Stories - 07 June 2023
Kala Ekonomi Kerakyatan Digugat Karena Tak Merakyat
Istilah ekonomi kerakyatan digugat karena dimaknai sebagai urusan ekonomi masyarakat kecil, gurem, dan dibelas kasihani.

Context.id, JAKARTA - Istilah ekonomi kerakyatan digugat karena dimaknai sebagai urusan ekonomi masyarakat kecil, gurem, dan dibelas kasihani.
Adalah seorang Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi-Strategis (Akses), yang gerah dengan istilah itu. Pasalnya, menurut dia, istilah ekonomi rakyat sebagai frasa sering kali diganti dengan istilah ekonomi kerakyatan.
“Istilah ini seringkali dipertukarkan dengan makna seakan akan sama. Padahal secara substansi tentu sangat berbeda maknanya san bahkan bertentangan. Ekonomi rakyat memiliki makna bahwa sistem ekonomi mainstream berada di dalam kuasa atau keputusan rakyat banyak. Sementara ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang menunjukkan hanya pada adanya kepedulian, semacam komitmen kebijakan yang pro kepada rakyat,” terangnya, Rabu (7/6/2023).
BACA JUGA Divestasi Vale Indonesia (INCO), Begini Perkembangannya
Dia menjelaskan, istilah ekonomi kerakyatan telah mengacaukan persepsi sehingga ekonomi rakyat akhirnya dimaknai sebagai urusan ekonomi masyarakat kecil, gurem, lemah, patut dibelas kasihani, dan segudang embel-embel buruk lainya.
Ekonomi kerakyatan dinilai menggeser makna substansial gerak ekonomi yang seharusnya menempatkan rakyat banyak sebagai subjek atau pemegang peran penting.
"[Rakyat menjadi] majikan dari kebijakan ekonomi," jelasnya.
BACA JUGA Sistem Pemilu Tertutup Bisa Kurangi Politik Uang?
Suroto menilai makna ekonomi rakyat yang egalitarian dan penuh kesetaraan akhirnya tergantikan oleh ekonomi kerakyatan yang memosisikan rakyat secara subordinatif. Artinya, rakyat menjadi objek belas kasih dari pemain ekonomi utama yang selama ini didominasi oleh pengusaha swasta besar dan konglomerat yang mendapat banyak privilese kebijakan dari pemerintah.
Persepsi itu, terangnya, membentuk paradigma bahwa seakan sistem ekonomi kerakyatan itu adalah yang tepat. Pemerintah dan elit pengusaha besar paparnya, membangun relasi dengan ekonomi rakyat banyak dalam bentuk relasi kuasa kebijakan dalam wujud program pembinaan terhadap ekonomi yang kecil dan mikro. Padahal, program tersebut dinilai sebagai bentuk upaya pembinasaan.
“Istilah ekonomi kerakyatan ini akhirnya membentuk pola struktur ekonomi rakyat banyak yang timpang dan terus berkelanjutan. Ekonomi rakyat terus dijadikan sebagai objek program dan bukan sebagai subjek,” paparnya.
Ekonomi Rakyat Skala Kecil dan Mikro
Suroto mengutip data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2022 yang menyatakan, 99,6 persen atau 64 juta pelaku usaha diisi oleh usaha ekonomi gurem dalam bentuk usaha mikro.Data yang sama menunjukkan jumlah usaha skala kecilnya hanya 0,30 persen atau 180.000 pengusaha dan sisanya adalah 0, 019 persen atau 30.000 dalam bentuk usaha skala menengah dan 0,005 persen atau hanya 5.700 pengusaha besar.
Dengan kata lain, jelasnya, pengusaha mikro jumlahnya hampir sama dengan jumlah dari 67 juta kepala keluarga. Statistik tersebut dinilai menggambarkan betapa timpangnya struktur pelaku usaha yang berkorelasi dengan ketimpangan struktur kekayaan rakyat.
“Keadaan yang sangat ekstrem dilaporkan oleh Oxfarm 2022 bahwa 4 anggota keluarga itu kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin,” ujarnya.
BACA JUGA Sistem Pemilu Tertutup Jadi Polemik, Begini Sejarahnya
Posisi rakyat banyak yang lemah, lanjutnya, menjadi semakin akut ditimpa oleh kebijakan pemerintah yang sekadar kamuflase. Dia mencontohkan program subsidi pupuk yang angkanya setiap tahun kurang lebih Rp30 triliun ternyata lebih banyak dinikmati oleh para distributor dan pengawasnya serta menyebabkan kelangkaan pupuk ketika musim tanam tiba.
“Kebijakan afirmatif program akses kredit untuk pengusaha UMKM ternyata dalam praktiknya usaha mikro gurem yang jumlahnya hingga 99,6 persen itu hanya mendapatkan akses terhadap kredit perbankkan sebanyak 3 persen dari total kredit perbankkan sebesar Rp10.230 triliun. Ini data dari Bank Indonesia pada 2022,” paparnya.
Kebijakan subsidi dan program pembinaan UKM mulai dari program peningkatan akses pasar, pembinaan sumber daya manusia, dan peningkatan usaha mikro agar naik kelas disebutnya hanya menghasilkan kondisi yang sama sejak setengah abad silam.
“Lebih memprihatinkan lagi, paradigma ini bahkan telah merasuk ke isi kepala para elit politik yang selalu berjanji dan berkampanye bahwa kelak jika menjadi pejabat publik ingin lakukan santunan kebijakan karitatif tersebut. Dan celakanya, rakyat banyak yang lemah itu juga menjadi sindrom terhadap bantuan dan kebijakan karitatif tersebut,” kata Suroto.
BACA JUGA Kaesang, Magnet Besar untuk Adang Dominasi PKS di Depok
Dengan kondisi tersebut, Suroto menilai perombakan paradigma diperlukan dengan menempatkan rakyat bukan sebagai objek kebijakan pembangunan, melainkan sebagai subjek pembangunan ekonomi. Ekonomi rakyat, katanya, harus menggantikan istilah ekonomi kerakyatan .
“Berikutnya bongkar kepalsuan dari upaya untuk terus melanggengkan istilah program pembinaan dan kemitraan bagi UMKM. Harus dibedakan dengan tegas usaha mikro dan kecil yang butuh kebijakan afirmatif dan bukan dicampur baur dengan istilah usaha menengah yang selama ini sebetulnya lebih banyak mendapatkan akses,” jelasnya.
Penulis : Noviarizal Fernandez
Editor : Oktaviano Donald
MORE STORIES

Kejagung Dalami Korupsi Dana Sawit di BPDPKS
Kerugian negara dalam dugaan korupsi di BPDPKS ini karena ada korporasi yang mendapatkan dana pengembangan biodiesel tapi hasilnya tidak sesuai
Noviarizal Fernandez | 21-09-2023

Kementerian BUMN Gandeng Kejagung Awasi Dana Pensiun
Amburadulnya pengelolaan dana pensiun badan usaha milik negara (Dapen BUMN) yang dapat mengakibatkan kerugian besar menjadi perhatian pemerintah
Noviarizal Fernandez | 21-09-2023

Harga Masih Tinggi, Ombudsman: HET Beras Sebaiknya Dihapus
Harga eceran tertinggi (HET) beras dinilai tidak efektif menjaga stabilisasi harga beras yang masih tetap melonjak di pasaran
Noviarizal Fernandez | 19-09-2023

Benarkah Tiap WNI Menanggung Utang Rp28 Juta?
Besarnya utang negara yang dimiliki Indonesia bukan berarti setiap penduduk akan menanggung utang sebesar Rp28 juta.
Noviarizal Fernandez | 19-09-2023
A modern exploration of business, societies, and ideas.
Powered by Bisnis Indonesia.
Copyright © 2023 - Context
Copyright © 2023 - Context