Share

Home Unfold

Unfold 12 Maret 2025

Mengenal Kepulauan Cocos: Dekat ke Indonesia, Tapi Milik Australia

Masyarakat Kepulauan Cocos di Australia merupakan Melayu Muslim dari Nusantara yang dulu dibawa oleh saudagar di era kolonial

Ilustrasi Kepulauan Cocos/Context-Rizki Ghazali

Context.id, JAKARTA - Di tengah birunya Samudra Hindia, ada sebuah kepulauan kecil yang menyimpan cerita unik. Kepulauan Cocos, atau dikenal juga sebagai Kepulauan Keeling, secara geografis lebih dekat ke Indonesia. 

Penduduknya pun mayoritas Melayu, berbicara dalam bahasa Melayu, dan beragama Islam. Namun, secara administratif, pulau ini justru menjadi bagian dari Australia. Kok bisa?

Nama "Keeling" berasal dari William Keeling, seorang penjelajah Inggris yang pertama kali menemukan kepulauan ini pada tahun 1609 saat dalam perjalanan pulang dari Pulau Jawa menuju Inggris. 

Meski telah ditemukan, Kepulauan Cocos tidak langsung dihuni. Baru pada awal 1820-an, seorang pedagang Skotlandia bernama John Clunies-Ross mendarat di pulau tersebut.

Seorang pedagang Inggris lainnya, Alexander Hare, juga tiba di sana bersama kelompok pekerja yang mayoritas berasal dari Nusantara. 

Mereka adalah orang-orang Melayu dari Sumatra hingga Maluku, yang sudah beragama Islam dan membawa budaya mereka ke pulau terpencil ini.

Penduduk Melayu di Kepulauan Cocos awalnya bekerja di perkebunan kelapa milik Clunies-Ross, menghasilkan kopra sebagai komoditas utama. 

Seiring waktu, mereka menetap dan membentuk komunitas yang unik: Muslim Melayu di wilayah Australia. 

Bahasa yang mereka gunakan pun tetap bahasa Melayu, meskipun kini telah bercampur dengan berbagai pengaruh lain, termasuk bahasa Inggris.

Pada 1984, masyarakat Kepulauan Cocos mengadakan referendum yang disponsori PBB. Hasilnya? Mereka memilih untuk tetap menjadi bagian dari Australia.

Saat ini, komunitas Melayu di Kepulauan Cocos masih mempertahankan tradisi mereka, termasuk tradisi Ramadan dan Lebaran 



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin

Unfold 12 Maret 2025

Mengenal Kepulauan Cocos: Dekat ke Indonesia, Tapi Milik Australia

Masyarakat Kepulauan Cocos di Australia merupakan Melayu Muslim dari Nusantara yang dulu dibawa oleh saudagar di era kolonial

Ilustrasi Kepulauan Cocos/Context-Rizki Ghazali

Context.id, JAKARTA - Di tengah birunya Samudra Hindia, ada sebuah kepulauan kecil yang menyimpan cerita unik. Kepulauan Cocos, atau dikenal juga sebagai Kepulauan Keeling, secara geografis lebih dekat ke Indonesia. 

Penduduknya pun mayoritas Melayu, berbicara dalam bahasa Melayu, dan beragama Islam. Namun, secara administratif, pulau ini justru menjadi bagian dari Australia. Kok bisa?

Nama "Keeling" berasal dari William Keeling, seorang penjelajah Inggris yang pertama kali menemukan kepulauan ini pada tahun 1609 saat dalam perjalanan pulang dari Pulau Jawa menuju Inggris. 

Meski telah ditemukan, Kepulauan Cocos tidak langsung dihuni. Baru pada awal 1820-an, seorang pedagang Skotlandia bernama John Clunies-Ross mendarat di pulau tersebut.

Seorang pedagang Inggris lainnya, Alexander Hare, juga tiba di sana bersama kelompok pekerja yang mayoritas berasal dari Nusantara. 

Mereka adalah orang-orang Melayu dari Sumatra hingga Maluku, yang sudah beragama Islam dan membawa budaya mereka ke pulau terpencil ini.

Penduduk Melayu di Kepulauan Cocos awalnya bekerja di perkebunan kelapa milik Clunies-Ross, menghasilkan kopra sebagai komoditas utama. 

Seiring waktu, mereka menetap dan membentuk komunitas yang unik: Muslim Melayu di wilayah Australia. 

Bahasa yang mereka gunakan pun tetap bahasa Melayu, meskipun kini telah bercampur dengan berbagai pengaruh lain, termasuk bahasa Inggris.

Pada 1984, masyarakat Kepulauan Cocos mengadakan referendum yang disponsori PBB. Hasilnya? Mereka memilih untuk tetap menjadi bagian dari Australia.

Saat ini, komunitas Melayu di Kepulauan Cocos masih mempertahankan tradisi mereka, termasuk tradisi Ramadan dan Lebaran 



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Raja Ampat, Antara Surga dan Sekop Tambang

Raja Ampat, surga keanekaragaman hayati dunia, terancam menjadi kawasan industri tambang nikel yang seringkali menyisakan kerusakan ekologis.

Renita Sukma . 18 June 2025

Pekerja Indonesia Numpuk di Jepang, Sinyal Bagus atau Buruk?

Tingginya minat terhadap pekerja asing seperti dari Indonesia berkaitan erat dengan krisis demografi yang dialami Jepang

Renita Sukma . 13 June 2025

Mengapa Sejarah Indonesia Perlu Direvisi?

Dari mitos penjajahan 350 tahun hingga pertarungan narasi masa depan

Naufal Jauhar Nazhif . 05 June 2025

Dampak Tersembunyi Militer, Menghancurkan Sekaligus Mencemari Bumi

Sedikit yang tahu setiap ledakan bom, pelatihan militer dan bahkan keberadaan pangkalan militer menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar.

Naufal Jauhar Nazhif . 03 June 2025