Dampak Tersembunyi Militer, Menghancurkan Sekaligus Mencemari Bumi
Sedikit yang tahu setiap ledakan bom, pelatihan militer dan bahkan keberadaan pangkalan militer menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar.
Context.id, JAKARTA - Aktivitas militer selama ini dikenal sebagai simbol kehancuran. Di mana pun perang terjadi, dampaknya selalu meninggalkan jejak yang mengerikan, rumah-rumah menjadi puing, sekolah dan tempat ibadah hancur, dan kehidupan ribuan orang tercerabut dalam sekejap.
Namun, ada satu korban lagi yang jarang diperhitungkan, lingkungan hidup. Sedikit yang tahu setiap ledakan bom, pelatihan militer dan bahkan keberadaan pangkalan militer itu sendiri, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar. Parahnya, sektor ini tidak dihitung secara transparan dalam laporan emisi negara-negara di dunia.
Sejak Protokol Kyoto tahun 1997 disepakati, militer secara eksplisit dikecualikan dari kewajiban mengurangi emisi. Bahkan dalam Perjanjian Paris 2015, pelaporan emisi militer hanya bersifat sukarela tidak wajib. Akibatnya, tidak ada kontrol dan pengawasan yang jelas atas emisi dari aktivitas militer global.
Dampaknya? Sektor militer kini menyumbang sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca dunia. Jika militer dunia dianggap sebagai satu negara, posisinya akan berada di peringkat keempat sebagai penyumbang emisi terbesar, mengalahkan Rusia.
Di antara semua militer negara, Amerika Serikat tercatat sebagai penyumbang emisi militer terbesar. Sebuah laporan dari Universitas Durham dan Lancaster bahkan menyebut militer AS sebagai salah satu pencemar iklim terbesar dalam sejarah.
Emisi militer paling kentara terjadi saat perang berlangsung. Setiap rudal, peluru artileri, dan bom yang meledak menyebarkan karbon ke atmosfer.
Misalnya, dalam invasi ke Afghanistan, Irak, Suriah, dan Yaman, militer AS diperkirakan melepaskan sekitar 1,2 miliar metrik ton CO₂ ke atmosfer. Itu setara dengan emisi tahunan dari 257 juta mobil.
Namun, pencemaran tidak hanya terjadi di masa perang. Bahkan saat tidak sedang berperang pun, operasi militer seperti latihan tempur, uji senjata, dan aktivitas pangkalan tetap menghasilkan emisi besar. Salah satu dampak jangka panjangnya adalah deforestasi masif.
Dalam banyak kasus, militer menebang hutan demi kepentingan strategi tempur atau lokasi latihan. Di Afghanistan, misalnya, 95% tutupan hutan telah hilang. Di Irak, 90% wilayahnya mengalami penggurunan.
Tak hanya hutan yang lenyap, berbagai spesies hewan pun kehilangan habitatnya. Populasi gajah di Taman Nasional Garamba, Republik Demokratik Kongo, merosot dari 22.000 ekor menjadi hanya 5.000 akibat konflik bersenjata
POPULAR
RELATED ARTICLES
Dampak Tersembunyi Militer, Menghancurkan Sekaligus Mencemari Bumi
Sedikit yang tahu setiap ledakan bom, pelatihan militer dan bahkan keberadaan pangkalan militer menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar.
Context.id, JAKARTA - Aktivitas militer selama ini dikenal sebagai simbol kehancuran. Di mana pun perang terjadi, dampaknya selalu meninggalkan jejak yang mengerikan, rumah-rumah menjadi puing, sekolah dan tempat ibadah hancur, dan kehidupan ribuan orang tercerabut dalam sekejap.
Namun, ada satu korban lagi yang jarang diperhitungkan, lingkungan hidup. Sedikit yang tahu setiap ledakan bom, pelatihan militer dan bahkan keberadaan pangkalan militer itu sendiri, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar. Parahnya, sektor ini tidak dihitung secara transparan dalam laporan emisi negara-negara di dunia.
Sejak Protokol Kyoto tahun 1997 disepakati, militer secara eksplisit dikecualikan dari kewajiban mengurangi emisi. Bahkan dalam Perjanjian Paris 2015, pelaporan emisi militer hanya bersifat sukarela tidak wajib. Akibatnya, tidak ada kontrol dan pengawasan yang jelas atas emisi dari aktivitas militer global.
Dampaknya? Sektor militer kini menyumbang sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca dunia. Jika militer dunia dianggap sebagai satu negara, posisinya akan berada di peringkat keempat sebagai penyumbang emisi terbesar, mengalahkan Rusia.
Di antara semua militer negara, Amerika Serikat tercatat sebagai penyumbang emisi militer terbesar. Sebuah laporan dari Universitas Durham dan Lancaster bahkan menyebut militer AS sebagai salah satu pencemar iklim terbesar dalam sejarah.
Emisi militer paling kentara terjadi saat perang berlangsung. Setiap rudal, peluru artileri, dan bom yang meledak menyebarkan karbon ke atmosfer.
Misalnya, dalam invasi ke Afghanistan, Irak, Suriah, dan Yaman, militer AS diperkirakan melepaskan sekitar 1,2 miliar metrik ton CO₂ ke atmosfer. Itu setara dengan emisi tahunan dari 257 juta mobil.
Namun, pencemaran tidak hanya terjadi di masa perang. Bahkan saat tidak sedang berperang pun, operasi militer seperti latihan tempur, uji senjata, dan aktivitas pangkalan tetap menghasilkan emisi besar. Salah satu dampak jangka panjangnya adalah deforestasi masif.
Dalam banyak kasus, militer menebang hutan demi kepentingan strategi tempur atau lokasi latihan. Di Afghanistan, misalnya, 95% tutupan hutan telah hilang. Di Irak, 90% wilayahnya mengalami penggurunan.
Tak hanya hutan yang lenyap, berbagai spesies hewan pun kehilangan habitatnya. Populasi gajah di Taman Nasional Garamba, Republik Demokratik Kongo, merosot dari 22.000 ekor menjadi hanya 5.000 akibat konflik bersenjata
POPULAR
RELATED ARTICLES