Share

Home Stories

Stories 07 Juni 2023

Sistem Pemilu Tertutup Bisa Kurangi Politik Uang?

Sistem pemilu proporsional tertutup diklaim dapat mengurangi praktik politik uang. Benarkah?

Ilustrasi - Tenaga relawan menunjukkan surat suara pilkada Makassar yang telah disortir di kantor KPU Makassar, Sulawesi Selatan. - Bisnis.com/Antara

Context.id, JAKARTA - Penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) dengan sistem proporsional tertutup diklaim dapat mengurangi praktik politik uang.

Klaim tersebut menjadi salah satu opini yang terlontar di tengah polemik perubahan sistem pemilu 2024. Wacana ini merebak setelah sejumlah pihak mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022.

Para pemohon uji materi mengemukakan argumentasi bahwa sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini berlangsung dan berbasis suara terbanyak masing-masing calon legislatif (caleg), membawa kecenderungan melahirkan caleg-caleg pragmatis.

BACA JUGA   Sistem Pemilu Tertutup Jadi Polemik, Begini Sejarahnya

Caleg dinilai hanya menjual diri berbekal popularitas, kadang tanpa ada ikatan ideologis dengan partai, tidak punya eksistensi dalam struktur partai politik, tidak memiliki pengalaman mengelola organisasi berbasis sosial politik, serta minim proses kaderisasi dan pendidikan politik.

Selain itu, penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak membuat pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Misalnya, sistem tersebut menciptakan model kompetisi antarcaleg yang tidak sehat, karena mendorong caleg melakukan kecurangan, termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan.

Lantas, apakah klaim mengenai sistem proporsional tertutup sebagai solusi atas masalah politik uang yang terjadi dalam sistem proporsional terbuka benar adanya?

Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum UI Titi Anggraini menjelaskan bahwa sebenarnya semua sistem pemilu memiliki kelebihan-kekurangan tersendiri.

"Proporsional terbuka atau tertutup, sama-sama membutuhkan penyelenggara yang bersih, pemilih yang cerdas, serta penegakkan hukum yang efektif. Jadi apa pun sistemnya, lebih baik fokus agar bagaimana demokrasi Indonesia semakin kuat," ujarnya ketika dihubungi Context.id, Selasa (6/6/2023).

BACA JUGA   BPS: Jumlah Pekerja Profesional Perempuan Turun

Sebagai contoh, jelasnya, sistem proporsional terbuka memang memiliki kecenderungan menekan setiap caleg untuk membeli suara rakyat dengan mengeluarkan uang atau yang disebut praktik politik uang. Namun, Titi mengatakan, bukan berarti dalam sistem proporsional tertutup tidak ada potensi terjadinya praktik politik uang.

"Pada sistem proporsional tertutup, praktik politik transaksional juga terjadi antara calon dengan elit partai. Jadi sebenarnya bukan sistemnya yang harus diubah, tapi harus cari cara untuk menekan praktik-praktik politik oportunis," tambah wanita yang juga Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini.

Bagi Titi, salah satu cara menekan tren semakin maraknya petualang politik oportunis adalah dengan menetapkan aturan bahwa setiap caleg harus menjadi kader partai dalam kurun waktu tertentu sebelum maju ke medan pemilu.



Penulis : Aziz Rahardyan

Editor   : Oktaviano Donald

Stories 07 Juni 2023

Sistem Pemilu Tertutup Bisa Kurangi Politik Uang?

Sistem pemilu proporsional tertutup diklaim dapat mengurangi praktik politik uang. Benarkah?

Ilustrasi - Tenaga relawan menunjukkan surat suara pilkada Makassar yang telah disortir di kantor KPU Makassar, Sulawesi Selatan. - Bisnis.com/Antara

Context.id, JAKARTA - Penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) dengan sistem proporsional tertutup diklaim dapat mengurangi praktik politik uang.

Klaim tersebut menjadi salah satu opini yang terlontar di tengah polemik perubahan sistem pemilu 2024. Wacana ini merebak setelah sejumlah pihak mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022.

Para pemohon uji materi mengemukakan argumentasi bahwa sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini berlangsung dan berbasis suara terbanyak masing-masing calon legislatif (caleg), membawa kecenderungan melahirkan caleg-caleg pragmatis.

BACA JUGA   Sistem Pemilu Tertutup Jadi Polemik, Begini Sejarahnya

Caleg dinilai hanya menjual diri berbekal popularitas, kadang tanpa ada ikatan ideologis dengan partai, tidak punya eksistensi dalam struktur partai politik, tidak memiliki pengalaman mengelola organisasi berbasis sosial politik, serta minim proses kaderisasi dan pendidikan politik.

Selain itu, penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak membuat pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Misalnya, sistem tersebut menciptakan model kompetisi antarcaleg yang tidak sehat, karena mendorong caleg melakukan kecurangan, termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan.

Lantas, apakah klaim mengenai sistem proporsional tertutup sebagai solusi atas masalah politik uang yang terjadi dalam sistem proporsional terbuka benar adanya?

Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum UI Titi Anggraini menjelaskan bahwa sebenarnya semua sistem pemilu memiliki kelebihan-kekurangan tersendiri.

"Proporsional terbuka atau tertutup, sama-sama membutuhkan penyelenggara yang bersih, pemilih yang cerdas, serta penegakkan hukum yang efektif. Jadi apa pun sistemnya, lebih baik fokus agar bagaimana demokrasi Indonesia semakin kuat," ujarnya ketika dihubungi Context.id, Selasa (6/6/2023).

BACA JUGA   BPS: Jumlah Pekerja Profesional Perempuan Turun

Sebagai contoh, jelasnya, sistem proporsional terbuka memang memiliki kecenderungan menekan setiap caleg untuk membeli suara rakyat dengan mengeluarkan uang atau yang disebut praktik politik uang. Namun, Titi mengatakan, bukan berarti dalam sistem proporsional tertutup tidak ada potensi terjadinya praktik politik uang.

"Pada sistem proporsional tertutup, praktik politik transaksional juga terjadi antara calon dengan elit partai. Jadi sebenarnya bukan sistemnya yang harus diubah, tapi harus cari cara untuk menekan praktik-praktik politik oportunis," tambah wanita yang juga Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini.

Bagi Titi, salah satu cara menekan tren semakin maraknya petualang politik oportunis adalah dengan menetapkan aturan bahwa setiap caleg harus menjadi kader partai dalam kurun waktu tertentu sebelum maju ke medan pemilu.



Penulis : Aziz Rahardyan

Editor   : Oktaviano Donald


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025