Share

Stories 07 Juni 2023

Keterpilihan Perempuan Tak Terkait Opsi Sistem Pemilu

Benarkah sistem proporsional tertutup dapat memperbesar peluang keterpilihan calon wanita?

Ilustrasi kotak suara dalam pemilihan umum legislatif - JIBI

Context.id, JAKARTA - Penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) baik dengan sistem proporsional tertutup maupun terbuka dinilai dapat memperbesar peluang keterpilihan calon wanita.

Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum UI Titi Anggraini mengatakan sebenarnya sistem proporsional terbuka juga bisa menawarkan hal serupa. Syaratnya, semua partai berkomitmen penuh menerapkan affirmative action.

Hal ini diungkapkannya terkait adanya klaim yang menyebutkan bahwa pileg dengan sistem proporsional tertutup dapat  memperbesar peluang keterpilihan calon wanita sehingga layak kembali diterapkan menggantikan sistem proporsional terbuka.

Klaim tersebut terlontar di tengah polemik perubahan sistem pemilu 2024. Wacana ini merebak setelah sejumlah pihak mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022.

"Memang secara teori, proporsional tertutup akan lebih memberikan insentif pada keterpilihan perempuan, karena partai yang menentukan. Tapi ini tidak akan jalan juga kalau tidak diterapkan aturan selang-seling yang kuat atas caleg pria-wanita. Jadi daripada berubah, sistem yang sekarang pun terbilang sudah baik," ungkap Titi kepada Context.id, Selasa (6/6/2023).

BACA JUGA    Sistem Pemilu Tertutup Bisa Kurangi Politik Uang?

Sebagai informasi, saat ini pileg di Indonesia menerapkan aturan yang mewajibkan setiap partai menyiapkan setidaknya 30 persen wakil perempuan dalam daftar bakal caleg.

Titi menilai, bila partai berkomitmen, maka sistem terkini pun bisa mengakomodasi affirmative action yang optimal terhadap wanita. Misalnya, dengan menambahkan adanya dapil khusus untuk kompetisi antarwanita, pemberian insentif dana kampanye bagi partai yang bisa meloloskan caleg wanita, atau sesederhana menempatkan caleg wanita di urutan teratas pada beberapa dapil.

"Saat ini, kendati Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka, keterpilihan caleg di nomor urut satu dan dua itu mencapai 80 persen. Nomor satu bahkan 64 persen sendiri. Jadi kalau ada syarat seperti harus ada 30 persen dapil di mana partai menempatkan wanita di nomor urut satu, ini juga akan mengoptimalkan affirmative action," jelasnya.

BACA JUGA   Sistem Pemilu Tertutup Jadi Polemik, Begini Sejarahnya

Wanita yang juga menjadi saksi ahli dalam sidang uji materi di MK ini mencontohkan bahwa hal tersebut pun telah terbukti dari fenomena PPP pada pileg 2014. Kala itu, PPP menempatkan 22 caleg wanita sebagai nomor satu.

Hasilnya, keterpilihan anggota legislatif wanita dari PPP meningkat hingga 100 persen ketimbang pileg sebelumnya.

Oleh sebab itu, Titi menekankan bahwa sebenarnya mengubah keseluruhan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup bukan satu-satunya jalan keluar untuk membawa demokrasi di Tanah Air menjadi lebih baik.



Penulis : Aziz Rahardyan

Editor   : Oktaviano Donald

Stories 07 Juni 2023

Keterpilihan Perempuan Tak Terkait Opsi Sistem Pemilu

Benarkah sistem proporsional tertutup dapat memperbesar peluang keterpilihan calon wanita?

Ilustrasi kotak suara dalam pemilihan umum legislatif - JIBI

Context.id, JAKARTA - Penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) baik dengan sistem proporsional tertutup maupun terbuka dinilai dapat memperbesar peluang keterpilihan calon wanita.

Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum UI Titi Anggraini mengatakan sebenarnya sistem proporsional terbuka juga bisa menawarkan hal serupa. Syaratnya, semua partai berkomitmen penuh menerapkan affirmative action.

Hal ini diungkapkannya terkait adanya klaim yang menyebutkan bahwa pileg dengan sistem proporsional tertutup dapat  memperbesar peluang keterpilihan calon wanita sehingga layak kembali diterapkan menggantikan sistem proporsional terbuka.

Klaim tersebut terlontar di tengah polemik perubahan sistem pemilu 2024. Wacana ini merebak setelah sejumlah pihak mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022.

"Memang secara teori, proporsional tertutup akan lebih memberikan insentif pada keterpilihan perempuan, karena partai yang menentukan. Tapi ini tidak akan jalan juga kalau tidak diterapkan aturan selang-seling yang kuat atas caleg pria-wanita. Jadi daripada berubah, sistem yang sekarang pun terbilang sudah baik," ungkap Titi kepada Context.id, Selasa (6/6/2023).

BACA JUGA    Sistem Pemilu Tertutup Bisa Kurangi Politik Uang?

Sebagai informasi, saat ini pileg di Indonesia menerapkan aturan yang mewajibkan setiap partai menyiapkan setidaknya 30 persen wakil perempuan dalam daftar bakal caleg.

Titi menilai, bila partai berkomitmen, maka sistem terkini pun bisa mengakomodasi affirmative action yang optimal terhadap wanita. Misalnya, dengan menambahkan adanya dapil khusus untuk kompetisi antarwanita, pemberian insentif dana kampanye bagi partai yang bisa meloloskan caleg wanita, atau sesederhana menempatkan caleg wanita di urutan teratas pada beberapa dapil.

"Saat ini, kendati Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka, keterpilihan caleg di nomor urut satu dan dua itu mencapai 80 persen. Nomor satu bahkan 64 persen sendiri. Jadi kalau ada syarat seperti harus ada 30 persen dapil di mana partai menempatkan wanita di nomor urut satu, ini juga akan mengoptimalkan affirmative action," jelasnya.

BACA JUGA   Sistem Pemilu Tertutup Jadi Polemik, Begini Sejarahnya

Wanita yang juga menjadi saksi ahli dalam sidang uji materi di MK ini mencontohkan bahwa hal tersebut pun telah terbukti dari fenomena PPP pada pileg 2014. Kala itu, PPP menempatkan 22 caleg wanita sebagai nomor satu.

Hasilnya, keterpilihan anggota legislatif wanita dari PPP meningkat hingga 100 persen ketimbang pileg sebelumnya.

Oleh sebab itu, Titi menekankan bahwa sebenarnya mengubah keseluruhan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup bukan satu-satunya jalan keluar untuk membawa demokrasi di Tanah Air menjadi lebih baik.



Penulis : Aziz Rahardyan

Editor   : Oktaviano Donald


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024