Bioskop Tua dan Jejak Politik yang Tak Pernah Usai
Bagi Yosep Anggi Noen, gedung bioskop bukan sekadar tempat memutar film, tapi ruang yang menjadi saksi propaganda rezim dan ruang tarik ulur suara dan kuasa
 (1).jpg)
Context.id, JAKARTA - Di satu unggahan Instagram @angginoen, tampak bangunan renta dengan papan nama bertuliskan "RIANG theatre" yang kusam dimakan usia. Kamera Yosep Anggi Noen mengabadikannya.
Sutradara film Istirahatlah Kata-Kata (2016) itu tak sekadar memotret, tapi juga mencari tahu kisah di belakang gedung bioskop tua, mulai dari siapa yang datang menonton, film apa yang pernah diputar, tangisan atau gelak tawa dalam ruangan itu dan bagaimana bangunan itu kini berubah fungsi atau malah terbengkalai.
Di film Istirahatlah Kata-Kata, Anggi Noen menjadikan salah satu bioskop tua di Pontianak sebagai latar dalam kisah pelarian Wiji Thukul, aktivis cum seniman yang diburu penguasa Orde Baru.
Bagi Anggi, bioskop tua itu lebih dari sekadar tempat. "Dulu bioskop itu ramai oleh para nelayan yang baru pulang melaut, sekarang jadi tempat olahraga.” Perubahan makna dari ruang publik yang penuh tafsir, menjadi lapangan bulutangkis yang steril dari wacana.
Bagi kebanyakan orang, itu cuma puing masa lalu. Tapi bagi Anggi, bangunan-bangunan tua itu adalah pengingat bergeraknya zaman. Sebagai arsip sekaligus jejak ideologi. Ia mengajak publik untuk menelusuri kembali gedung-gedung lama, bukan sekadar karena arsitekturnya yang khas, tetapi karena kisah sosial-politik yang melekat di dalamnya.
“Bioskop itu selalu punya relasi panjang dengan lingkungannya. Ia saksi zaman. Ia bagian dari perjalanan sejarah masyarakat,” kata Anggi.
Salah satu momen penting dalam penjelajahan arsipnya terjadi di Yogyakarta. Di dalam gedung bioskop tua bernama Permata, Anggi menemukan pecahan kaca iklan bioskop era 1960-an. Salah satu kaca itu bertuliskan “Sukseskan Kongres SOBSI 1961.”
Sebuah slogan yang biasa saja, kecuali jika Anda tahu SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) adalah simpul penting kekuatan buruh kiri pada periode 60an yang kemudian dihancurkan oleh Orde Baru bersama ratusan ribu anggotanya.
Temuan ini bukan sekadar artefak, melainkan serpih dari sejarah besar yang dipinggirkan.
"Industri hiburan sebenarnya sangat politis. Agenda-agenda propaganda dari manapun sangat mudah masuk lewat ruang sinema,” ujar Anggi. Sinema, menurutnya, tak pernah benar-benar netral. Kita bisa mengingat bagaimana film Orde Baru yang menyisipkan narasi tunggal sejarah.
Hingga kini, Anggi telah mengarsip sekitar 20 gedung bioskop di berbagai kota. Ia berniat membuat film dokumenter dari kumpulan itu, meski mengakui belum mulai merangkai narasinya.
Kegiatan arsip ini menjadi bentuk lain upaya merawat ingatan dan melawan lupa bagaimana perjalanan sosial politik masyarakat di masa lalu.
Di hadapan gedung tua tak terawat, Anggi berdiri sebagai saksi dan pencerita. Ia tahu, di balik kusamnya bangunan tua, ada sesuatu yang masih hidup, yakni memori, sejarah perkembangan masyarakat dan upayanya untuk merawat ingatan.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Bioskop Tua dan Jejak Politik yang Tak Pernah Usai
Bagi Yosep Anggi Noen, gedung bioskop bukan sekadar tempat memutar film, tapi ruang yang menjadi saksi propaganda rezim dan ruang tarik ulur suara dan kuasa
 (1).jpg)
Context.id, JAKARTA - Di satu unggahan Instagram @angginoen, tampak bangunan renta dengan papan nama bertuliskan "RIANG theatre" yang kusam dimakan usia. Kamera Yosep Anggi Noen mengabadikannya.
Sutradara film Istirahatlah Kata-Kata (2016) itu tak sekadar memotret, tapi juga mencari tahu kisah di belakang gedung bioskop tua, mulai dari siapa yang datang menonton, film apa yang pernah diputar, tangisan atau gelak tawa dalam ruangan itu dan bagaimana bangunan itu kini berubah fungsi atau malah terbengkalai.
Di film Istirahatlah Kata-Kata, Anggi Noen menjadikan salah satu bioskop tua di Pontianak sebagai latar dalam kisah pelarian Wiji Thukul, aktivis cum seniman yang diburu penguasa Orde Baru.
Bagi Anggi, bioskop tua itu lebih dari sekadar tempat. "Dulu bioskop itu ramai oleh para nelayan yang baru pulang melaut, sekarang jadi tempat olahraga.” Perubahan makna dari ruang publik yang penuh tafsir, menjadi lapangan bulutangkis yang steril dari wacana.
Bagi kebanyakan orang, itu cuma puing masa lalu. Tapi bagi Anggi, bangunan-bangunan tua itu adalah pengingat bergeraknya zaman. Sebagai arsip sekaligus jejak ideologi. Ia mengajak publik untuk menelusuri kembali gedung-gedung lama, bukan sekadar karena arsitekturnya yang khas, tetapi karena kisah sosial-politik yang melekat di dalamnya.
“Bioskop itu selalu punya relasi panjang dengan lingkungannya. Ia saksi zaman. Ia bagian dari perjalanan sejarah masyarakat,” kata Anggi.
Salah satu momen penting dalam penjelajahan arsipnya terjadi di Yogyakarta. Di dalam gedung bioskop tua bernama Permata, Anggi menemukan pecahan kaca iklan bioskop era 1960-an. Salah satu kaca itu bertuliskan “Sukseskan Kongres SOBSI 1961.”
Sebuah slogan yang biasa saja, kecuali jika Anda tahu SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) adalah simpul penting kekuatan buruh kiri pada periode 60an yang kemudian dihancurkan oleh Orde Baru bersama ratusan ribu anggotanya.
Temuan ini bukan sekadar artefak, melainkan serpih dari sejarah besar yang dipinggirkan.
"Industri hiburan sebenarnya sangat politis. Agenda-agenda propaganda dari manapun sangat mudah masuk lewat ruang sinema,” ujar Anggi. Sinema, menurutnya, tak pernah benar-benar netral. Kita bisa mengingat bagaimana film Orde Baru yang menyisipkan narasi tunggal sejarah.
Hingga kini, Anggi telah mengarsip sekitar 20 gedung bioskop di berbagai kota. Ia berniat membuat film dokumenter dari kumpulan itu, meski mengakui belum mulai merangkai narasinya.
Kegiatan arsip ini menjadi bentuk lain upaya merawat ingatan dan melawan lupa bagaimana perjalanan sosial politik masyarakat di masa lalu.
Di hadapan gedung tua tak terawat, Anggi berdiri sebagai saksi dan pencerita. Ia tahu, di balik kusamnya bangunan tua, ada sesuatu yang masih hidup, yakni memori, sejarah perkembangan masyarakat dan upayanya untuk merawat ingatan.
POPULAR
RELATED ARTICLES