Share

Home Stories

Stories 06 Januari 2023

Mayat Dijadikan Pupuk Kompos, Cara Penguburan Modern?

Negara bagian New York melegalkan mayat agar dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos.

Ilutrasi pemakaman. - Freepik -

Context.id, JAKARTA - Negara bagian New York melegalkan mayat agar dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos. Teknik ini dilakukan karena kesadaran akan lingkungan dan menjadi alternatif metode penguburan hijau yang dianggap ramah lingkungan. 

Dikutip dari Discovery, hampir 2,5 ton karbon dioksida dapat berkurang hanya dalam waktu 10 tahun, jika setiap penduduk di California memilih penguburan hijau tersebut. Pasalnya dikutip dari American Chemical Society, untuk mengkremasi satu mayat akan mengeluarkan sekitar sekitar 418 kg karbon dioksida ke udara atau setara dengan berkendara sekitar 756 km dengan mobil. 

Anggota majelis di New York, Amy Paulin dan senator New York, Leroy Comrie bahkan mendukung adanya Rancangan Undang-undang (RUU) agar pemanfaatan manusia menjadi kompos dapat menjadi salah satu tindakan untuk mencapai target nol emisi karbon di 2050. 

“Setiap hal yang dapat kita lakukan untuk menjauhkan orang dari pelapis beton dan peti mati mewah serta pembalseman, kita harus melakukannya dan mendukungnya,” ujar Manajer Cagar Alam Pemakaman Alam Greensprings New York, Michelle Menter.

Menariknya, ternyata New York bukanlah negara bagian pertama yang melakukan ini. Dikutip dari The Guardian, New York ternyata menjadi negara bagian keenam yang melegalkan tindakan pemanfaatan mayat menjadi pupuk kompos. 

Sebelumnya pada 2019, pusat perekonomian Amerika, Washington DC menjadi negara bagian pertama yang melegalkan pengomposan manusia, diikuti oleh Colorado, Oregon pada 2021, Vermont, dan California pada 2022.

Adapun teknik pembuatannya juga dapat terbilang cukup rumit. Pasalnya, jenazah tidak begitu saja dilemparkan ke tumpukan kompos, melainkan mayat yang sudah mendapat persetujuan untuk dijadikan pupuk kompos akan dikirim ke perusahaan pemakaman yang telah disertifikasi menjadi fasilitas reduksi organik. 

Di tempat pengolahan itu, jenazah akan dimasukkan ke dalam bejana dengan bahan-bahan organik seperti serpihan kayu, jerami, serta tanaman alfalfa. Adapun tanaman-tanaman tersebutlah yang sering dipilih karena dapat mempermudah mikroba untuk melakukan pekerjaannya. 

Setelah 30 hari, kotak tersebut akan disaring kembali untuk bahan anorganik. Lalu 30 hari kemudian, dari kotak tersebut akan disortir kembali. Tulang-tulang yang masih tersisa dan belum terurai akan dikembalikan ke keluarga. Sementara hal-hal sisanya yang sudah terurai, diprediksi akan menghasilkan sekitar satu yard kubik tanah atau setara dengan 36 kantong pupuk. 


 

Bermanfaat bagi Lingkungan

Dikutip dari Firstpost, seorang pengurus senior di Herland Forest, Walt Patrick mengatakan bahwa tanaman membutuhkan banyak unsur-unsur yang ada di tubuh manusia. Mulai dari magnesium, kalsium, dan fosfor.

 


Solusi Permasalahan Krisis Pemakaman

Pengomposan manusia juga disebut-sebut sebagai solusi praktis masalah ruang untuk pemakaman. Pasalnya, kota-kota besar di dunia sudah mengalami krisis untuk tempat pemakaman, dimana jumlah orang yang meninggal semakin banyak, tetapi lahan pemakaman justru semakin mengecil. 


 

Tidak Boleh Dilakukan Orang dengan Penyakit Tertentu

Mengutip Firstpost, orang dengan penyakit tertentu seperti Tuberkulosis atau penyakit yang sempat menjalankan pengobatan dengan menggunakan radiasi tidak disarankan untuk dikuburkan dengan cara ini. Pasalnya, orang-orang tersebut berpotensi untuk memiliki zat-zat yang berbahaya yang akan mempengaruhi kualitas dari pupuk yang dihasilkan. 


 

Menuai Kontroversi

Konferensi Katolik Negara Bagian New York menyatakan bahwa pemakaman ini merupakan suatu hal yang tidak layak. Pasalnya, hal tersebut seakan tidak menghormati sisa-sisa tubuh. 

“Tubuh manusia bukanlah limbah rumah tangga, dan kami tidak percaya bahwa proses tersebut memenuhi standar perlakuan hormat terhadap sisa-sisa duniawi,” ujar Direktur Eksekutif Konferensi Katolik New York, Dennis Poust, dikutip dari Firstpost. 



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Context.id

Stories 06 Januari 2023

Mayat Dijadikan Pupuk Kompos, Cara Penguburan Modern?

Negara bagian New York melegalkan mayat agar dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos.

Ilutrasi pemakaman. - Freepik -

Context.id, JAKARTA - Negara bagian New York melegalkan mayat agar dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos. Teknik ini dilakukan karena kesadaran akan lingkungan dan menjadi alternatif metode penguburan hijau yang dianggap ramah lingkungan. 

Dikutip dari Discovery, hampir 2,5 ton karbon dioksida dapat berkurang hanya dalam waktu 10 tahun, jika setiap penduduk di California memilih penguburan hijau tersebut. Pasalnya dikutip dari American Chemical Society, untuk mengkremasi satu mayat akan mengeluarkan sekitar sekitar 418 kg karbon dioksida ke udara atau setara dengan berkendara sekitar 756 km dengan mobil. 

Anggota majelis di New York, Amy Paulin dan senator New York, Leroy Comrie bahkan mendukung adanya Rancangan Undang-undang (RUU) agar pemanfaatan manusia menjadi kompos dapat menjadi salah satu tindakan untuk mencapai target nol emisi karbon di 2050. 

“Setiap hal yang dapat kita lakukan untuk menjauhkan orang dari pelapis beton dan peti mati mewah serta pembalseman, kita harus melakukannya dan mendukungnya,” ujar Manajer Cagar Alam Pemakaman Alam Greensprings New York, Michelle Menter.

Menariknya, ternyata New York bukanlah negara bagian pertama yang melakukan ini. Dikutip dari The Guardian, New York ternyata menjadi negara bagian keenam yang melegalkan tindakan pemanfaatan mayat menjadi pupuk kompos. 

Sebelumnya pada 2019, pusat perekonomian Amerika, Washington DC menjadi negara bagian pertama yang melegalkan pengomposan manusia, diikuti oleh Colorado, Oregon pada 2021, Vermont, dan California pada 2022.

Adapun teknik pembuatannya juga dapat terbilang cukup rumit. Pasalnya, jenazah tidak begitu saja dilemparkan ke tumpukan kompos, melainkan mayat yang sudah mendapat persetujuan untuk dijadikan pupuk kompos akan dikirim ke perusahaan pemakaman yang telah disertifikasi menjadi fasilitas reduksi organik. 

Di tempat pengolahan itu, jenazah akan dimasukkan ke dalam bejana dengan bahan-bahan organik seperti serpihan kayu, jerami, serta tanaman alfalfa. Adapun tanaman-tanaman tersebutlah yang sering dipilih karena dapat mempermudah mikroba untuk melakukan pekerjaannya. 

Setelah 30 hari, kotak tersebut akan disaring kembali untuk bahan anorganik. Lalu 30 hari kemudian, dari kotak tersebut akan disortir kembali. Tulang-tulang yang masih tersisa dan belum terurai akan dikembalikan ke keluarga. Sementara hal-hal sisanya yang sudah terurai, diprediksi akan menghasilkan sekitar satu yard kubik tanah atau setara dengan 36 kantong pupuk. 


 

Bermanfaat bagi Lingkungan

Dikutip dari Firstpost, seorang pengurus senior di Herland Forest, Walt Patrick mengatakan bahwa tanaman membutuhkan banyak unsur-unsur yang ada di tubuh manusia. Mulai dari magnesium, kalsium, dan fosfor.

 


Solusi Permasalahan Krisis Pemakaman

Pengomposan manusia juga disebut-sebut sebagai solusi praktis masalah ruang untuk pemakaman. Pasalnya, kota-kota besar di dunia sudah mengalami krisis untuk tempat pemakaman, dimana jumlah orang yang meninggal semakin banyak, tetapi lahan pemakaman justru semakin mengecil. 


 

Tidak Boleh Dilakukan Orang dengan Penyakit Tertentu

Mengutip Firstpost, orang dengan penyakit tertentu seperti Tuberkulosis atau penyakit yang sempat menjalankan pengobatan dengan menggunakan radiasi tidak disarankan untuk dikuburkan dengan cara ini. Pasalnya, orang-orang tersebut berpotensi untuk memiliki zat-zat yang berbahaya yang akan mempengaruhi kualitas dari pupuk yang dihasilkan. 


 

Menuai Kontroversi

Konferensi Katolik Negara Bagian New York menyatakan bahwa pemakaman ini merupakan suatu hal yang tidak layak. Pasalnya, hal tersebut seakan tidak menghormati sisa-sisa tubuh. 

“Tubuh manusia bukanlah limbah rumah tangga, dan kami tidak percaya bahwa proses tersebut memenuhi standar perlakuan hormat terhadap sisa-sisa duniawi,” ujar Direktur Eksekutif Konferensi Katolik New York, Dennis Poust, dikutip dari Firstpost. 



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Context.id


RELATED ARTICLES

Muatan Politis Proyek Revisi Sejarah Versi Pemerintah

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia versi pemerintah dianggap bermuatan politis, bukan karena dasar pertimbangan ilmu pengetahuan

Renita Sukma . 25 June 2025

Bagaimana AI Meresap dalam Parfum

AI merevolusi proses pembuatan wewangian atau parfum. Benarkah hasilnya sesuai dengan hasil racikan tangan manusia?

Noviarizal Fernandez . 25 June 2025

Meningkatnya Penculikan Miliarder Kripto

Awalnya, pencurian kripto identik dengan peretas tapi kini kembali ke cara konvensional, menculik investornya dan memindahkan kekayaannya ke rekening

Noviarizal Fernandez . 23 June 2025

Turang Sudah Pulang, Film Terbaik yang Lama Menghilang

Seniman Bunga Siagian berhasil membawa pulang film karya aktivis Lekra Bachtiar Siagian berjudul Turang, yang sempat hilang puluhan tahun dari per ...

Renita Sukma . 22 June 2025