Ekspor Pasir Laut: Wujud Nyata Kerusakan Lingkungan
Wujud kerusakan penambangan pasir tentu tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi yang didapat.
Context.id, JAKARTA - Langkah pemerintah membuka keran ekspor pasir laut menuai banyak protes. Pasalnya, dampak kerusakan lingkungan akibat ekspor pasir laut dinilai tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi yang bersifat sementara.
Kekayaan sumber daya alam Indonesia menjadi faktor kekuatan bangsa untuk bangkit dan maju dengan memanfaatkannya menjadi penghasilan negara. Namun, apakah ekspor pasir laut menjadi solusi?
Dilansir dari bisnis, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan bahwa potensi kekayaan laut Indonesia dari berbagai segmen hampir mencapai Rp20.000 triliun per tahun.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP TB Haeru Rahayu menyampaikan bahwa total potensi keekonomian bidang kelautan Indonesia sebesar US$1,33 triliun atau Rp19.950 triliun (kurs Rp15.000).
Hal tersebut mengartikan bahwa banyak sekali keuntungan yang didapat dengan mengeksploitasi komoditas laut. Namun, aktivitas pengerukan pasir untuk pemanfaatan kebutuhan manusia ini perlu ditelaah lebih lanjut.
Sebab, pemberdayaan tanpa perhitungan matang akan menimbulkan masalah serius seperti kerusakan lingkungan yang dampaknya bakal menyebar pada aspek lebih luas, misalnya aspek ekologi dan hak asasi manusia.
Isu ini juga melibatkan Greenpeace, organisasi lingkungan internasional berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkepentingan terhadap masalah lingkungan global. Mereka melakukan pertentangan melalui sebuah petisi.
Pada petisi berjudul “Akal-akalan oligarki dengan izinkan ekspor pasir laut lagi”, Greenpeace menolak adanya praktik ekspor pasir laut. Apalagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Regulasi yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 ini akhirnya menimbulkan kontra luar biasa di kalangan aktivis lingkungan. Bukan tanpa alasan, melainkan aktivitas ini akan menyebabkan kerusakan parah yang mempengaruhi lingkungan dan kehidupan manusia.
Kebijakan Penambangan Pasir di Indonesia
Berdasarkan kepada Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2002, pasir laut merupakan bahan galian pasir yang terdapat di seluruh pesisir dan perairan laut Indonesia serta pasir laut adalah salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
Larangan penambangan pasir laut tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007, lalu direvisi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pada Pasal 35, penambangan pasir dilarang jika dapat merusak ekosistem perairan. Penambangan pasir laut masih diperbolehkan apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan dan peraturan penambangan pasir laut yang benar.
Nyatanya, kegiatan penambangan pasir ini seperti membutakan mata pengusaha ataupun pelaku terkait dalam proses perlindungan ekosistem laut. Hasil berlimpah yang didapat dari mengorek pasir di pesisir pantai ini semakin digeluti oknum tidak bertanggung jawab.
Selain kegiatan tambang pasir secara legal, kegiatan ilegal pun masih terus merajai beberapa wilayah potensial Indonesia. Mirisnya, regulasi yang ada tak mampu membuat jera oknum ‘jahat’ kerusakan alam ini.
Dengan adanya kebijakan ekspor pasir, aktivitas penambangan pasir laut pastinya akan gencar dilakukan baik secara legal maupun ilegal. Hal tersebut akan semakin membuka lebar peluang pelaku penambangan pasir untuk merambah ke daerah SDA lainnya.
Padahal efek nyata rusaknya lingkungan bisa dirasakan langsung masyarakat, mulai dari adanya pemanasan global, kepunahan biota laut, abrasi pantai, dan lain sebagainya. Wujud kerusakan akibat ekspor pasir laut tentu tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi yang bersifat sementara.
RELATED ARTICLES
Ekspor Pasir Laut: Wujud Nyata Kerusakan Lingkungan
Wujud kerusakan penambangan pasir tentu tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi yang didapat.
Context.id, JAKARTA - Langkah pemerintah membuka keran ekspor pasir laut menuai banyak protes. Pasalnya, dampak kerusakan lingkungan akibat ekspor pasir laut dinilai tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi yang bersifat sementara.
Kekayaan sumber daya alam Indonesia menjadi faktor kekuatan bangsa untuk bangkit dan maju dengan memanfaatkannya menjadi penghasilan negara. Namun, apakah ekspor pasir laut menjadi solusi?
Dilansir dari bisnis, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan bahwa potensi kekayaan laut Indonesia dari berbagai segmen hampir mencapai Rp20.000 triliun per tahun.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP TB Haeru Rahayu menyampaikan bahwa total potensi keekonomian bidang kelautan Indonesia sebesar US$1,33 triliun atau Rp19.950 triliun (kurs Rp15.000).
Hal tersebut mengartikan bahwa banyak sekali keuntungan yang didapat dengan mengeksploitasi komoditas laut. Namun, aktivitas pengerukan pasir untuk pemanfaatan kebutuhan manusia ini perlu ditelaah lebih lanjut.
Sebab, pemberdayaan tanpa perhitungan matang akan menimbulkan masalah serius seperti kerusakan lingkungan yang dampaknya bakal menyebar pada aspek lebih luas, misalnya aspek ekologi dan hak asasi manusia.
Isu ini juga melibatkan Greenpeace, organisasi lingkungan internasional berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkepentingan terhadap masalah lingkungan global. Mereka melakukan pertentangan melalui sebuah petisi.
Pada petisi berjudul “Akal-akalan oligarki dengan izinkan ekspor pasir laut lagi”, Greenpeace menolak adanya praktik ekspor pasir laut. Apalagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Regulasi yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 ini akhirnya menimbulkan kontra luar biasa di kalangan aktivis lingkungan. Bukan tanpa alasan, melainkan aktivitas ini akan menyebabkan kerusakan parah yang mempengaruhi lingkungan dan kehidupan manusia.
Kebijakan Penambangan Pasir di Indonesia
Berdasarkan kepada Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2002, pasir laut merupakan bahan galian pasir yang terdapat di seluruh pesisir dan perairan laut Indonesia serta pasir laut adalah salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
Larangan penambangan pasir laut tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007, lalu direvisi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pada Pasal 35, penambangan pasir dilarang jika dapat merusak ekosistem perairan. Penambangan pasir laut masih diperbolehkan apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan dan peraturan penambangan pasir laut yang benar.
Nyatanya, kegiatan penambangan pasir ini seperti membutakan mata pengusaha ataupun pelaku terkait dalam proses perlindungan ekosistem laut. Hasil berlimpah yang didapat dari mengorek pasir di pesisir pantai ini semakin digeluti oknum tidak bertanggung jawab.
Selain kegiatan tambang pasir secara legal, kegiatan ilegal pun masih terus merajai beberapa wilayah potensial Indonesia. Mirisnya, regulasi yang ada tak mampu membuat jera oknum ‘jahat’ kerusakan alam ini.
Dengan adanya kebijakan ekspor pasir, aktivitas penambangan pasir laut pastinya akan gencar dilakukan baik secara legal maupun ilegal. Hal tersebut akan semakin membuka lebar peluang pelaku penambangan pasir untuk merambah ke daerah SDA lainnya.
Padahal efek nyata rusaknya lingkungan bisa dirasakan langsung masyarakat, mulai dari adanya pemanasan global, kepunahan biota laut, abrasi pantai, dan lain sebagainya. Wujud kerusakan akibat ekspor pasir laut tentu tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi yang bersifat sementara.
POPULAR
RELATED ARTICLES