Share

Home Stories

Stories 27 Februari 2025

Merayakan Kebiasaan, Menemukan Kebahagiaan

Dorongan untuk merasa istimewa bisa membuat seseorang rentan dalam hubungan dan selalu cemas

Foto orang biasa/getimg.ai

Context.id, JAKARTA - Di tengah budaya yang terus mendorong pencapaian dan keistimewaan, banyak orang tanpa sadar terjebak dalam obsesi untuk tampil lebih unggul.

Status, prestasi, dan pengakuan menjadi tolok ukur kebahagiaan, seolah kehidupan yang biasa-biasa saja tidak cukup berarti. 

Namun, apakah benar menjadi istimewa adalah satu-satunya jalan menuju kepuasan hidup?

Moya Sarner, seorang psikoterapis sekaligus penulis, mengungkap perspektif berbeda seperti yang dilaporkannya kepada The Guardian.

Dalam refleksi pribadinya, ia menyadari upaya menjadi istimewa justru sering kali menjauhkan seseorang dari dirinya sendiri. 

Obsesi ini bisa muncul dalam berbagai bentuk: dorongan untuk bekerja lebih keras demi pengakuan, keinginan menciptakan citra sempurna di media sosial, hingga ambisi mengejar kesuksesan tanpa henti.

Namun, Sarner menemukan titik balik pemikirannya saat menjadi seorang ibu. Ia melihat bagaimana orang tua kerap ingin anak mereka merasa istimewa agar tumbuh dengan percaya diri. 

Padahal, kepercayaan diri sejati tidak datang dari merasa lebih unggul dibanding orang lain, melainkan dari kesadaran diri sendiri memiliki nilai tanpa perlu pembuktian.

Lebih jauh, Sarner menyoroti bagaimana dorongan untuk merasa istimewa bisa membuat seseorang rentan dalam hubungan. 

Ketika kebahagiaan bergantung pada bagaimana orang lain memperlakukan kita, maka kita pun lebih mudah terseret dalam dinamika hubungan yang tidak sehat, di mana pujian bisa berubah menjadi perendahan dalam sekejap. 

Sebaliknya, menemukan seseorang yang menerima kita dengan sederhana, tanpa perlu terus-menerus terkesan, justru bisa memberikan ketenangan yang lebih mendalam.

Kini, setelah menyadari pola pikir ini, Sarner lebih menghargai momen-momen kecil dalam hidupnya. 

Dia tidak lagi terjebak dalam tuntutan untuk tampil mengesankan, tetapi menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana: memasak tanpa beban perfeksionisme, menikmati kebersamaan dengan keluarga, dan mengapresiasi keindahan keseharian.

Kita sering kali berpikir kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan yang lebih luar biasa. 

Namun, bisa jadi, kebahagiaan itu sudah ada di depan mata hanya saja kita terlalu sibuk mengejar sesuatu yang lain.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 27 Februari 2025

Merayakan Kebiasaan, Menemukan Kebahagiaan

Dorongan untuk merasa istimewa bisa membuat seseorang rentan dalam hubungan dan selalu cemas

Foto orang biasa/getimg.ai

Context.id, JAKARTA - Di tengah budaya yang terus mendorong pencapaian dan keistimewaan, banyak orang tanpa sadar terjebak dalam obsesi untuk tampil lebih unggul.

Status, prestasi, dan pengakuan menjadi tolok ukur kebahagiaan, seolah kehidupan yang biasa-biasa saja tidak cukup berarti. 

Namun, apakah benar menjadi istimewa adalah satu-satunya jalan menuju kepuasan hidup?

Moya Sarner, seorang psikoterapis sekaligus penulis, mengungkap perspektif berbeda seperti yang dilaporkannya kepada The Guardian.

Dalam refleksi pribadinya, ia menyadari upaya menjadi istimewa justru sering kali menjauhkan seseorang dari dirinya sendiri. 

Obsesi ini bisa muncul dalam berbagai bentuk: dorongan untuk bekerja lebih keras demi pengakuan, keinginan menciptakan citra sempurna di media sosial, hingga ambisi mengejar kesuksesan tanpa henti.

Namun, Sarner menemukan titik balik pemikirannya saat menjadi seorang ibu. Ia melihat bagaimana orang tua kerap ingin anak mereka merasa istimewa agar tumbuh dengan percaya diri. 

Padahal, kepercayaan diri sejati tidak datang dari merasa lebih unggul dibanding orang lain, melainkan dari kesadaran diri sendiri memiliki nilai tanpa perlu pembuktian.

Lebih jauh, Sarner menyoroti bagaimana dorongan untuk merasa istimewa bisa membuat seseorang rentan dalam hubungan. 

Ketika kebahagiaan bergantung pada bagaimana orang lain memperlakukan kita, maka kita pun lebih mudah terseret dalam dinamika hubungan yang tidak sehat, di mana pujian bisa berubah menjadi perendahan dalam sekejap. 

Sebaliknya, menemukan seseorang yang menerima kita dengan sederhana, tanpa perlu terus-menerus terkesan, justru bisa memberikan ketenangan yang lebih mendalam.

Kini, setelah menyadari pola pikir ini, Sarner lebih menghargai momen-momen kecil dalam hidupnya. 

Dia tidak lagi terjebak dalam tuntutan untuk tampil mengesankan, tetapi menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana: memasak tanpa beban perfeksionisme, menikmati kebersamaan dengan keluarga, dan mengapresiasi keindahan keseharian.

Kita sering kali berpikir kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan yang lebih luar biasa. 

Namun, bisa jadi, kebahagiaan itu sudah ada di depan mata hanya saja kita terlalu sibuk mengejar sesuatu yang lain.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Sushila Karki, Perdana Menteri Perempuan Pertama di Nepal

Setelah meredanya gelombang protes di Nepal, Sushila Karki ditunjuk sebagai Perdana Menteri Sementara dan disebut menandakan tumbuhnya kepercayaan ...

Renita Sukma . 16 September 2025

Penembak Aktivis Charlie Kirk Ditangkap Setelah 33 Jam Diburu

Tyler Robinson, pria 22 tahun dari Utah, berhasil ditangkap setelah buron 33 jam atas tuduhan membunuh aktivis konservatif Charlie Kirk

Renita Sukma . 14 September 2025

Setelah Penggerebekan Imigrasi AS, Pekerja Korea Selatan Dipulangkan

Sekitar 300 pekerja Korea Selatan akhirnya kembali ke negara setelah sempat ditahan oleh imigrasi AS.

Renita Sukma . 14 September 2025

Ada Tuntutan Bubarkan DPR, Secara Hukum Indonesia Bisa?

Tuntutan pembubaran DPR menggaung saat aksi demonstrasi 25 Agustus 2025. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut hal itu secara hukum tid ...

Renita Sukma . 14 September 2025