Obat Legendaris dari Gang Sempit: Kisah Betadine di Indonesia
Di Indonesia, siapa yang tidak kenal ciran pembersih luka bermerk Betadine? Bahkan saking terkenalnya, cairan serupa dengan merk yang lain, kerap disebut Betadine pula

Context.id, JAKARTA - Di Indonesia, hampir tak ada yang asing dengan cairan antiseptik berwarna cokelat tua bernama Betadine. Begitu melekatnya merek ini dalam ingatan publik, hingga produk sejenis dari merek lain pun kerap disebut “Betadine” fenomena klasik genericide dalam dunia merek dagang.
Namun, sedikit yang tahu perjalanan Betadine di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari satu nama, Kahar Tjandra.
Seorang dokter militer yang pernah mengabdi di Resimen Para Komando Angkatan Darat (kini Kopassus), Kahar mungkin tak pernah membayangkan naluri kewirausahaannya akan melahirkan salah satu merek farmasi paling ikonik di negeri ini.
Kisahnya bermula pada 1977, ketika sebuah distributor produk antiseptik povidone-iodine bahan aktif dalam Betadine terjebak dalam krisis manajerial. Di saat banyak yang menghindar, Kahar justru melihat peluang.
Bersama sang istri, Evy, yang bercita-cita memiliki pabrik farmasi, ia mendalami literatur medis dan pasar antiseptik, termasuk tren di Amerika Serikat yang semakin mengukuhkan efektivitas povidone-iodine.
BACA JUGA
Modal percaya diri yang dibangun dari literatur dan keyakinan, Kahar mengajukan diri sebagai distributor resmi Betadine ke perusahaan induk di Swiss.
Lewat PT Daya Muda Agung, ia memperoleh lisensi distribusi eksklusif di Indonesia. Dari satu cabang di Bandung, bisnis ini mulai tumbuh, meski belum tanpa kendala.
Masalah utama: Kahar tidak memiliki pabrik. Produksi masih dikendalikan pihak ketiga berlisensi, dan pasokan sering kali tak sesuai permintaan pasar. Solusinya? Bangun pabrik sendiri.
Empat tahun kemudian, Mahakam Beta Farma lahir di sebuah gang kecil di Kebayoran, Jakarta Selatan. Pabrik ini nyaris tak layak disebut pabrik: hanya berisi sepuluh pekerja, semuanya bekerja manual tanpa mesin produksi modern.
Bahkan Kahar dan keluarganya pun turun tangan, meracik, menakar, hingga mengepak produk. Setiap Sabtu malam mereka begadang, dan esok paginya, sang dokter-entrepreneur sudah kembali ke pabrik untuk lembur di hari Minggu.
Hasilnya? Sebuah merek legendaris. Dalam dekade berikutnya, Betadine menjadi nama rumah tangga, dan Mahakam Beta Farma menjelma jadi pemain penting di industri farmasi nasional.
Apa yang dimulai dari gang sempit dan tangan penuh noda antiseptik kini menjadi simbol keuletan wirausaha Indonesia dan pengingat kadang, resep sukses bukanlah rahasia, melainkan kerja keras, literasi, dan sedikit naluri dagang.
RELATED ARTICLES
Obat Legendaris dari Gang Sempit: Kisah Betadine di Indonesia
Di Indonesia, siapa yang tidak kenal ciran pembersih luka bermerk Betadine? Bahkan saking terkenalnya, cairan serupa dengan merk yang lain, kerap disebut Betadine pula

Context.id, JAKARTA - Di Indonesia, hampir tak ada yang asing dengan cairan antiseptik berwarna cokelat tua bernama Betadine. Begitu melekatnya merek ini dalam ingatan publik, hingga produk sejenis dari merek lain pun kerap disebut “Betadine” fenomena klasik genericide dalam dunia merek dagang.
Namun, sedikit yang tahu perjalanan Betadine di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari satu nama, Kahar Tjandra.
Seorang dokter militer yang pernah mengabdi di Resimen Para Komando Angkatan Darat (kini Kopassus), Kahar mungkin tak pernah membayangkan naluri kewirausahaannya akan melahirkan salah satu merek farmasi paling ikonik di negeri ini.
Kisahnya bermula pada 1977, ketika sebuah distributor produk antiseptik povidone-iodine bahan aktif dalam Betadine terjebak dalam krisis manajerial. Di saat banyak yang menghindar, Kahar justru melihat peluang.
Bersama sang istri, Evy, yang bercita-cita memiliki pabrik farmasi, ia mendalami literatur medis dan pasar antiseptik, termasuk tren di Amerika Serikat yang semakin mengukuhkan efektivitas povidone-iodine.
BACA JUGA
Modal percaya diri yang dibangun dari literatur dan keyakinan, Kahar mengajukan diri sebagai distributor resmi Betadine ke perusahaan induk di Swiss.
Lewat PT Daya Muda Agung, ia memperoleh lisensi distribusi eksklusif di Indonesia. Dari satu cabang di Bandung, bisnis ini mulai tumbuh, meski belum tanpa kendala.
Masalah utama: Kahar tidak memiliki pabrik. Produksi masih dikendalikan pihak ketiga berlisensi, dan pasokan sering kali tak sesuai permintaan pasar. Solusinya? Bangun pabrik sendiri.
Empat tahun kemudian, Mahakam Beta Farma lahir di sebuah gang kecil di Kebayoran, Jakarta Selatan. Pabrik ini nyaris tak layak disebut pabrik: hanya berisi sepuluh pekerja, semuanya bekerja manual tanpa mesin produksi modern.
Bahkan Kahar dan keluarganya pun turun tangan, meracik, menakar, hingga mengepak produk. Setiap Sabtu malam mereka begadang, dan esok paginya, sang dokter-entrepreneur sudah kembali ke pabrik untuk lembur di hari Minggu.
Hasilnya? Sebuah merek legendaris. Dalam dekade berikutnya, Betadine menjadi nama rumah tangga, dan Mahakam Beta Farma menjelma jadi pemain penting di industri farmasi nasional.
Apa yang dimulai dari gang sempit dan tangan penuh noda antiseptik kini menjadi simbol keuletan wirausaha Indonesia dan pengingat kadang, resep sukses bukanlah rahasia, melainkan kerja keras, literasi, dan sedikit naluri dagang.
POPULAR
RELATED ARTICLES