Gen Z Lawan Krisis Iklim, Suara Nina dari Gresik
Aktivis muda Aeshnina Azzahra atau Nina lantang mengkritik produsen dan pemerintah soal krisis iklim dan sampah plastik di Indonesia
.jpg)
Context.id, JAKARTA - Setiap pagi, jutaan pekerja muda Indonesia berdesakan di kereta atau menembus panas jalanan menuju kantor. Terkadang pagi saja sudah terasa terik menyengat. Sorenya disambut hujan lebat yang mendadak turun.
Cuaca terasa makin tak menentu. Di tengah rutinitas ini, kesadaran akan krisis iklim tumbuh pelan-pelan dari generasi muda, dan salah satu suara paling lantang datang dari generasi Z. Anak muda dari kelompok umur 13-28 tahun
Menurut survei Indikator Politik dan Yayasan Indonesia Cerah, 82% anak muda usia 17-35 tahun mengkhawatirkan kerusakan lingkungan. Enam dari sepuluh percaya krisis iklim disebabkan oleh aktivitas manusia.
Lalu sekitar 20% dari responden Gen Z menyatakan siap terlibat dalam gerakan perubahan. Di Indonesia, salah satu sosok cukup menonjol dari generasi ini adalah Aeshnina Azzahra Aqilani atau akrab disapa Nina.
Pada usia 12 tahun, Nina pernah menulis surat kepada Presiden AS Donald Trump menentang kiriman sampah plastik dari negaranya ke Indonesia dan mendapat balasan. Tapi suara Nina bukan sekadar protes. Ia bicara lebih jauh, menyentuh akar persoalan yang lebih dalam.
“Aku gak mau cuma diajak memilah sampah atau bawa tumbler. Itu penting, tapi bukan inti masalah. Yang harus dituntut itu produsen dan pemerintah. Mereka yang buat aturan dan produksi massal,” ujar Nina
Kedekatan Nina dengan isu lingkungan bukan kebetulan. Sejak kecil dirinya tumbuh di tengah keluarga aktivis lingkungan. Masa kecilnya di desa Bambe dan kemudian di Wringinanom, Gresik, dipenuhi kenangan berenang di sungai dan mengamati serangga.
Alam adalah tempat sekaligus teman bermainnya. Namun seiring waktu, Nina menyaksikan lingkungan itu berubah. “Dulu sungainya jernih, sekarang udah dikeruk. Gak bisa berenang lagi, terus industri buang limbahnya ke situ,” katanya.
Perjumpaannya dengan dampak krisis iklim semakin nyata saat ayahnya mengajak ke Desa Bangun, Jawa Timur. Di sana, Nina melihat tumpukan sampah plastik dari luar negeri menggunung di lahan warga.
“Sampah dari negara maju yang katanya bersih. Tapi di sini, kami yang hidup di antara limbahnya,” ujar Nina.
Sampah plastik memang menjadi salah satu penyumbang besar emisi gas rumah kaca, terutama metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2), yang mempercepat krisis iklim.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024, timbulan sampah di Indonesia mencapai 33,6 juta ton per tahun. Namun hanya sekitar 60% yang berhasil terkelola.
Nina menolak menjadikan individu sebagai kambing hitam. “Kita harus berhenti nyalahin rakyat kecil. Fokus ke sistemnya mulai dari produsen, regulasi, pemerintah,” tegasnya.
Ia juga mengkritik kampanye-kampanye lingkungan yang menurutnya penuh jargon kosong dan solusi palsu. “Recycle itu penting, tapi jangan lupakan reduce. Hulu masalahnya ada di produksi berlebihan,” kata Nina.
Di tengah krisis iklim yang semakin mengancam, suara seperti Nina menjadi penanda penting. Bukan hanya karena ia muda, tapi karena ia berani menuntut perubahan dari akar masalahnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Gen Z Lawan Krisis Iklim, Suara Nina dari Gresik
Aktivis muda Aeshnina Azzahra atau Nina lantang mengkritik produsen dan pemerintah soal krisis iklim dan sampah plastik di Indonesia
.jpg)
Context.id, JAKARTA - Setiap pagi, jutaan pekerja muda Indonesia berdesakan di kereta atau menembus panas jalanan menuju kantor. Terkadang pagi saja sudah terasa terik menyengat. Sorenya disambut hujan lebat yang mendadak turun.
Cuaca terasa makin tak menentu. Di tengah rutinitas ini, kesadaran akan krisis iklim tumbuh pelan-pelan dari generasi muda, dan salah satu suara paling lantang datang dari generasi Z. Anak muda dari kelompok umur 13-28 tahun
Menurut survei Indikator Politik dan Yayasan Indonesia Cerah, 82% anak muda usia 17-35 tahun mengkhawatirkan kerusakan lingkungan. Enam dari sepuluh percaya krisis iklim disebabkan oleh aktivitas manusia.
Lalu sekitar 20% dari responden Gen Z menyatakan siap terlibat dalam gerakan perubahan. Di Indonesia, salah satu sosok cukup menonjol dari generasi ini adalah Aeshnina Azzahra Aqilani atau akrab disapa Nina.
Pada usia 12 tahun, Nina pernah menulis surat kepada Presiden AS Donald Trump menentang kiriman sampah plastik dari negaranya ke Indonesia dan mendapat balasan. Tapi suara Nina bukan sekadar protes. Ia bicara lebih jauh, menyentuh akar persoalan yang lebih dalam.
“Aku gak mau cuma diajak memilah sampah atau bawa tumbler. Itu penting, tapi bukan inti masalah. Yang harus dituntut itu produsen dan pemerintah. Mereka yang buat aturan dan produksi massal,” ujar Nina
Kedekatan Nina dengan isu lingkungan bukan kebetulan. Sejak kecil dirinya tumbuh di tengah keluarga aktivis lingkungan. Masa kecilnya di desa Bambe dan kemudian di Wringinanom, Gresik, dipenuhi kenangan berenang di sungai dan mengamati serangga.
Alam adalah tempat sekaligus teman bermainnya. Namun seiring waktu, Nina menyaksikan lingkungan itu berubah. “Dulu sungainya jernih, sekarang udah dikeruk. Gak bisa berenang lagi, terus industri buang limbahnya ke situ,” katanya.
Perjumpaannya dengan dampak krisis iklim semakin nyata saat ayahnya mengajak ke Desa Bangun, Jawa Timur. Di sana, Nina melihat tumpukan sampah plastik dari luar negeri menggunung di lahan warga.
“Sampah dari negara maju yang katanya bersih. Tapi di sini, kami yang hidup di antara limbahnya,” ujar Nina.
Sampah plastik memang menjadi salah satu penyumbang besar emisi gas rumah kaca, terutama metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2), yang mempercepat krisis iklim.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024, timbulan sampah di Indonesia mencapai 33,6 juta ton per tahun. Namun hanya sekitar 60% yang berhasil terkelola.
Nina menolak menjadikan individu sebagai kambing hitam. “Kita harus berhenti nyalahin rakyat kecil. Fokus ke sistemnya mulai dari produsen, regulasi, pemerintah,” tegasnya.
Ia juga mengkritik kampanye-kampanye lingkungan yang menurutnya penuh jargon kosong dan solusi palsu. “Recycle itu penting, tapi jangan lupakan reduce. Hulu masalahnya ada di produksi berlebihan,” kata Nina.
Di tengah krisis iklim yang semakin mengancam, suara seperti Nina menjadi penanda penting. Bukan hanya karena ia muda, tapi karena ia berani menuntut perubahan dari akar masalahnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES