Stories - 25 August 2022

Dunia Mulai Dihantui Resesi Seks, Bagaimana Dampaknya?

Dunia sedang diancam oleh fenomena baru yang disebut dengan istilah resesi seks. Jika dibiarkan, hal ini dapat berdampak buruk bagi perekonomian.


Sekolah di Jepang kekurangan murid. -BBC-

Context, JAKARTA - Perkembangan zaman, perubahan pola perilaku, dan pemikiran manusia saat ini ternyata telah mengakibatkan munculnya ancaman resesi seks. Tanpa kita sadari, hal ini ternyata telah mengancam banyak negara di seluruh dunia.

Seorang penulis bernama Kate Julian memperkenalkan istilah resesi seks ini pada tahun 2018. Resesi seks sendiri merupakan istilah untuk fenomena berkurangnya aktivitas seks yang dilakukan oleh manusia. Jika resesi seks ini terjadi dalam waktu lama, maka kemungkinan akan berdampak kepada terjadinya penurunan angka kelahiran hingga perlambatan pertumbuhan ekonomi.


Apa Penyebab Resesi Seks?

Menurut Kate Julian, resesi seks ini tidak disebabkan oleh sebuah faktor tunggal saja. Penyebabnya juga berbeda-beda di setiap negara. Sebagian besar, resesi seks bisa disebabkan oleh faktor sosial, budaya, hingga teknologi.

Mengutip dari The Atlantic, Kate Julian menjelaskan bahwa saat ini banyak anak muda yang memandang jika seks bukan lah satu-satunya cara untuk “bersenang-senang”. Kecanggihan teknologi membuat banyak anak muda lebih memilih untuk menonton film pornografi dibandingkan dengan harus melakukan aktivitas seks. 

Contohnya seperti di Jepang, saat ini banyak anak mudanya yang memandang seks sebagai mendokusai atau melelahkan. Daripada melakukan aktivitas seks yang melelahkan, anak muda Jepang akan memilih cara lain untuk “bersenang-senang”, seperti menonton film porno atau pun hal lainnya.

Penyebab lainnya, saat ini banyak anak muda di seluruh dunia tidak memiliki hubungan dalam jangka panjang. Padahal, menurut sosiolog Lisa Wade, anak muda akan cenderung melakukan aktivitas seks jika mereka dalam hubungan yang panjang.

Selain itu, padatnya aktivitas seorang anak muda juga membuat aktivitas seks ini berkurang. Banyak dari mereka yang harus bekerja hingga malam, melakukan kegiatan ekstrakurikuler, dan lain sebagainya. Hasilnya, banyak anak muda yang sudah memiliki pasangan tidak punya waktu luang dan sudah terlanjur kelelahan untuk melakukan aktivitas seks.

Kurangnya pendidikan seks juga ternyata berpengaruh pada terjadinya resesi seks. Contohnya, karena kaum pria hanya mendapatkan pendidikan seks seadanya dari pornografi, maka aktivitas seks pertamanya akan menimbulkan kesan yang buruk kepada para wanita. 

Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada 2012 oleh peneliti seks di University of Indiana, Debby Herbenick, 30 persen wanita mengalami rasa sakit saat terakhir kali melakukan aktivitas seks. Kesan yang buruk ini akan membuat salah satu pasangan menolak untuk berhubungan seks.

Selain itu, resesi seks juga ternyata tidak semata-mata disebabkan oleh anak muda saja, tapi orang dewasa juga punya kontribusi yang cukup besar dalam hal ini. Penyebab terbesarnya di kalangan orang dewasa adalah terjadinya perceraian. 

Di Indonesia sendiri, tingkat perceraiannya cukup tinggi, yaitu sebesar 28 persen dari total perkawinan. Dilansir dari laman Kemenag, pada 2010 angka perceraian di Indonesia masih relatif rendah, yaitu sekitar 4 hingga 6 persen saja. Tetapi sejak 2013, kasus perceraian mulai meningkat hingga mencapai 28 persen pada saat ini. Perceraian yang dilakukan oleh orang dewasa ini secara langsung telah mengurangi aktivitas seksnya.


Dampak Negatif Resesi Seks

Resesi seks yang terjadi di sebuah negara akan berpotensi besar pada menurunnya jumlah angka kelahiran. Kemudian jika angka kelahiran tersebut menurun, tandanya jumlah populasi di sebuah negara juga berpotensi akan menurun. Tingkat populasi dari sebuah negara yang berubah secara drastis ini akan membahayakan negara, baik dari sektor keamanan, sosial, mau pun ekonomi. 

Misalnya, jika suatu negara mengalami ledakan populasi tanpa diikuti dengan pembangunan infrastruktur ekonomi yang baik, maka kemungkinan besar akan menyebabkan meningkatnya pengangguran, kejahatan, dan lain-lain. Alih-alih mendapatkan bonus demografi, yang didapatkan malah bencana demografi.

Sebaliknya, jika sebuah negara mengalami penurunan jumlah populasi yang masif, maka negara akan kekurangan sumber daya manusia (SDM) atau tenaga kerja. Berkurangnya jumlah tenaga kerja ini secara langsung akan berdampak pada menurunnya produktivitas ekonomi. 

Selain itu, hal ini juga akan merugikan sektor ekonomi dari tempat bermain anak, tempat wisata anak, tempat penitipan anak, rumah sakit anak, bahkan juga sekolah dan tempat kursus karena jumlah muridnya akan berkurang. Kemudian, penjualan produk khusus anak seperti baju, susu bayi, mau pun mainan juga akan menurun.


Contoh Penurunan Populasi Akibat Resesi Seks

Saat ini, salah satu negara yang mengalami penurunan populasi cukup besar adalah Jepang. Dilansir dari Visual Capitalist, Negara yang terkenal dengan berbagai makanan mentahnya ini diproyeksikan akan mengalami penurunan populasi hingga 16,3 persen. Populasi yang tadinya sebanyak 126,5 juta pada 2020, akan berkurang menjadi 105,8 juta pada 2050.

Resesi seks yang terjadi di Jepang tersebut disebabkan oleh jumlah pernikahan yang berkurang, pernikahan yang terlambat, kaum wanitanya yang lebih fokus pada pekerjaannya, hingga biaya hidup tinggi yang membuat banyak pasangan ogah untuk mempunyai anak.

Sadar akan hal ini, pemerintah Jepang telah membuat beberapa program untuk mendorong anak mudanya agar mau memiliki anak. Salah satunya yang paling menarik adalah dengan membayar atau memberikan tunjangan sebesar 100.000 yen atau sekitar Rp10.7 juta per anak yang lahir. 

Nilai 100.000 yen tersebut dipilih karena menurut penelitian, rata-rata biaya rumah sakit untuk melahirkan di Tokyo adalah 100.000 yen lebih banyak daripada di seluruh Jepang. Karena itu, diharapkan hal ini dapat mengurangi beban ekonomi para orang tua yang ingin memiliki anak.

Selain Jepang, China juga mengalami hal yang serupa. Resesi seks yang terjadi di China mulai terasa sejak pandemi. Pada tahun 2020, biro statistik nasional negara tersebut mencatat hanya 8,52 angka kelahiran per seribu orang. Kemudian, pada 2021 angka kelahirannya kembali berkurang menjadi 7,52 kelahiran per seribu orang. Ini merupakan angka kelahiran terendah yang terjadi di China sejak 1949.

Dilansir dari News Deliver, dalam tiga kuartal pertama, jumlah pasangan baru (pernikahan) di China turun hingga 17,5 persen. Selain itu, kemauan anak mudanya untuk menikah juga sudah mulai berkurang. Bahkan menurut Liga Pemuda Komunis China, hampir 50 persen perempuan muda yang tinggal di perkotaan tidak mau menikah.

Tidak jauh berbeda dengan alasan yang dimiliki anak muda Jepang, di China mereka beralasan karena tidak punya waktu, biaya nikah yang tinggi, dan beban ekonomi saat memiliki anak.


Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Putri Dewi

MORE  STORIES

Peran Amicus Curiae dalam Sidang Sengketa Perselisihan Hasil Pilpres

Amicus Curiae atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai Sahabat Pengadilan

Ririn oktaviani | 16-04-2024

NASA dan Strategi Baru Keberlanjutan Luar Angkasa

NASA ingin mengurangi puing-puing yang diakibatkan oleh aktivitas manusia di orbit bumi.

Context.id | 16-04-2024

Bca Life Proyeksi Pembayaran Premi Tahun Ini Capai Rp1,9 T

Ada sejumlah tantangan terkait kondisi pasar yang belum stabil dan isu geopolitik yang memperlambat pemulihan ekonomi

Noviarizal Fernandez | 16-04-2024

Kesehatan Mental Memburuk? Ini Tips Mengatasinya

Kesehatan mental sangat mempengaruhi performa kerja karena terkait dengan produktivitas dan juga kesehatan tubuh.

Context.id | 16-04-2024