Cancel Culture dan Nasib Film Abidzar?
Di era media sosial, satu kesalahan kecil bisa berujung pada gelombang boikot massal
Context.id, JAKARTA Film A Business Proposal, yang diadaptasi dari webtoon populer, ternyata gagal menarik penonton.
Padahal awalnya film ini ditunggu-tunggu oleh banyak orang, setidaknya sebelum aktor utamanya, Abidzar Al-Ghifari, mulai berbicara di media.
Sialnya, setelah Abidzar berbicara di media dan merespon netizen yang mengkritik penampilannya, kritik bertubi-tubi tak berhenti menghantam film ini.
Ratingnya di IMDb terjun bebas, bahkan banyak yang memberi bintang satu tanpa menontonnya terlebih dahulu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini benar-benar cancel culture yang sedang bekerja, atau ada faktor lain yang berperan?
Di era media sosial, opini publik bisa bergerak lebih cepat dari kilat. Satu kesalahan kecil bisa berujung pada gelombang boikot massal.
Fenomena ini disebut cancel culture, praktik di mana individu atau kelompok diboikot karena tindakan atau ucapan yang dianggap salah.
Menurut Merriam-Webster, cancel culture adalah cara masyarakat mengekspresikan ketidaksetujuan mereka melalui aksi kolektif, seperti tidak lagi mengikuti media sosial seseorang, memboikot produk atau, dalam kasus Abidzar, memilih untuk tidak menonton filmnya.
Fenomena ini semakin masif di Indonesia seiring berkembangnya media sosial dan juga sejalan dengan bertumbuhnya penggemar budaya Korea alias K-Pop.
Berdasarkan data Good Stats, Indonesia bahkan menjadi negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbesar di dunia pada 2023. Dengan kekuatan komunitas yang besar, kritik dari kelompok ini bisa berdampak signifikan.
Masalah bermula ketika Abidzar, dalam salah satu wawancaranya, mengaku tidak melakukan riset mendalam terhadap karakter di A Business Proposal yang memang sudah lebih dulu tayangan sebagai drama Korea.
Pernyataan ini langsung memicu kemarahan penggemar drama Korea yang merasa bahwa proyek ini tidak dihormati dengan serius.
Namun, bukan hanya itu yang membuat situasi semakin panas. Ketika kritik mulai berdatangan, Abidzar justru merespons dengan pernyataan yang dianggap sinis dan arogan.
Dia menyebut penggemar drama Korea sebagai “fan fanatik” dan menyarankan agar mereka tidak menonton filmnya jika tidak suka.
Pernyataan ini menjadi bumerang. Netizen, khususnya dari komunitas K-Pop, mulai menyerukan boikot. Film ini pun terkena dampaknya secara langsung.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah cancel culture adalah bentuk keadilan sosial atau justru sekadar perundungan massal yang brutal?
POPULAR
RELATED ARTICLES
Cancel Culture dan Nasib Film Abidzar?
Di era media sosial, satu kesalahan kecil bisa berujung pada gelombang boikot massal
Context.id, JAKARTA Film A Business Proposal, yang diadaptasi dari webtoon populer, ternyata gagal menarik penonton.
Padahal awalnya film ini ditunggu-tunggu oleh banyak orang, setidaknya sebelum aktor utamanya, Abidzar Al-Ghifari, mulai berbicara di media.
Sialnya, setelah Abidzar berbicara di media dan merespon netizen yang mengkritik penampilannya, kritik bertubi-tubi tak berhenti menghantam film ini.
Ratingnya di IMDb terjun bebas, bahkan banyak yang memberi bintang satu tanpa menontonnya terlebih dahulu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini benar-benar cancel culture yang sedang bekerja, atau ada faktor lain yang berperan?
Di era media sosial, opini publik bisa bergerak lebih cepat dari kilat. Satu kesalahan kecil bisa berujung pada gelombang boikot massal.
Fenomena ini disebut cancel culture, praktik di mana individu atau kelompok diboikot karena tindakan atau ucapan yang dianggap salah.
Menurut Merriam-Webster, cancel culture adalah cara masyarakat mengekspresikan ketidaksetujuan mereka melalui aksi kolektif, seperti tidak lagi mengikuti media sosial seseorang, memboikot produk atau, dalam kasus Abidzar, memilih untuk tidak menonton filmnya.
Fenomena ini semakin masif di Indonesia seiring berkembangnya media sosial dan juga sejalan dengan bertumbuhnya penggemar budaya Korea alias K-Pop.
Berdasarkan data Good Stats, Indonesia bahkan menjadi negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbesar di dunia pada 2023. Dengan kekuatan komunitas yang besar, kritik dari kelompok ini bisa berdampak signifikan.
Masalah bermula ketika Abidzar, dalam salah satu wawancaranya, mengaku tidak melakukan riset mendalam terhadap karakter di A Business Proposal yang memang sudah lebih dulu tayangan sebagai drama Korea.
Pernyataan ini langsung memicu kemarahan penggemar drama Korea yang merasa bahwa proyek ini tidak dihormati dengan serius.
Namun, bukan hanya itu yang membuat situasi semakin panas. Ketika kritik mulai berdatangan, Abidzar justru merespons dengan pernyataan yang dianggap sinis dan arogan.
Dia menyebut penggemar drama Korea sebagai “fan fanatik” dan menyarankan agar mereka tidak menonton filmnya jika tidak suka.
Pernyataan ini menjadi bumerang. Netizen, khususnya dari komunitas K-Pop, mulai menyerukan boikot. Film ini pun terkena dampaknya secara langsung.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah cancel culture adalah bentuk keadilan sosial atau justru sekadar perundungan massal yang brutal?
POPULAR
RELATED ARTICLES