Share

Home Stories

Stories 22 Januari 2025

Mengapa Etika Menjadi Tantangan Terbesar Bagi Penggunaan AI?

Organisasi dan pakar etika menyerukan pengembangan AI yang melibatkan lebih banyak perspektif manusia agar punya solusi etis dan bertanggung jawab.

Ilustrasi AI dalam bentuk robot humanoid/getimg.ai

Context.id, JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) generatif justru mengalami perlambatan. Masalah utamanya? 

Survei IBM Institute for Business Value menunjukkan 56% bisnis menunda investasi besar dalam AI generatif, dan 72% lainnya rela mengabaikan manfaat AI karena kekhawatiran etika.

Etika penggunaan AI terbukti lebih kompleks daripada tantangan teknis, itu menurut Phaedra Boinodiris, pemimpin global AI tepercaya di IBM Consulting.

"Menciptakan AI yang etis adalah masalah sosio-teknis, bukan sekadar teknis," ujarnya seperti dikutip dari Zdnet. 

Karena bicara soal etika, ini bukan persoalan teknis semata. Tapi memang butuh tim multidisipliner untuk membangun AI yang bertanggung jawab. 

Untuk memastikan AI etis, tim pengembang harus bersifat multidisipliner, melibatkan ahli  linguistik dan filsafat, ahli pedagogik selain tentunya sosiolog, psikolog dan juga pakar bidang teknologi. 

Selain itu, ada  beberapa pertanyaan yang harus diajukan seperti misalnya apakah AI bakal benar-benar menyelesaikan masalah, apakah data AI benar dan tidak ilegal serta dampak tak terduga dari AI termasuk cara meminimalisirnya

Meskipun ada kekhawatiran, 75% eksekutif percaya etika AI bisa menjadi keunggulan kompetitif, dengan 54% menyebutnya sangat penting secara strategis. 

Selain itu, lebih dari 85% konsumen, warga, dan karyawan menganggap etika AI sebagai prioritas penting.

Laporan IBM menyoroti tiga jenis ROI dari investasi dalam etika AI seperti misalnya dari dampak ekonominya, mulai dari penghematan biaya, peningkatan pendapatan, dan penghindaran denda regulasi.

Lalu dampak kapabilitas jangka panjang seperti modernisasi infrastruktur dan inovasi berkelanjutan.

Kemudian dampak reputasi mulai dari peningkatan citra merek, retensi karyawan, dan penilaian ESG yang lebih baik.

Banyak eksekutif belum memahami sepenuhnya manfaat etika AI, sehingga edukasi berkelanjutan sangat diperlukan. 

Boinodiris menyarankan keterlibatan pakar etika AI untuk membantu pemimpin bisnis memahami potensi penerapan teknologi ini, baik untuk menghindari kerugian maupun menciptakan nilai baru.

Mewujudkan AI yang etis memerlukan pendekatan kolaboratif lintas disiplin. 

Melibatkan berbagai perspektif manusia dapat membantu memastikan AI tidak hanya efektif tetapi juga bertanggung jawab, adil, dan bermanfaat bagi masyarakat.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 22 Januari 2025

Mengapa Etika Menjadi Tantangan Terbesar Bagi Penggunaan AI?

Organisasi dan pakar etika menyerukan pengembangan AI yang melibatkan lebih banyak perspektif manusia agar punya solusi etis dan bertanggung jawab.

Ilustrasi AI dalam bentuk robot humanoid/getimg.ai

Context.id, JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) generatif justru mengalami perlambatan. Masalah utamanya? 

Survei IBM Institute for Business Value menunjukkan 56% bisnis menunda investasi besar dalam AI generatif, dan 72% lainnya rela mengabaikan manfaat AI karena kekhawatiran etika.

Etika penggunaan AI terbukti lebih kompleks daripada tantangan teknis, itu menurut Phaedra Boinodiris, pemimpin global AI tepercaya di IBM Consulting.

"Menciptakan AI yang etis adalah masalah sosio-teknis, bukan sekadar teknis," ujarnya seperti dikutip dari Zdnet. 

Karena bicara soal etika, ini bukan persoalan teknis semata. Tapi memang butuh tim multidisipliner untuk membangun AI yang bertanggung jawab. 

Untuk memastikan AI etis, tim pengembang harus bersifat multidisipliner, melibatkan ahli  linguistik dan filsafat, ahli pedagogik selain tentunya sosiolog, psikolog dan juga pakar bidang teknologi. 

Selain itu, ada  beberapa pertanyaan yang harus diajukan seperti misalnya apakah AI bakal benar-benar menyelesaikan masalah, apakah data AI benar dan tidak ilegal serta dampak tak terduga dari AI termasuk cara meminimalisirnya

Meskipun ada kekhawatiran, 75% eksekutif percaya etika AI bisa menjadi keunggulan kompetitif, dengan 54% menyebutnya sangat penting secara strategis. 

Selain itu, lebih dari 85% konsumen, warga, dan karyawan menganggap etika AI sebagai prioritas penting.

Laporan IBM menyoroti tiga jenis ROI dari investasi dalam etika AI seperti misalnya dari dampak ekonominya, mulai dari penghematan biaya, peningkatan pendapatan, dan penghindaran denda regulasi.

Lalu dampak kapabilitas jangka panjang seperti modernisasi infrastruktur dan inovasi berkelanjutan.

Kemudian dampak reputasi mulai dari peningkatan citra merek, retensi karyawan, dan penilaian ESG yang lebih baik.

Banyak eksekutif belum memahami sepenuhnya manfaat etika AI, sehingga edukasi berkelanjutan sangat diperlukan. 

Boinodiris menyarankan keterlibatan pakar etika AI untuk membantu pemimpin bisnis memahami potensi penerapan teknologi ini, baik untuk menghindari kerugian maupun menciptakan nilai baru.

Mewujudkan AI yang etis memerlukan pendekatan kolaboratif lintas disiplin. 

Melibatkan berbagai perspektif manusia dapat membantu memastikan AI tidak hanya efektif tetapi juga bertanggung jawab, adil, dan bermanfaat bagi masyarakat.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Sushila Karki, Perdana Menteri Perempuan Pertama di Nepal

Setelah meredanya gelombang protes di Nepal, Sushila Karki ditunjuk sebagai Perdana Menteri Sementara dan disebut menandakan tumbuhnya kepercayaan ...

Renita Sukma . 16 September 2025

Penembak Aktivis Charlie Kirk Ditangkap Setelah 33 Jam Diburu

Tyler Robinson, pria 22 tahun dari Utah, berhasil ditangkap setelah buron 33 jam atas tuduhan membunuh aktivis konservatif Charlie Kirk

Renita Sukma . 14 September 2025

Setelah Penggerebekan Imigrasi AS, Pekerja Korea Selatan Dipulangkan

Sekitar 300 pekerja Korea Selatan akhirnya kembali ke negara setelah sempat ditahan oleh imigrasi AS.

Renita Sukma . 14 September 2025

Ada Tuntutan Bubarkan DPR, Secara Hukum Indonesia Bisa?

Tuntutan pembubaran DPR menggaung saat aksi demonstrasi 25 Agustus 2025. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut hal itu secara hukum tid ...

Renita Sukma . 14 September 2025