Share

Stories 27 Juni 2022

Perjuangan Ibu Santi Demi Legalisasi Ganja Medis

Santi, seorang ibu dan anaknya Pika melakukan aksi untuk memperbolehkan pemanfaatan ganja bagi keperluan medis, pada Minggu (26/6/2022).

Santi, seorang ibu dan anaknya Pika melakukan aksi untuk memperbolehkan pemanfaatan ganja bagi keperluan medis, pada Minggu (26/6/2022).

Context.id, JAKARTA - Santi, seorang ibu asal Sleman, Yogyakarta dan anaknya Pika memohon agar pemanfaatan ganja bagi keperluan medis di Indonesia diperbolehkan. Aksi ini dilakukan saat car free day di Bundaran HI, Jakarta, pada Minggu (26/6/2022). 

Pada kesempatan itu, Santi pun memohon pada Mahkamah Konstitusi untuk merubah UU Narkotika. Aksi ini dilakukan Santi semata-mata karena anaknya menderita kelainan otak dan belum kunjung membaik. Pika setidaknya mengalami kejang paling tidak 2 kali dalam seminggu. 

Sebenarnya, selama ini Pika sudah melakukan latihan fisioterapi, terapi wicara, dan terapi tumbuh kembang lainnya, tetapi hasilnya nihil. Sementara di waktu yang sama, badan Pika semakin lama semakin melemah, kemampuan motoriknya juga semakin menurun, dan begitupula dengan kemampuan kognitifnya. 

Adapun cara lain untuk mengobatinya yang masih belum dicoba adalah penggunaan ganja ataupun narkotika golongan I lainnya untuk terapi. Pasalnya, menurut Epilepsy Fondation, senyawa kimia yang ada di dalam tanaman ganja (CBD) dapat membantu mengendalikan kejang. 

Dilansir dari Health Line, tubuh manusia mengandung sistem neurotransmiter dan reseptor yang disebut sistem endocannabinoid. Sistem inilah yang membantu manusia untuk mengatur fungsi-fungsi tubuh, seperti nafsu makan, tidur, rasa sakit, serta respons sistem kekebalan. Nah, CBD nantinya memodifikasi fungsi-fungsi dengan berinteraksi dengan reseptor di sisten endocannabinoid. 

Maka dari itu, saat ini obat CBD yang disebut Epidolex telah disetujui oleh Badan Pengawas Makanan dan Narkotika Amerika (FDA) untuk mengobati sindrom Lennox-Gastaut dan Dravet, dua jenis epilepsi yang cukup langka, serta mengobati kelainan genetik kompleks tuberous sclerosis. Selain itu, di beberapa negara seperti Thailand juga telah melegalkan budidaya dan penggunaan ganja untuk kepentingan medis atau pengobatan.

Namun, berbeda halnya untuk regulasi di Indonesia. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Komjen Pol. Petrus Reinhard Golose telah menegaskan bahwa tidak ada wacana membahas legalisasi ganja untuk kebutuhan medis atau rekreasi di Indonesia. 

“Tidak ada sampai saat ini pembahasan untuk legalisasi ganja. Di tempat lain ada, tetapi di Indonesia tidak ada,” ujar Petrus Golose dilansir dari Bisnis.

 

Sudah Ada Kasus Kematian

Sebenarnya, aksi Santi sudah ia lakukan sejak 2 tahun yang lalu. Melansir ICJR, pada saat itu ia, Ibu Dwi Pertiwi, dan beberapa orang tua lainnya memohon adanya uji materil tentang pelarangan narkotika untuk pelayanan kesehatan. Pasalnya, anak Ibu Dwi yang bernama Musa merupakan penderita Cerebral Palsy atau lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. 

Pengajuan uji materil inipun beralasan. Sebab pada 2016, Musa sebenarnya sempat mendapatkan pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia. Setelah satu bulan terapi, Musa mendapatkan hasil yang sangat signifikan, bahkan ia sama sekali tidak mengalami kejang. Musa pun dapat terlepas dari penggunaan obat-obat dokter yang biasa ia konsumsi. 

Namun, setibanya di indonesia, Bu Dwi tidak dapat melanjutkan pengobatan dengan ganja karena UU Narkotika melarang menggunaan Narkotika Golongan I termasuk ganja untuk pelayanan kesehatan. 

Bu Dwi semakin takut untuk melanjutkan pengobatan untuk anaknya karena adanya kasus-kasus pemidanaan terhadap penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan, seperti kasus Fidelis pada 2017, yang memberikan pengobatan ganja kepada istrinya yang menderita penyakit langka, syringomyelia. Hal inipun membuat istrinya meninggal dunia setelah Fidelis ditangkap BNN. 

Sayangnya, nasib naas juga dialami Musa. Setelah beberapa tahun tidak menjalani pengobatan, Musa menghembuskan nafas terakhirnya, karena berjuang melawan sesak nafas akibat produksi lendir dalam paru-paru yang lebih banyak dibanding biasanya, yang menghambat asupan oksigen ke tubuhnya.



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Putri Dewi

Stories 27 Juni 2022

Perjuangan Ibu Santi Demi Legalisasi Ganja Medis

Santi, seorang ibu dan anaknya Pika melakukan aksi untuk memperbolehkan pemanfaatan ganja bagi keperluan medis, pada Minggu (26/6/2022).

Santi, seorang ibu dan anaknya Pika melakukan aksi untuk memperbolehkan pemanfaatan ganja bagi keperluan medis, pada Minggu (26/6/2022).

Context.id, JAKARTA - Santi, seorang ibu asal Sleman, Yogyakarta dan anaknya Pika memohon agar pemanfaatan ganja bagi keperluan medis di Indonesia diperbolehkan. Aksi ini dilakukan saat car free day di Bundaran HI, Jakarta, pada Minggu (26/6/2022). 

Pada kesempatan itu, Santi pun memohon pada Mahkamah Konstitusi untuk merubah UU Narkotika. Aksi ini dilakukan Santi semata-mata karena anaknya menderita kelainan otak dan belum kunjung membaik. Pika setidaknya mengalami kejang paling tidak 2 kali dalam seminggu. 

Sebenarnya, selama ini Pika sudah melakukan latihan fisioterapi, terapi wicara, dan terapi tumbuh kembang lainnya, tetapi hasilnya nihil. Sementara di waktu yang sama, badan Pika semakin lama semakin melemah, kemampuan motoriknya juga semakin menurun, dan begitupula dengan kemampuan kognitifnya. 

Adapun cara lain untuk mengobatinya yang masih belum dicoba adalah penggunaan ganja ataupun narkotika golongan I lainnya untuk terapi. Pasalnya, menurut Epilepsy Fondation, senyawa kimia yang ada di dalam tanaman ganja (CBD) dapat membantu mengendalikan kejang. 

Dilansir dari Health Line, tubuh manusia mengandung sistem neurotransmiter dan reseptor yang disebut sistem endocannabinoid. Sistem inilah yang membantu manusia untuk mengatur fungsi-fungsi tubuh, seperti nafsu makan, tidur, rasa sakit, serta respons sistem kekebalan. Nah, CBD nantinya memodifikasi fungsi-fungsi dengan berinteraksi dengan reseptor di sisten endocannabinoid. 

Maka dari itu, saat ini obat CBD yang disebut Epidolex telah disetujui oleh Badan Pengawas Makanan dan Narkotika Amerika (FDA) untuk mengobati sindrom Lennox-Gastaut dan Dravet, dua jenis epilepsi yang cukup langka, serta mengobati kelainan genetik kompleks tuberous sclerosis. Selain itu, di beberapa negara seperti Thailand juga telah melegalkan budidaya dan penggunaan ganja untuk kepentingan medis atau pengobatan.

Namun, berbeda halnya untuk regulasi di Indonesia. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Komjen Pol. Petrus Reinhard Golose telah menegaskan bahwa tidak ada wacana membahas legalisasi ganja untuk kebutuhan medis atau rekreasi di Indonesia. 

“Tidak ada sampai saat ini pembahasan untuk legalisasi ganja. Di tempat lain ada, tetapi di Indonesia tidak ada,” ujar Petrus Golose dilansir dari Bisnis.

 

Sudah Ada Kasus Kematian

Sebenarnya, aksi Santi sudah ia lakukan sejak 2 tahun yang lalu. Melansir ICJR, pada saat itu ia, Ibu Dwi Pertiwi, dan beberapa orang tua lainnya memohon adanya uji materil tentang pelarangan narkotika untuk pelayanan kesehatan. Pasalnya, anak Ibu Dwi yang bernama Musa merupakan penderita Cerebral Palsy atau lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. 

Pengajuan uji materil inipun beralasan. Sebab pada 2016, Musa sebenarnya sempat mendapatkan pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia. Setelah satu bulan terapi, Musa mendapatkan hasil yang sangat signifikan, bahkan ia sama sekali tidak mengalami kejang. Musa pun dapat terlepas dari penggunaan obat-obat dokter yang biasa ia konsumsi. 

Namun, setibanya di indonesia, Bu Dwi tidak dapat melanjutkan pengobatan dengan ganja karena UU Narkotika melarang menggunaan Narkotika Golongan I termasuk ganja untuk pelayanan kesehatan. 

Bu Dwi semakin takut untuk melanjutkan pengobatan untuk anaknya karena adanya kasus-kasus pemidanaan terhadap penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan, seperti kasus Fidelis pada 2017, yang memberikan pengobatan ganja kepada istrinya yang menderita penyakit langka, syringomyelia. Hal inipun membuat istrinya meninggal dunia setelah Fidelis ditangkap BNN. 

Sayangnya, nasib naas juga dialami Musa. Setelah beberapa tahun tidak menjalani pengobatan, Musa menghembuskan nafas terakhirnya, karena berjuang melawan sesak nafas akibat produksi lendir dalam paru-paru yang lebih banyak dibanding biasanya, yang menghambat asupan oksigen ke tubuhnya.



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Putri Dewi


RELATED ARTICLES

Airbnb Terkeren di Dunia, Jet Pribadi yang Pernah Dimiliki Pablo Escobar

Pesawat jet pribadi pabrikan Boeing yang pernah dimiliki gembong mafia Pablo Escoba diubah menjadi penginapan mewah

Context.id . 06 January 2025

Populasi Dunia Mencapai 8,09 Miliar pada Tahun Baru 2025

Setelah pertumbuhan 71 juta jiwa pada 2024, penduduk dunia akan mencapai 8,09 miliar pada 2025

Context.id . 03 January 2025

Ide Keberagaman dan Kesetaraan yang Mulai Luntur di AS

Perusahaan dan universitas yang selama ini menekankan kebijakan keberagaman, kesetaraan dan inklusi mendapatkan tekanan politik

Context.id . 31 December 2024

Gelar Sarjana Menjamin Bakal Terserap Dunia Kerja?

Seringkali dunia kerja mengutamakan gelar sarjana di atas keterampilan praktis atau pengalaman langsung

Context.id . 31 December 2024