Mengapa Etika Menjadi Tantangan Terbesar Bagi Penggunaan AI?
Organisasi dan pakar etika menyerukan pengembangan AI yang melibatkan lebih banyak perspektif manusia agar punya solusi etis dan bertanggung jawab.

Context.id, JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) generatif justru mengalami perlambatan. Masalah utamanya?
Survei IBM Institute for Business Value menunjukkan 56% bisnis menunda investasi besar dalam AI generatif, dan 72% lainnya rela mengabaikan manfaat AI karena kekhawatiran etika.
Etika penggunaan AI terbukti lebih kompleks daripada tantangan teknis, itu menurut Phaedra Boinodiris, pemimpin global AI tepercaya di IBM Consulting.
"Menciptakan AI yang etis adalah masalah sosio-teknis, bukan sekadar teknis," ujarnya seperti dikutip dari Zdnet.
Karena bicara soal etika, ini bukan persoalan teknis semata. Tapi memang butuh tim multidisipliner untuk membangun AI yang bertanggung jawab.
Untuk memastikan AI etis, tim pengembang harus bersifat multidisipliner, melibatkan ahli linguistik dan filsafat, ahli pedagogik selain tentunya sosiolog, psikolog dan juga pakar bidang teknologi.
Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang harus diajukan seperti misalnya apakah AI bakal benar-benar menyelesaikan masalah, apakah data AI benar dan tidak ilegal serta dampak tak terduga dari AI termasuk cara meminimalisirnya
Meskipun ada kekhawatiran, 75% eksekutif percaya etika AI bisa menjadi keunggulan kompetitif, dengan 54% menyebutnya sangat penting secara strategis.
Selain itu, lebih dari 85% konsumen, warga, dan karyawan menganggap etika AI sebagai prioritas penting.
Laporan IBM menyoroti tiga jenis ROI dari investasi dalam etika AI seperti misalnya dari dampak ekonominya, mulai dari penghematan biaya, peningkatan pendapatan, dan penghindaran denda regulasi.
Lalu dampak kapabilitas jangka panjang seperti modernisasi infrastruktur dan inovasi berkelanjutan.
Kemudian dampak reputasi mulai dari peningkatan citra merek, retensi karyawan, dan penilaian ESG yang lebih baik.
Banyak eksekutif belum memahami sepenuhnya manfaat etika AI, sehingga edukasi berkelanjutan sangat diperlukan.
Boinodiris menyarankan keterlibatan pakar etika AI untuk membantu pemimpin bisnis memahami potensi penerapan teknologi ini, baik untuk menghindari kerugian maupun menciptakan nilai baru.
Mewujudkan AI yang etis memerlukan pendekatan kolaboratif lintas disiplin.
Melibatkan berbagai perspektif manusia dapat membantu memastikan AI tidak hanya efektif tetapi juga bertanggung jawab, adil, dan bermanfaat bagi masyarakat.
RELATED ARTICLES
Mengapa Etika Menjadi Tantangan Terbesar Bagi Penggunaan AI?
Organisasi dan pakar etika menyerukan pengembangan AI yang melibatkan lebih banyak perspektif manusia agar punya solusi etis dan bertanggung jawab.

Context.id, JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) generatif justru mengalami perlambatan. Masalah utamanya?
Survei IBM Institute for Business Value menunjukkan 56% bisnis menunda investasi besar dalam AI generatif, dan 72% lainnya rela mengabaikan manfaat AI karena kekhawatiran etika.
Etika penggunaan AI terbukti lebih kompleks daripada tantangan teknis, itu menurut Phaedra Boinodiris, pemimpin global AI tepercaya di IBM Consulting.
"Menciptakan AI yang etis adalah masalah sosio-teknis, bukan sekadar teknis," ujarnya seperti dikutip dari Zdnet.
Karena bicara soal etika, ini bukan persoalan teknis semata. Tapi memang butuh tim multidisipliner untuk membangun AI yang bertanggung jawab.
Untuk memastikan AI etis, tim pengembang harus bersifat multidisipliner, melibatkan ahli linguistik dan filsafat, ahli pedagogik selain tentunya sosiolog, psikolog dan juga pakar bidang teknologi.
Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang harus diajukan seperti misalnya apakah AI bakal benar-benar menyelesaikan masalah, apakah data AI benar dan tidak ilegal serta dampak tak terduga dari AI termasuk cara meminimalisirnya
Meskipun ada kekhawatiran, 75% eksekutif percaya etika AI bisa menjadi keunggulan kompetitif, dengan 54% menyebutnya sangat penting secara strategis.
Selain itu, lebih dari 85% konsumen, warga, dan karyawan menganggap etika AI sebagai prioritas penting.
Laporan IBM menyoroti tiga jenis ROI dari investasi dalam etika AI seperti misalnya dari dampak ekonominya, mulai dari penghematan biaya, peningkatan pendapatan, dan penghindaran denda regulasi.
Lalu dampak kapabilitas jangka panjang seperti modernisasi infrastruktur dan inovasi berkelanjutan.
Kemudian dampak reputasi mulai dari peningkatan citra merek, retensi karyawan, dan penilaian ESG yang lebih baik.
Banyak eksekutif belum memahami sepenuhnya manfaat etika AI, sehingga edukasi berkelanjutan sangat diperlukan.
Boinodiris menyarankan keterlibatan pakar etika AI untuk membantu pemimpin bisnis memahami potensi penerapan teknologi ini, baik untuk menghindari kerugian maupun menciptakan nilai baru.
Mewujudkan AI yang etis memerlukan pendekatan kolaboratif lintas disiplin.
Melibatkan berbagai perspektif manusia dapat membantu memastikan AI tidak hanya efektif tetapi juga bertanggung jawab, adil, dan bermanfaat bagi masyarakat.
POPULAR
RELATED ARTICLES