Hari Koperasi: Sudahkah Perkoperasian Jadi Saka Guru?
Hari Koperasi diperingati setiap 12 Juli. Bagaimana kondisi perkoperasiaan saat ini?
Context.id, JAKARTA — Hari Koperasi diperingati setiap 12 Juli. Bagaimana kondisi perkoperasiaan saat ini? Apakah sungguh menjadi saka guru atau tiang penyangga ekonomi Tanah Air?
Suroto, aktivis perkoperasian secara gamblang mengatakan masih jauh panggang dari api. Pasalnya, kontribusi koperasi bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara nasional hingga saat ini masih sangat kecil sekali.
"Secara statistik resmi pemerintah, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto 2022 disebut hanya sebesar 5,2 persen. Inipun kalau dihitung dengan benar perhitunganya masih diragukan. Angkanya cukup mencegangkan bahkan karena pada saat pemerintah merilis statistik kontribusi koperasi tahun 2020 sebesar 5,1 persen, namun hitungan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, John Situmorang yang juga sebagai tenaga ahli Kemenkop dan UKM melakukan perhitungan rigid dan hasilnya hanya sebesar 0,00038 persen dari PDB," terangnya, Selasa (11/7/2023).
Kondisi itu, tuturnya, disebabkan oleh model pembangunan koperasi yang salah secara paradigma karena dibangun dengan dengan model intervensi pemerintah yang berlebihan dalam konsep pembinaan, yang tujuanya justru membinasakan prakarsa masyarakat untuk berkoperasi dengan benar.
Secara regulasi dan kebijakan, terangnya, posisi koperasi di Indonesia disubordinasi, didiskriminasi dan bahkan dieliminasi sehingga mereka keluar dari lintas bisnis modern. “Ini persis seperti yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda dulu.”
Undang-undang (UU) BUMN, misalnya, mewajibkan semua badan usaha negara menjadi badan hukum perseroan nonkoperasi. Koperasi, jelasnya, sebagai badan hukum persona ficta yang diakui negara ini tidak diberikan kesempatan untuk jadi badan hukum dan model bisnis BUMN.
Padahal koperasi semestinya lebih cocok dengan sifat bisnis BUMN yang tidak semata mengejar keuntungan dan memberikan layanan publik.
"Jika narasinya dibalik, semua BUMN dan BUMD itu diwajibkan jadi koperasi. Tentu rakyat Indonesia akan seketika menjadi makmur semua karena seluruh keuntungan dan manfaat dari bisnis BUMN dan BUMD itu akan jadi bagian dari peningkatan kekayaan dan pendapatan masyarakat secara langsung," ucapnya.
Suroto memberikan contoh lainnya yakni UU Rumah Sakit yang mewajibkan badan hukum rumah sakit privat wajib berbadan hukum perseroan. UU Penanaman Modal mewajibkan semua investasi asing untuk berbadan hukum perseroan dan lain lain. Koperasi, jelasnya, ditutup peluangnya sejak di tingkat regulasi.
"Sementara di UU Omnibus Law PPSK koperasi nyata-nyata didiskriminasi dengan tidak diberikan penguatan. Sementara korporat kapitalis diberikan semua fasilitas penguatan. Sebut saja misalnya soal aturan pemberian jaminan simpanan dan bailout atau talangan bagi bank dan asuransi korporasi kapitalis jika bangkrut. Semua itu tidak diberlakukan untuk koperasi," ungkapnya.
Koperasi di Indonesia dinilai tidak diharapkan berkembang. Hal ini terbukti sebagai ilmu pengetahuan saja tidak diajarkan di sekolah dan kampus. Koperasi paparnya, dihambat sebelum masuk ke pikiran anak anak muda.
Alhasil, yang tersisa saat ini sebagian besarnya adalah koperasi yang bergantung pada fasilitas program pemerintah dalam proyek pembinaan dan dikelola para makelar dan oportunis dan juga dikembangkan lebih besar oleh mereka yang menyiasati kelemahan regulasi dan kebijakan pemerintah.
"Hasilnya koperasi hari ini kurang lebih 80-an persen didominasi oleh usaha simpan pinjam. Inipun di sektor keuangan mikro yang saat ini bahkan secara kebijakan juga sudah mulai dihabisi oleh pemerintah sendiri melalui kebijakan program kredit usaha rakyat yang berikan anggaran subsidi untuk bank hingga puluhan triliun setiap tahun. Tahun ini bahkan dialokasikan di nota keuangan 2023 hingga 42,8 triliun untuk bank. Ini artinya jelas akan mematikan koperasi simpan pinjam," jelasnya.
Kerumitan ini, tambah Suroto, ditambah dengan masalah koperasi- koperasi palsu yang digunakan segelintir oportunis untuk menipu masyarakat seperti yang terjadi pada kasus-kasus koperasi belakangan ini. Salah satunya adalah Koperasi Indosurya dan sebelumnya Koperasi Langit Biru, Pandawa dan lain sebagainya.
Oleh arena itu, tegasnya, semua pihak harus membongkar seluruh sumbatan regulasi dan kebijakan yang mengerdilkan koperasi, serta mempromosikan koperasi yang benar dan telah dikembangkan oleh masyarakat.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk menemukan kembali koperasi dengan cara memperbanyak kelompok-kelompok epistemik yang mempelajari dan mempraktekkan koperasi yang benar.
”Yang terpenting lagi adalah agar masyarakat menuntut pemerintah untuk menjalankan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 5 untuk membentuk UU Sistem Perekonomian Nasional yang sesuai dengan demokrasi ekonomi," pungkasnya.
RELATED ARTICLES
Hari Koperasi: Sudahkah Perkoperasian Jadi Saka Guru?
Hari Koperasi diperingati setiap 12 Juli. Bagaimana kondisi perkoperasiaan saat ini?
Context.id, JAKARTA — Hari Koperasi diperingati setiap 12 Juli. Bagaimana kondisi perkoperasiaan saat ini? Apakah sungguh menjadi saka guru atau tiang penyangga ekonomi Tanah Air?
Suroto, aktivis perkoperasian secara gamblang mengatakan masih jauh panggang dari api. Pasalnya, kontribusi koperasi bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara nasional hingga saat ini masih sangat kecil sekali.
"Secara statistik resmi pemerintah, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto 2022 disebut hanya sebesar 5,2 persen. Inipun kalau dihitung dengan benar perhitunganya masih diragukan. Angkanya cukup mencegangkan bahkan karena pada saat pemerintah merilis statistik kontribusi koperasi tahun 2020 sebesar 5,1 persen, namun hitungan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, John Situmorang yang juga sebagai tenaga ahli Kemenkop dan UKM melakukan perhitungan rigid dan hasilnya hanya sebesar 0,00038 persen dari PDB," terangnya, Selasa (11/7/2023).
Kondisi itu, tuturnya, disebabkan oleh model pembangunan koperasi yang salah secara paradigma karena dibangun dengan dengan model intervensi pemerintah yang berlebihan dalam konsep pembinaan, yang tujuanya justru membinasakan prakarsa masyarakat untuk berkoperasi dengan benar.
Secara regulasi dan kebijakan, terangnya, posisi koperasi di Indonesia disubordinasi, didiskriminasi dan bahkan dieliminasi sehingga mereka keluar dari lintas bisnis modern. “Ini persis seperti yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda dulu.”
Undang-undang (UU) BUMN, misalnya, mewajibkan semua badan usaha negara menjadi badan hukum perseroan nonkoperasi. Koperasi, jelasnya, sebagai badan hukum persona ficta yang diakui negara ini tidak diberikan kesempatan untuk jadi badan hukum dan model bisnis BUMN.
Padahal koperasi semestinya lebih cocok dengan sifat bisnis BUMN yang tidak semata mengejar keuntungan dan memberikan layanan publik.
"Jika narasinya dibalik, semua BUMN dan BUMD itu diwajibkan jadi koperasi. Tentu rakyat Indonesia akan seketika menjadi makmur semua karena seluruh keuntungan dan manfaat dari bisnis BUMN dan BUMD itu akan jadi bagian dari peningkatan kekayaan dan pendapatan masyarakat secara langsung," ucapnya.
Suroto memberikan contoh lainnya yakni UU Rumah Sakit yang mewajibkan badan hukum rumah sakit privat wajib berbadan hukum perseroan. UU Penanaman Modal mewajibkan semua investasi asing untuk berbadan hukum perseroan dan lain lain. Koperasi, jelasnya, ditutup peluangnya sejak di tingkat regulasi.
"Sementara di UU Omnibus Law PPSK koperasi nyata-nyata didiskriminasi dengan tidak diberikan penguatan. Sementara korporat kapitalis diberikan semua fasilitas penguatan. Sebut saja misalnya soal aturan pemberian jaminan simpanan dan bailout atau talangan bagi bank dan asuransi korporasi kapitalis jika bangkrut. Semua itu tidak diberlakukan untuk koperasi," ungkapnya.
Koperasi di Indonesia dinilai tidak diharapkan berkembang. Hal ini terbukti sebagai ilmu pengetahuan saja tidak diajarkan di sekolah dan kampus. Koperasi paparnya, dihambat sebelum masuk ke pikiran anak anak muda.
Alhasil, yang tersisa saat ini sebagian besarnya adalah koperasi yang bergantung pada fasilitas program pemerintah dalam proyek pembinaan dan dikelola para makelar dan oportunis dan juga dikembangkan lebih besar oleh mereka yang menyiasati kelemahan regulasi dan kebijakan pemerintah.
"Hasilnya koperasi hari ini kurang lebih 80-an persen didominasi oleh usaha simpan pinjam. Inipun di sektor keuangan mikro yang saat ini bahkan secara kebijakan juga sudah mulai dihabisi oleh pemerintah sendiri melalui kebijakan program kredit usaha rakyat yang berikan anggaran subsidi untuk bank hingga puluhan triliun setiap tahun. Tahun ini bahkan dialokasikan di nota keuangan 2023 hingga 42,8 triliun untuk bank. Ini artinya jelas akan mematikan koperasi simpan pinjam," jelasnya.
Kerumitan ini, tambah Suroto, ditambah dengan masalah koperasi- koperasi palsu yang digunakan segelintir oportunis untuk menipu masyarakat seperti yang terjadi pada kasus-kasus koperasi belakangan ini. Salah satunya adalah Koperasi Indosurya dan sebelumnya Koperasi Langit Biru, Pandawa dan lain sebagainya.
Oleh arena itu, tegasnya, semua pihak harus membongkar seluruh sumbatan regulasi dan kebijakan yang mengerdilkan koperasi, serta mempromosikan koperasi yang benar dan telah dikembangkan oleh masyarakat.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk menemukan kembali koperasi dengan cara memperbanyak kelompok-kelompok epistemik yang mempelajari dan mempraktekkan koperasi yang benar.
”Yang terpenting lagi adalah agar masyarakat menuntut pemerintah untuk menjalankan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 5 untuk membentuk UU Sistem Perekonomian Nasional yang sesuai dengan demokrasi ekonomi," pungkasnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES