Mengapa Sejarah Indonesia Perlu Direvisi?
Dari mitos penjajahan 350 tahun hingga pertarungan narasi masa depan
Context.id, JAKARTA - Jika Anda tumbuh besar di Indonesia, kemungkinan besar Anda pernah mendengar kalimat ini berulang kali “Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.”
Kalimat itu diajarkan di sekolah, dikutip dalam pidato kenegaraan, bahkan tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi karya Presiden Soekarno sendiri.
Tapi kini, pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon berencana merevisi narasi sejarah tersebut. Apakah ini sekadar pembetulan fakta, atau justru perebutan baru atas ingatan kolektif bangsa?
Banyak sejarawan sepakat bahwa klaim "350 tahun penjajahan" adalah simplifikasi berlebihan. Belanda pertama kali mendarat di Banten pada 1596, namun selama lebih dari dua abad setelahnya, mereka belum menguasai seluruh nusantara.
Bahkan, hingga awal abad ke-20, beberapa wilayah Indonesia tetap otonom atau berada di bawah pengaruh kekuasaan lokal yang kuat.
Namun Soekarno, dalam konteks perjuangan kemerdekaan, memilih angka itu bukan karena keliru, melainkan karena bermanfaat. Ia adalah bagian dari retorika yang membakar semangat perlawanan.
"Sejarah bukan hanya tentang apa yang terjadi, tapi juga tentang apa yang ingin disampaikan," kata seorang sejarawan. Dan dalam politik, pesan sering kali lebih penting daripada kronologi.
Itulah sebabnya banyak narasi sejarah ditulis mengikuti zeitgeist semangat zaman yang membentuk bagaimana kita memandang masa lalu. Pada masa perjuangan kemerdekaan, sejarah harus menyatukan rakyat.
Di era Orde Baru, sejarah digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan. Kini, di masa demokrasi yang semakin terbuka, tuntutannya berubah akurasi, transparansi, dan inklusivitas.
Namun mengoreksi sejarah bukan perkara sepele. Ia menyentuh identitas nasional. Apalagi, sejumlah peristiwa masih menjadi medan konflik narasi G30S 1965, Tragedi 1998, hingga masa awal Reformasi.
Di titik ini, muncul pertanyaan yang lebih besar siapa yang berhak menulis sejarah? Negara? Akademisi? Atau masyarakat itu sendiri
POPULAR
RELATED ARTICLES
Mengapa Sejarah Indonesia Perlu Direvisi?
Dari mitos penjajahan 350 tahun hingga pertarungan narasi masa depan
Context.id, JAKARTA - Jika Anda tumbuh besar di Indonesia, kemungkinan besar Anda pernah mendengar kalimat ini berulang kali “Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.”
Kalimat itu diajarkan di sekolah, dikutip dalam pidato kenegaraan, bahkan tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi karya Presiden Soekarno sendiri.
Tapi kini, pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon berencana merevisi narasi sejarah tersebut. Apakah ini sekadar pembetulan fakta, atau justru perebutan baru atas ingatan kolektif bangsa?
Banyak sejarawan sepakat bahwa klaim "350 tahun penjajahan" adalah simplifikasi berlebihan. Belanda pertama kali mendarat di Banten pada 1596, namun selama lebih dari dua abad setelahnya, mereka belum menguasai seluruh nusantara.
Bahkan, hingga awal abad ke-20, beberapa wilayah Indonesia tetap otonom atau berada di bawah pengaruh kekuasaan lokal yang kuat.
Namun Soekarno, dalam konteks perjuangan kemerdekaan, memilih angka itu bukan karena keliru, melainkan karena bermanfaat. Ia adalah bagian dari retorika yang membakar semangat perlawanan.
"Sejarah bukan hanya tentang apa yang terjadi, tapi juga tentang apa yang ingin disampaikan," kata seorang sejarawan. Dan dalam politik, pesan sering kali lebih penting daripada kronologi.
Itulah sebabnya banyak narasi sejarah ditulis mengikuti zeitgeist semangat zaman yang membentuk bagaimana kita memandang masa lalu. Pada masa perjuangan kemerdekaan, sejarah harus menyatukan rakyat.
Di era Orde Baru, sejarah digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan. Kini, di masa demokrasi yang semakin terbuka, tuntutannya berubah akurasi, transparansi, dan inklusivitas.
Namun mengoreksi sejarah bukan perkara sepele. Ia menyentuh identitas nasional. Apalagi, sejumlah peristiwa masih menjadi medan konflik narasi G30S 1965, Tragedi 1998, hingga masa awal Reformasi.
Di titik ini, muncul pertanyaan yang lebih besar siapa yang berhak menulis sejarah? Negara? Akademisi? Atau masyarakat itu sendiri
POPULAR
RELATED ARTICLES