Inflasi, Buat Inggris Resesi dan Menuju Stagflasi
Inggris sedang berada di dalam kondisi penurunan ekonomi akibat inflasi tinggi dan diprediksi akan masuk ke kondisi stagflasi.
Context.id, JAKARTA - Apa yang terjadi jika biaya hidup semakin mahal, padahal pendapatan tidak kunjung bertambah? Hal itulah yang sedang dialami Inggris saat ini.
Inggris sedang berada di dalam kondisi penurunan ekonomi akibat inflasi tinggi. Menurut Kantor Statistik Nasional Inggris, inflasi negara tersebut sudah mencapai 9,4 persen pada Juni 2022, yang mana merupakan kenaikan inflasi tertinggi dalam satu tahun, sejak 40 tahun silam.
Hal ini pun terbukti dari penelitian Institut Nasional Penelitian Ekonomi dan Sosial (NIESR). Mereka menemukan bahwa rata-rata pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat Inggris turun hingga 2,5 persen pada tahun ini. Alhasil, banyak juga rumah tangga yang terpaksa menggunakan tabungannya atau sampai berhutang agar dapat bertahan hidup.
Otomatis, ini pun berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, peningkatan pengangguran, dan penurunan ukuran pendapatan. Dimana hal tersebutlah yang membawa Inggris menuju resesi (penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, berdampak luas, dan terjadi cukup lama).
Diketahui, NIESR menyatakan bahwa resesi Inggris dimulai pada kuartal tiga tahun ini dan akan berlanjut hingga awal 2023.
Parahnya, jika hal ini dibiarkan, Inggris akan menuju stagflasi, dimana ekonomi Inggris akan mandek, layaknya yang diucapkan oleh Wakil Direktur Makro Ekonomi NIESR Stephen Millard. “Ekonomi Inggris sedang menuju ke periode stagflasi dengan inflasi tinggi dan resesi (yang) memukul ekonomi secara bersamaan,” ujar Millard.
Sayangnya, penelitian pun menyatakan bahwa situasi ini akan butuh bertahun-tahun untuk kembali seperti semula.
Emang Apa yang Terjadi Jika Terjadi Stagflasi?
Dikutip dari Investopedia, stagflasi adalah kombinasi dari tiga hal yang negatif bagi perekonomian negara, yakni pertumbuhan ekonomi melambat, pengangguran yang tinggi, dan harga yang lebih tinggi.
Maka dari itu, kondisi inipun membuat lapangan kerja menjadi semakin sedikit, masyarakat tidak bisa mendapatkan uang, padahal biaya hidup semakin meningkat. Masalahnya, ketika negara sudah mengalami stagflasi, hal ini akan sangat sulit untuk berhenti.
Soalnya, kebijakan ekonomi yang menguntungkan bagi satu pihak, akan membuat pihak lain menjadi lebih terpuruk.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga masih optimis bahwa perekonomian Indonesia masih kuat dan bisa tumbuh di 5-5,2 persen di 2022 ini. Pasalnya, berdasarkan kuartal yang sudah lewat, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di angka 5 persen.
Selain itu, beberapa indikator ekonomi Indonesia masih positif, baik dari sektor keuangan, moneter, pasar tenaga kerja, maupun industri.
“Kami masih optimis kuartal kedua juga diperkirakan sedikit lebih dari lima persen. Kalau bisa dijaga di kuartal III/2022, maka angka 5-5,2 persen di akhir tahun ini bisa kita capai,” ujar Airlangga.
RELATED ARTICLES
Inflasi, Buat Inggris Resesi dan Menuju Stagflasi
Inggris sedang berada di dalam kondisi penurunan ekonomi akibat inflasi tinggi dan diprediksi akan masuk ke kondisi stagflasi.
Context.id, JAKARTA - Apa yang terjadi jika biaya hidup semakin mahal, padahal pendapatan tidak kunjung bertambah? Hal itulah yang sedang dialami Inggris saat ini.
Inggris sedang berada di dalam kondisi penurunan ekonomi akibat inflasi tinggi. Menurut Kantor Statistik Nasional Inggris, inflasi negara tersebut sudah mencapai 9,4 persen pada Juni 2022, yang mana merupakan kenaikan inflasi tertinggi dalam satu tahun, sejak 40 tahun silam.
Hal ini pun terbukti dari penelitian Institut Nasional Penelitian Ekonomi dan Sosial (NIESR). Mereka menemukan bahwa rata-rata pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat Inggris turun hingga 2,5 persen pada tahun ini. Alhasil, banyak juga rumah tangga yang terpaksa menggunakan tabungannya atau sampai berhutang agar dapat bertahan hidup.
Otomatis, ini pun berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, peningkatan pengangguran, dan penurunan ukuran pendapatan. Dimana hal tersebutlah yang membawa Inggris menuju resesi (penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, berdampak luas, dan terjadi cukup lama).
Diketahui, NIESR menyatakan bahwa resesi Inggris dimulai pada kuartal tiga tahun ini dan akan berlanjut hingga awal 2023.
Parahnya, jika hal ini dibiarkan, Inggris akan menuju stagflasi, dimana ekonomi Inggris akan mandek, layaknya yang diucapkan oleh Wakil Direktur Makro Ekonomi NIESR Stephen Millard. “Ekonomi Inggris sedang menuju ke periode stagflasi dengan inflasi tinggi dan resesi (yang) memukul ekonomi secara bersamaan,” ujar Millard.
Sayangnya, penelitian pun menyatakan bahwa situasi ini akan butuh bertahun-tahun untuk kembali seperti semula.
Emang Apa yang Terjadi Jika Terjadi Stagflasi?
Dikutip dari Investopedia, stagflasi adalah kombinasi dari tiga hal yang negatif bagi perekonomian negara, yakni pertumbuhan ekonomi melambat, pengangguran yang tinggi, dan harga yang lebih tinggi.
Maka dari itu, kondisi inipun membuat lapangan kerja menjadi semakin sedikit, masyarakat tidak bisa mendapatkan uang, padahal biaya hidup semakin meningkat. Masalahnya, ketika negara sudah mengalami stagflasi, hal ini akan sangat sulit untuk berhenti.
Soalnya, kebijakan ekonomi yang menguntungkan bagi satu pihak, akan membuat pihak lain menjadi lebih terpuruk.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga masih optimis bahwa perekonomian Indonesia masih kuat dan bisa tumbuh di 5-5,2 persen di 2022 ini. Pasalnya, berdasarkan kuartal yang sudah lewat, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di angka 5 persen.
Selain itu, beberapa indikator ekonomi Indonesia masih positif, baik dari sektor keuangan, moneter, pasar tenaga kerja, maupun industri.
“Kami masih optimis kuartal kedua juga diperkirakan sedikit lebih dari lima persen. Kalau bisa dijaga di kuartal III/2022, maka angka 5-5,2 persen di akhir tahun ini bisa kita capai,” ujar Airlangga.
POPULAR
RELATED ARTICLES