktif sehingga produksi, peredaran dan penggunaanya diarahkan. Zat adiktif adalah semua produk tembakau yang meliputi rokok, cerutu, rokok daun, tembakau iris, tembakau padat dan cair, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.
Selain itu, bentuk lain yang bersifat adiktif mencakup rokok elektronik dan permen yang mengandung nikotin. Alhasil, aturan ini menuai protes dari kalangan petani tembakau.
RELATED ARTICLES
UU Kesehatan Disahkan DPR, Ini 5 Poin Kontroversialnya
DPR mengesahkan UU Kesehatan baru kendati mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.
Context.id, JAKARTA - DPR telah mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna ke-29 DPR RI, Selasa (11/7/2023).
Omnibus law kesehatan yang terdiri dari 20 bab dan 478 pasal ini tetap disahkan kendati mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.
Dilansir Bisnis.com, RUU Kesehatan disetujui menjadi RUU usul inisiatif DPR RI pada 14 Februari 2023. Namun dalam pengambilan keputusan pada rapat kerja DPR pada 19 Juni 2023, fraksi Demokrat dan PKS menyatakan penolakan terhadap RUU tersebut dengan fraksi Nasdem memberikan catatan.
Di luar parlemen, penolakan terhada UU Kesehatan ini juga telah disuarakan oleh lima organisasi profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Selain itu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) turut menyuarakan penolakannya.
Alasan publik adalah sejumlah pasal dalam UU Kesehatan masih kontroversial. Berikut ini sejumlah poin yang menjadi sorotan dalam UU Kesehatan:
1. Penghapusan Mandatory spending
Mandatory spending, dalam Pasal 409 UU Kesehatan, digantikan dengan pola penganggaran berbasis kinerja. Artinya, pemerintah pusat dan daerah wajib mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBN dan APBD sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam RIBK dengan memerhatikan penganggaran berbasis kinerja.
Dalam regulasi terdahulu yakni UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, mandatory spending menjadi kewajiban dengan pemerintah pusat harus mengalokasian anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN, sedangkan pemda minimal 10 persen dari APBD.
Penolakan atas penghapusan mandatory spending datang dari anggota DPR dan juga organisasi profesi. Hilangnya mandatory spending dinilai akan mengarah pada konsep privatisasi di sektor kesehatan, mengingat kebutuhan kepentingan kesehatan yang kian besar dan pembiayaan kesehatan yang tergolong tinggi.
2. Ceruk tenaga kesehatan asing
UU Kesehatan yang baru, khususnya Pasal 246-256, membuka celah bagi masuknya tenaga medis spesialis dan subspesialis serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu setelah mengikuti evaluasi kompetensi.
Poin ini dinilai akan mengancam keberadaan tenaga medis dan kesehatan dalam negeri yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun.
3. Pelemahan organisasi profesi
UU Kesehatan teranyar mengamanatkan pembentukan Konsil, lembaga independen di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. Konsil diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kompetensi teknis keprofesian tenaga medis dan kesehatan serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
Namun, poin ini dinilai melemahkan organisasi profesi. Pasalnya, sebagian besar fungsinya diambil alih oleh Kementerian Kesehatan.
4. Ancaman Pidana Nakes
UU Kesehatam baru menyebutkan ancaman pidana penjara atau denda kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan yang lalai sehingga menyebabkan pasien luka berat atau menyebabkan kematian.
Aturan ini dikhawatirkan akan memunculkan potensi mudahnya kriminalisasi tenaga medis dan kesehatan.
5. Zat Adiktif
UU Kesehatan yang baru disahkan DPR itu juga menyatakan rokok elektronik dan tembakau termasuk dalam zat adiktif sehingga produksi, peredaran dan penggunaanya diarahkan. Zat adiktif adalah semua produk tembakau yang meliputi rokok, cerutu, rokok daun, tembakau iris, tembakau padat dan cair, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.
Selain itu, bentuk lain yang bersifat adiktif mencakup rokok elektronik dan permen yang mengandung nikotin. Alhasil, aturan ini menuai protes dari kalangan petani tembakau.
POPULAR
RELATED ARTICLES