Share

Stories 27 Mei 2023

Diplomasi Soft Power China Terus Berproses

Diplomasi soft power China terhadap Indonesia dinilai terus berproses dan belum bisa dikatakan gagal.

Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan salam kepada Presiden China Xi Jinping/ Istimewa

Context.id,JAKARTA- Diplomasi soft power China terhadap Indonesia dinilai terus berproses dan belum bisa dikatakan gagal.

Hal itu diungkapkan oleh Virdika Rizky Utama, peneliti PARA Syndicate, sekaligus mahasiswa pascasarjana ilmu politik Universitas Shanghai Jiao Tong.

Pernyataan itu disampaikan menanggapi pernyataan akademisi Universitas Indonesia Abdullah Dahana dan Tuty Mutia yang pada kesimpulannya menilai diplomasi soft power China belum membuahkan hasil yang maksimal demi pencitraan negara itu.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa China telah memperluas pengaruhnya melalui kegiatan seperti beasiswa dan pengembangan institusi-institusi budaya seperti Konfusius Institut atau Pusat Bahasa Mandarin di Indonesia untuk membangun citra positif dan memperluas pengaruhnya,” ucapnya dalam pernyataan tertulis, Kamis (25/5/2023).

Namun, tuturnya, hasil dari usaha tersebut bisa beragam, dan ini tidak berarti bahwa upaya China sepenuhnya gagal atau sukses. 

Misalnya, Tuty Mutia mencatat bahwa penerima beasiswa cenderung menggunakan PBM hanya untuk penguasaan bahasa agar menunjang studi atau karirnya. Ini, kata Virdika, mungkin tidak sesuai dengan tujuan awal China, tetapi ini bukan berarti strategi tersebut tidak memberikan hasil sama sekali.

Bahkan, kata dia, dengan mempelajari bahasa Mandarin, para penerima beasiswa ini tetap mendapatkan pemahaman tentang budaya China, meskipun mungkin tidak sejauh yang diharapkan oleh pihak penyelenggara. 

Selain itu, dengan keterampilan bahasa yang diperoleh, mereka mungkin lebih siap untuk berinteraksi dengan Negeri Tirai Bambu itu dalam konteks akademis atau profesional di masa depan, yang pada akhirnya masih memperluas pengaruh China.

Menurutnya, soft power China di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti hubungan politik dan ekonomi antara kedua negara, opini publik, dan media. 

Misalnya, isu kontroversial seperti klaim di Laut Cina Selatan dan perlakuan terhadap minoritas Uighur bisa mempengaruhi persepsi publik di Indonesia tentang China, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi efektivitas soft power Tiongkok.

Dia membenarkan bahwa banyak santri Nahdlatul Ulama (NU) mendapatkan beasiswa belajar ke China untuk memperbaiki citra dan membangun pengaruhnya di kalangan komunitas Muslim di Indonesia. Tujuannya, kata dia, adalah untuk meredam kritik terhadap perlakuan Tiongkok terhadap muslim Uighur.

“Misalnya, jika santri-santri yang menerima beasiswa ini memiliki pengalaman positif di Tiongkok dan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan di Uighur, mereka mungkin akan membawa pemahaman tersebut kembali ke Indonesia dan mempengaruhi persepsi komunitas mereka. Ini bisa membantu untuk meredam kritik terhadap China dan memperkuat pengaruh dalam komunitas tersebut,” terangnya.

Namun, penting untuk diingat bahwa persepsi ini bisa berubah dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya, jika berita baru tentang perlakuan Tiongkok terhadap muslim Uighur muncul, ini bisa mempengaruhi persepsi publik dan mengurangi efektivitas upaya soft power China.

China, tuturnya, juga melibatkan diri dalam banyak proyek infrastruktur di Indonesia, yang merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road Initiative (BRI). 

Ini adalah contoh lain dari upaya Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di Indonesia dan dapat dilihat sebagai bagian dari pendekatan soft power yang lebih besar.

Namun, kata dia, sepak terjang Tiongkok di Laut Cina Selatan dan berbagai pelanggaran di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia juga mempengaruhi citranya di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa soft power tidak hanya dipengaruhi oleh upaya diplomasi budaya dan akademik, tetapi juga oleh kebijakan dan tindakan di bidang politik dan militer.

“Lebih tepat untuk mengatakan bahwa soft power Tiongkok di Indonesia adalah suatu proses yang sedang berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dan kondisi,” simpulnya.

Dia mengatakan diplomasi soft power China masih dalam tahap awal dibandingkan dengan Amerika Serikat tetapi bukan berarti tidak dapat berkembang atau tidak efektif karena sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia dan dengan penduduk terbesar di dunia, negara itu memiliki potensi besar untuk memperluas pengaruhnya melalui soft power.

Sebagaimana dilansir dari Bisnis.com, Upaya diplomasi kuasa lunak atau soft power China terhadap Indonesia tidak mengangkat citra negara itu secara signifikan. 

Bahkan sebaliknya, Pemerintah Indonesia diimbau untuk terus memelototi diplomasi jenis kuasa lunak tersebut untuk menjaga kepentingan Indonesia.

“Bangsa Indonesia harus tetap kritis dalam memandang China. Boleh memuji dan menghargai sukses Pemerintah RRC dalam usahanya menjadikan negara dan bangsanya besar. Tetapi bukan berarti kita tidak memiliki kritik," ucap Abdullah Dahana, Guru Besar Emeritus bidang sejarah, Universitas Indonesia.

Tuty Mutia, pengajar senior pada Program Studi China Universitas Indonesia, mengatakan bahwa negara adikuasa itu telah berupaya meningkatkan kuasa lunaknya di Indonesia, antara lain melalui diplomasi publik dalam bidang budaya, sejarah dan akademik.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Thomas Mola

Stories 27 Mei 2023

Diplomasi Soft Power China Terus Berproses

Diplomasi soft power China terhadap Indonesia dinilai terus berproses dan belum bisa dikatakan gagal.

Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan salam kepada Presiden China Xi Jinping/ Istimewa

Context.id,JAKARTA- Diplomasi soft power China terhadap Indonesia dinilai terus berproses dan belum bisa dikatakan gagal.

Hal itu diungkapkan oleh Virdika Rizky Utama, peneliti PARA Syndicate, sekaligus mahasiswa pascasarjana ilmu politik Universitas Shanghai Jiao Tong.

Pernyataan itu disampaikan menanggapi pernyataan akademisi Universitas Indonesia Abdullah Dahana dan Tuty Mutia yang pada kesimpulannya menilai diplomasi soft power China belum membuahkan hasil yang maksimal demi pencitraan negara itu.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa China telah memperluas pengaruhnya melalui kegiatan seperti beasiswa dan pengembangan institusi-institusi budaya seperti Konfusius Institut atau Pusat Bahasa Mandarin di Indonesia untuk membangun citra positif dan memperluas pengaruhnya,” ucapnya dalam pernyataan tertulis, Kamis (25/5/2023).

Namun, tuturnya, hasil dari usaha tersebut bisa beragam, dan ini tidak berarti bahwa upaya China sepenuhnya gagal atau sukses. 

Misalnya, Tuty Mutia mencatat bahwa penerima beasiswa cenderung menggunakan PBM hanya untuk penguasaan bahasa agar menunjang studi atau karirnya. Ini, kata Virdika, mungkin tidak sesuai dengan tujuan awal China, tetapi ini bukan berarti strategi tersebut tidak memberikan hasil sama sekali.

Bahkan, kata dia, dengan mempelajari bahasa Mandarin, para penerima beasiswa ini tetap mendapatkan pemahaman tentang budaya China, meskipun mungkin tidak sejauh yang diharapkan oleh pihak penyelenggara. 

Selain itu, dengan keterampilan bahasa yang diperoleh, mereka mungkin lebih siap untuk berinteraksi dengan Negeri Tirai Bambu itu dalam konteks akademis atau profesional di masa depan, yang pada akhirnya masih memperluas pengaruh China.

Menurutnya, soft power China di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti hubungan politik dan ekonomi antara kedua negara, opini publik, dan media. 

Misalnya, isu kontroversial seperti klaim di Laut Cina Selatan dan perlakuan terhadap minoritas Uighur bisa mempengaruhi persepsi publik di Indonesia tentang China, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi efektivitas soft power Tiongkok.

Dia membenarkan bahwa banyak santri Nahdlatul Ulama (NU) mendapatkan beasiswa belajar ke China untuk memperbaiki citra dan membangun pengaruhnya di kalangan komunitas Muslim di Indonesia. Tujuannya, kata dia, adalah untuk meredam kritik terhadap perlakuan Tiongkok terhadap muslim Uighur.

“Misalnya, jika santri-santri yang menerima beasiswa ini memiliki pengalaman positif di Tiongkok dan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan di Uighur, mereka mungkin akan membawa pemahaman tersebut kembali ke Indonesia dan mempengaruhi persepsi komunitas mereka. Ini bisa membantu untuk meredam kritik terhadap China dan memperkuat pengaruh dalam komunitas tersebut,” terangnya.

Namun, penting untuk diingat bahwa persepsi ini bisa berubah dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya, jika berita baru tentang perlakuan Tiongkok terhadap muslim Uighur muncul, ini bisa mempengaruhi persepsi publik dan mengurangi efektivitas upaya soft power China.

China, tuturnya, juga melibatkan diri dalam banyak proyek infrastruktur di Indonesia, yang merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road Initiative (BRI). 

Ini adalah contoh lain dari upaya Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di Indonesia dan dapat dilihat sebagai bagian dari pendekatan soft power yang lebih besar.

Namun, kata dia, sepak terjang Tiongkok di Laut Cina Selatan dan berbagai pelanggaran di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia juga mempengaruhi citranya di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa soft power tidak hanya dipengaruhi oleh upaya diplomasi budaya dan akademik, tetapi juga oleh kebijakan dan tindakan di bidang politik dan militer.

“Lebih tepat untuk mengatakan bahwa soft power Tiongkok di Indonesia adalah suatu proses yang sedang berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dan kondisi,” simpulnya.

Dia mengatakan diplomasi soft power China masih dalam tahap awal dibandingkan dengan Amerika Serikat tetapi bukan berarti tidak dapat berkembang atau tidak efektif karena sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia dan dengan penduduk terbesar di dunia, negara itu memiliki potensi besar untuk memperluas pengaruhnya melalui soft power.

Sebagaimana dilansir dari Bisnis.com, Upaya diplomasi kuasa lunak atau soft power China terhadap Indonesia tidak mengangkat citra negara itu secara signifikan. 

Bahkan sebaliknya, Pemerintah Indonesia diimbau untuk terus memelototi diplomasi jenis kuasa lunak tersebut untuk menjaga kepentingan Indonesia.

“Bangsa Indonesia harus tetap kritis dalam memandang China. Boleh memuji dan menghargai sukses Pemerintah RRC dalam usahanya menjadikan negara dan bangsanya besar. Tetapi bukan berarti kita tidak memiliki kritik," ucap Abdullah Dahana, Guru Besar Emeritus bidang sejarah, Universitas Indonesia.

Tuty Mutia, pengajar senior pada Program Studi China Universitas Indonesia, mengatakan bahwa negara adikuasa itu telah berupaya meningkatkan kuasa lunaknya di Indonesia, antara lain melalui diplomasi publik dalam bidang budaya, sejarah dan akademik.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Thomas Mola


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024