Share

Stories 09 November 2022

Tap MPRS 33/1967, Titik Akhir Kekuasaan Soekarno

Pada hari Senin (11/9/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 telah dicabut.

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. -Bisnis-

Context, JAKARTA - Pada hari Senin (11/9/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno telah dicabut.

“Perlu kami tegaskan, bahwa ketetapan MPR nomor I/MPR/2003 menyatakan bahwa TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 sebagai kelompok ketetapan [Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara] MPRS yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final telah dicabut maupun telah dilaksanakan,” ujar Jokowi dikutip dari Bisnis.

Perlu diketahui, TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 ini adalah dasar hukum yang memaksa Presiden Soekarno turun dari jabatannya karena dituduh terlibat dengan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI), sekaligus penunjukkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru.


Sejarah TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967

Mengutip dari sebuah jurnal berjudul Peralihan Kekuasaan Presiden Dalam Lintasan Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, hal ini bermula ketika terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Gerakan militer dalam pemberontakan yang menewaskan 6 Jenderal dan seorang perwira TNI tersebut dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalyon I resimen Cakrabirawa atau Pasukan Pengawal Presiden.

Setelah pemberontakan tersebut gagal, rakyat Indonesia pun saling menaruh curiga, salah satunya kepada Presiden Soekarno yang diduga dekat dengan PKI. Di saat yang sama, pada 2 Oktober 1965, Soekarno menunjuk Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) yang bertugas untuk memulihkan keamanan dan ketertiban seperti semula.

Semenjak itu lah, nama Soeharto mulai dikenal orang banyak, dan di lain pihak, nama Soekarno mulai memudar. Kemudian pada 16 Oktober 1965, Soeharto kembali ditunjuk oleh Soekarno sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dengan memegang jabatan tersebut, Soeharto mulai leluasa untuk menyingkirkan unsur-unsur PKI, mulai dari ormas hingga masyarakat sipil.

Rakyat yang masih marah dengan peristiwa Gerakan 30 September, menjadi semakin berapi-api ketika perekonomian Indonesia semakin sulit pada akhir 1965. Akhirnya muncul lah Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA) yang dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pada 10 Januari 1966.

Adapun tiga tuntutan TRITURA antara lain pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI, dan penurunan harga/perbaikan ekonomi. Akibat tuntutan ini, presiden pun mengubah susunan Kabinet Dwikora pada 24 Februari 1966. Namun, rakyat justru semakin marah. Sebab, masih ada tokoh-tokoh yang dicurigai terlibat dengan Gerakan 30 September tersebut.

Menyadari akan kondisi negara yang semakin tidak kondusif, Soekarno pun memberikan surat perintah kepada Soeharto pada 11 Maret 1966. Surat bersejarah tersebut dikenal juga sebagai SUPERSEMAR. Surat ini lah yang diduga menjadi permulaan peralihan presiden dari Soekarno ke Soeharto.

Surat perintah tersebut pun dikukuhkan oleh MPRS melalui Tap MPRS No. IX/MPRS/1966. Dengan adanya landasan hukum yang kuat, maka “kekuasaan” Soeharto pun semakin kuat di pemerintahan. Saat itu, ia adalah orang kedua yang paling berkuasa di Kabinet Ampera setelah Soekarno.

Kemudian pada 22 Juni 1966, Soekarno memberikan pidato berjudul Nawaksara yang ditujukan kepada MPRS. dilansir unkris.ac.id, Nawaksara adalah pidato yang disampaikan Soekarno sebagai pertanggungjawabannya dalam menghadapi G302/PKI.

Namun, MPRS tidak puas dengan apa yang telah disampaikan Soekarno, dan akhirnya meminta Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban tersebut melalui Tap MPRS No. V/MPRS/1966. Lalu, meskipun telah dilengkapi oleh Soekarno, dalam musyawarah yang dilakukan MPRS pada 21 Januari 1967, Soekarno dinyatakan telah alpa dalam memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional. 

Akibat kondisi yang semakin tidak kondusif, ditambah adanya usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR), singkat cerita, diadakan lah Sidang Istimewa oleh MPRS pada 7 hingga 12 Maret yang menghasilkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Berikut isi dari keputusan MPRS tersebut yang dikutip dari hukumonline.com.


Isi TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967

Menetapkan:
Ketetapan Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Soekarno

BAB I
Pasal 1
Menyatakan, bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 2
Menyatakan bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3
Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya
Ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 4
Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.

Pasal 5
Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara).



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Putri Dewi

Stories 09 November 2022

Tap MPRS 33/1967, Titik Akhir Kekuasaan Soekarno

Pada hari Senin (11/9/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 telah dicabut.

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. -Bisnis-

Context, JAKARTA - Pada hari Senin (11/9/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno telah dicabut.

“Perlu kami tegaskan, bahwa ketetapan MPR nomor I/MPR/2003 menyatakan bahwa TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 sebagai kelompok ketetapan [Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara] MPRS yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final telah dicabut maupun telah dilaksanakan,” ujar Jokowi dikutip dari Bisnis.

Perlu diketahui, TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 ini adalah dasar hukum yang memaksa Presiden Soekarno turun dari jabatannya karena dituduh terlibat dengan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI), sekaligus penunjukkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru.


Sejarah TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967

Mengutip dari sebuah jurnal berjudul Peralihan Kekuasaan Presiden Dalam Lintasan Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, hal ini bermula ketika terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Gerakan militer dalam pemberontakan yang menewaskan 6 Jenderal dan seorang perwira TNI tersebut dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalyon I resimen Cakrabirawa atau Pasukan Pengawal Presiden.

Setelah pemberontakan tersebut gagal, rakyat Indonesia pun saling menaruh curiga, salah satunya kepada Presiden Soekarno yang diduga dekat dengan PKI. Di saat yang sama, pada 2 Oktober 1965, Soekarno menunjuk Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) yang bertugas untuk memulihkan keamanan dan ketertiban seperti semula.

Semenjak itu lah, nama Soeharto mulai dikenal orang banyak, dan di lain pihak, nama Soekarno mulai memudar. Kemudian pada 16 Oktober 1965, Soeharto kembali ditunjuk oleh Soekarno sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dengan memegang jabatan tersebut, Soeharto mulai leluasa untuk menyingkirkan unsur-unsur PKI, mulai dari ormas hingga masyarakat sipil.

Rakyat yang masih marah dengan peristiwa Gerakan 30 September, menjadi semakin berapi-api ketika perekonomian Indonesia semakin sulit pada akhir 1965. Akhirnya muncul lah Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA) yang dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pada 10 Januari 1966.

Adapun tiga tuntutan TRITURA antara lain pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI, dan penurunan harga/perbaikan ekonomi. Akibat tuntutan ini, presiden pun mengubah susunan Kabinet Dwikora pada 24 Februari 1966. Namun, rakyat justru semakin marah. Sebab, masih ada tokoh-tokoh yang dicurigai terlibat dengan Gerakan 30 September tersebut.

Menyadari akan kondisi negara yang semakin tidak kondusif, Soekarno pun memberikan surat perintah kepada Soeharto pada 11 Maret 1966. Surat bersejarah tersebut dikenal juga sebagai SUPERSEMAR. Surat ini lah yang diduga menjadi permulaan peralihan presiden dari Soekarno ke Soeharto.

Surat perintah tersebut pun dikukuhkan oleh MPRS melalui Tap MPRS No. IX/MPRS/1966. Dengan adanya landasan hukum yang kuat, maka “kekuasaan” Soeharto pun semakin kuat di pemerintahan. Saat itu, ia adalah orang kedua yang paling berkuasa di Kabinet Ampera setelah Soekarno.

Kemudian pada 22 Juni 1966, Soekarno memberikan pidato berjudul Nawaksara yang ditujukan kepada MPRS. dilansir unkris.ac.id, Nawaksara adalah pidato yang disampaikan Soekarno sebagai pertanggungjawabannya dalam menghadapi G302/PKI.

Namun, MPRS tidak puas dengan apa yang telah disampaikan Soekarno, dan akhirnya meminta Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban tersebut melalui Tap MPRS No. V/MPRS/1966. Lalu, meskipun telah dilengkapi oleh Soekarno, dalam musyawarah yang dilakukan MPRS pada 21 Januari 1967, Soekarno dinyatakan telah alpa dalam memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional. 

Akibat kondisi yang semakin tidak kondusif, ditambah adanya usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR), singkat cerita, diadakan lah Sidang Istimewa oleh MPRS pada 7 hingga 12 Maret yang menghasilkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Berikut isi dari keputusan MPRS tersebut yang dikutip dari hukumonline.com.


Isi TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967

Menetapkan:
Ketetapan Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Soekarno

BAB I
Pasal 1
Menyatakan, bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 2
Menyatakan bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3
Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya
Ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 4
Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.

Pasal 5
Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara).



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Putri Dewi


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024