Mengenal Kepulauan Cocos: Dekat ke Indonesia, Tapi Milik Australia
Masyarakat Kepulauan Cocos di Australia merupakan Melayu Muslim dari Nusantara yang dulu dibawa oleh saudagar di era kolonial
Context.id, JAKARTA - Di tengah birunya Samudra Hindia, ada sebuah kepulauan kecil yang menyimpan cerita unik. Kepulauan Cocos, atau dikenal juga sebagai Kepulauan Keeling, secara geografis lebih dekat ke Indonesia.
Penduduknya pun mayoritas Melayu, berbicara dalam bahasa Melayu, dan beragama Islam. Namun, secara administratif, pulau ini justru menjadi bagian dari Australia. Kok bisa?
Nama "Keeling" berasal dari William Keeling, seorang penjelajah Inggris yang pertama kali menemukan kepulauan ini pada tahun 1609 saat dalam perjalanan pulang dari Pulau Jawa menuju Inggris.
Meski telah ditemukan, Kepulauan Cocos tidak langsung dihuni. Baru pada awal 1820-an, seorang pedagang Skotlandia bernama John Clunies-Ross mendarat di pulau tersebut.
Seorang pedagang Inggris lainnya, Alexander Hare, juga tiba di sana bersama kelompok pekerja yang mayoritas berasal dari Nusantara.
Mereka adalah orang-orang Melayu dari Sumatra hingga Maluku, yang sudah beragama Islam dan membawa budaya mereka ke pulau terpencil ini.
Penduduk Melayu di Kepulauan Cocos awalnya bekerja di perkebunan kelapa milik Clunies-Ross, menghasilkan kopra sebagai komoditas utama.
Seiring waktu, mereka menetap dan membentuk komunitas yang unik: Muslim Melayu di wilayah Australia.
Bahasa yang mereka gunakan pun tetap bahasa Melayu, meskipun kini telah bercampur dengan berbagai pengaruh lain, termasuk bahasa Inggris.
Pada 1984, masyarakat Kepulauan Cocos mengadakan referendum yang disponsori PBB. Hasilnya? Mereka memilih untuk tetap menjadi bagian dari Australia.
Saat ini, komunitas Melayu di Kepulauan Cocos masih mempertahankan tradisi mereka, termasuk tradisi Ramadan dan Lebaran
POPULAR
RELATED ARTICLES
Mengenal Kepulauan Cocos: Dekat ke Indonesia, Tapi Milik Australia
Masyarakat Kepulauan Cocos di Australia merupakan Melayu Muslim dari Nusantara yang dulu dibawa oleh saudagar di era kolonial
Context.id, JAKARTA - Di tengah birunya Samudra Hindia, ada sebuah kepulauan kecil yang menyimpan cerita unik. Kepulauan Cocos, atau dikenal juga sebagai Kepulauan Keeling, secara geografis lebih dekat ke Indonesia.
Penduduknya pun mayoritas Melayu, berbicara dalam bahasa Melayu, dan beragama Islam. Namun, secara administratif, pulau ini justru menjadi bagian dari Australia. Kok bisa?
Nama "Keeling" berasal dari William Keeling, seorang penjelajah Inggris yang pertama kali menemukan kepulauan ini pada tahun 1609 saat dalam perjalanan pulang dari Pulau Jawa menuju Inggris.
Meski telah ditemukan, Kepulauan Cocos tidak langsung dihuni. Baru pada awal 1820-an, seorang pedagang Skotlandia bernama John Clunies-Ross mendarat di pulau tersebut.
Seorang pedagang Inggris lainnya, Alexander Hare, juga tiba di sana bersama kelompok pekerja yang mayoritas berasal dari Nusantara.
Mereka adalah orang-orang Melayu dari Sumatra hingga Maluku, yang sudah beragama Islam dan membawa budaya mereka ke pulau terpencil ini.
Penduduk Melayu di Kepulauan Cocos awalnya bekerja di perkebunan kelapa milik Clunies-Ross, menghasilkan kopra sebagai komoditas utama.
Seiring waktu, mereka menetap dan membentuk komunitas yang unik: Muslim Melayu di wilayah Australia.
Bahasa yang mereka gunakan pun tetap bahasa Melayu, meskipun kini telah bercampur dengan berbagai pengaruh lain, termasuk bahasa Inggris.
Pada 1984, masyarakat Kepulauan Cocos mengadakan referendum yang disponsori PBB. Hasilnya? Mereka memilih untuk tetap menjadi bagian dari Australia.
Saat ini, komunitas Melayu di Kepulauan Cocos masih mempertahankan tradisi mereka, termasuk tradisi Ramadan dan Lebaran
POPULAR
RELATED ARTICLES