Nyamuk Bisa Mengubah Metode Vaksinasi?
Penggunaan hewan untuk vaksinasi mampu mengubah metode vaksinasi di dunia kesehatan
Context.id, JAKARTA - Malaria telah menjadi momok kesehatan global selama berabad-abad, menyebabkan lebih dari 240 juta kasus setiap tahun, dengan korban jiwa yang mencapai hampir 600.000 pada 2023.
Namun, para ilmuwan dari Leiden University Medical Center (LUMC) dan Radboud University di Belanda mungkin telah menemukan solusi yang revolusioner: menjadikan nyamuk sebagai pengantar vaksin.
Nyamuk dikenal sebagai penyebar penyakit mematikan seperti malaria, demam berdarah dan demam kuning.
Melansir Al Jazeera, tim peneliti dari Belanda telah merekayasa nyamuk untuk membawa strain lemah Plasmodium falciparum, parasit penyebab malaria.
Strain yang dimodifikasi ini tetap mampu menginfeksi manusia, tetapi tidak menyebabkan gejala penyakit, yang bertujuan memicu respon imun alami tubuh.
“Gene penting dalam parasit ini telah dihapus, sehingga tidak bisa berkembang di hati dan menyebabkan penyakit,” jelas Meta Roestenberg, profesor vaksinologi dari LUMC.
Uji klinis
Dua fase uji coba dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas pendekatan ini. Dalam fase pertama, vaksin berbasis suntikan diuji pada 67 partisipan di Belanda.
Hasilnya menunjukkan vaksin aman tetapi kurang efektif dalam mencegah malaria.
Fase kedua melibatkan penggunaan nyamuk untuk mengantarkan dua versi vaksin, GA1 dan GA2, kepada 20 partisipan. Setiap partisipan menerima total 50 gigitan nyamuk selama tiga sesi.
Hasilnya cukup menjanjikan: 89% partisipan yang menerima vaksin GA2 mengembangkan imunitas terhadap malaria, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok placebo.
Namun, peneliti mengakui pendekatan ini memerlukan studi lanjutan untuk menguji efektivitasnya dalam populasi lebih besar dan dalam kondisi nyata di negara-negara endemik malaria.
Bisa jadi alat vaksinasi massal?
Meski teknologi ini terdengar menjanjikan, ada tantangan besar dalam implementasinya. Roestenberg menekankan pendekatan nyamuk sebagai "vaksinator" hanya cocok untuk uji klinis.
Dalam skala besar, vaksin harus dikembangkan dalam bentuk vial agar dapat didistribusikan di wilayah endemik seperti Afrika. Selain itu, ada pertanyaan etika terkait penggunaan organisme hidup sebagai alat medis.
Apakah risiko biologis dapat dikelola dengan aman? Bagaimana dengan penerimaan masyarakat terhadap metode ini?
Penggunaan serangga sebagai alat vaksinasi bukanlah hal baru. Pada 2010, ilmuwan Jepang merekayasa nyamuk untuk membawa vaksin melawan leishmaniasis.
Sementara di Amerika Serikat, pada 2022, uji klinis di Seattle menggunakan teknologi serupa untuk mengantarkan vaksin malaria.
Di Indonesia juga pernah menggunakan nyamuk Wolbachia merupakan teknologi yang digunakan untuk mengendalikan demam berdarah (DBD) di Indonesia.
Teknologi ini telah menjadi bagian dari Strategi Nasional Pengendalian DBD di Indonesia.
Nyamuk Wolbachia adalah nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia, yang dapat menurunkan replikasi virus dengue dalam tubuh nyamuk.
Bakteri ini dapat diwariskan dari nyamuk jantan ke betina dan sebaliknya, sehingga keturunan nyamuk setempat juga mengandung Wolbachia.
Meski hasilnya bervariasi, pendekatan ini membuka jalan baru dalam dunia vaksinasi.
Dengan setiap gigitan, nyamuk yang dulu menjadi musuh manusia kini berpotensi menjadi sekutu dalam melawan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Namun, perlu ada pengujian secara terus menerus sebelum teknologi ini bisa digunakan secara luas.
RELATED ARTICLES
Nyamuk Bisa Mengubah Metode Vaksinasi?
Penggunaan hewan untuk vaksinasi mampu mengubah metode vaksinasi di dunia kesehatan
Context.id, JAKARTA - Malaria telah menjadi momok kesehatan global selama berabad-abad, menyebabkan lebih dari 240 juta kasus setiap tahun, dengan korban jiwa yang mencapai hampir 600.000 pada 2023.
Namun, para ilmuwan dari Leiden University Medical Center (LUMC) dan Radboud University di Belanda mungkin telah menemukan solusi yang revolusioner: menjadikan nyamuk sebagai pengantar vaksin.
Nyamuk dikenal sebagai penyebar penyakit mematikan seperti malaria, demam berdarah dan demam kuning.
Melansir Al Jazeera, tim peneliti dari Belanda telah merekayasa nyamuk untuk membawa strain lemah Plasmodium falciparum, parasit penyebab malaria.
Strain yang dimodifikasi ini tetap mampu menginfeksi manusia, tetapi tidak menyebabkan gejala penyakit, yang bertujuan memicu respon imun alami tubuh.
“Gene penting dalam parasit ini telah dihapus, sehingga tidak bisa berkembang di hati dan menyebabkan penyakit,” jelas Meta Roestenberg, profesor vaksinologi dari LUMC.
Uji klinis
Dua fase uji coba dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas pendekatan ini. Dalam fase pertama, vaksin berbasis suntikan diuji pada 67 partisipan di Belanda.
Hasilnya menunjukkan vaksin aman tetapi kurang efektif dalam mencegah malaria.
Fase kedua melibatkan penggunaan nyamuk untuk mengantarkan dua versi vaksin, GA1 dan GA2, kepada 20 partisipan. Setiap partisipan menerima total 50 gigitan nyamuk selama tiga sesi.
Hasilnya cukup menjanjikan: 89% partisipan yang menerima vaksin GA2 mengembangkan imunitas terhadap malaria, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok placebo.
Namun, peneliti mengakui pendekatan ini memerlukan studi lanjutan untuk menguji efektivitasnya dalam populasi lebih besar dan dalam kondisi nyata di negara-negara endemik malaria.
Bisa jadi alat vaksinasi massal?
Meski teknologi ini terdengar menjanjikan, ada tantangan besar dalam implementasinya. Roestenberg menekankan pendekatan nyamuk sebagai "vaksinator" hanya cocok untuk uji klinis.
Dalam skala besar, vaksin harus dikembangkan dalam bentuk vial agar dapat didistribusikan di wilayah endemik seperti Afrika. Selain itu, ada pertanyaan etika terkait penggunaan organisme hidup sebagai alat medis.
Apakah risiko biologis dapat dikelola dengan aman? Bagaimana dengan penerimaan masyarakat terhadap metode ini?
Penggunaan serangga sebagai alat vaksinasi bukanlah hal baru. Pada 2010, ilmuwan Jepang merekayasa nyamuk untuk membawa vaksin melawan leishmaniasis.
Sementara di Amerika Serikat, pada 2022, uji klinis di Seattle menggunakan teknologi serupa untuk mengantarkan vaksin malaria.
Di Indonesia juga pernah menggunakan nyamuk Wolbachia merupakan teknologi yang digunakan untuk mengendalikan demam berdarah (DBD) di Indonesia.
Teknologi ini telah menjadi bagian dari Strategi Nasional Pengendalian DBD di Indonesia.
Nyamuk Wolbachia adalah nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia, yang dapat menurunkan replikasi virus dengue dalam tubuh nyamuk.
Bakteri ini dapat diwariskan dari nyamuk jantan ke betina dan sebaliknya, sehingga keturunan nyamuk setempat juga mengandung Wolbachia.
Meski hasilnya bervariasi, pendekatan ini membuka jalan baru dalam dunia vaksinasi.
Dengan setiap gigitan, nyamuk yang dulu menjadi musuh manusia kini berpotensi menjadi sekutu dalam melawan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Namun, perlu ada pengujian secara terus menerus sebelum teknologi ini bisa digunakan secara luas.
POPULAR
RELATED ARTICLES