Share

Stories 17 November 2023

Polemik Nyamuk Wolbachia dan Nyamuk DBD

Kemenkes RI menggunakan nyamuk ber-Wolbachia untuk menekan angka DBD yang disebarkan nyamuk Aedes Aegypti. Langkah ini memantik pro dan kontra

Ilustrasi Nyamuk Wolbachia - Alvin Alatas.

Context.id, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI saat ini tengah sibuk memberikan penjelasan dan sosialisasi kepada masyarakat luas perihal pelepasan nyamuk Wolbachia ke beberapa wilayah, salah satunya Bali. 

Sebagai informasi, Kemenkes sedang mencoba menekan angka penyebaran penyakit demam berdarah dengue (DBD) di berbagai daerah di Indonesia yang memang angkanya sedang tinggi.

Salah satu upaya untuk menanggulangi DBD ini dengan menggunakan teknologi Wolbachia yang disebarkan melalui nyamuk. 

Jadi, pemerintah menggunakan nyamuk ber-Wolbachia untuk 'melawan' nyamuk Aedes Aegypti penyebar DBD.  

Saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia maka telurnya tidak akan menetas, namun bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak ber-Wolbachia seluruh telurnya akan menetas. 

Selanjutnya bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan ber-Wolbachia maka keturunannya semua akan menetas dan mengandung Wolbachia.

Sebagai informasi, Wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat dalam sel tubuh lebih dari 60% spesies serangga di dunia dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat telur. Bakteri itu ditemukan di banyak serangga umum seperti ngengat, lalat buah, capung, kumbang, dan lain-lain. 

Namun, Wolbachia tidak ditemukan pada nyamuk Aedes aegypti yang menularkan DBD. 

Kemenkes dalam laman resminya menjelaskan, selain di Indonesia, pemanfaatan teknologi Wolbachia juga telah dilaksanakan di sembilan negara lain dan hasilnya terbukti efektif untuk pencegahan Dengue. 

Adapun negara yang dimaksud adalah Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, dan Sri Lanka. Inovasi Wolbachia ini 

Teknologi wolbachia sudah menjadi bagian dari strategi nasional penanggulangan dengue 2021- 2025 dan juga sudah telah mendapat rekomendasi dari Vector Control and Environment Unit at the Department of Control of Neglected Tropical Diseases (VCAG) WHO untuk implementasi teknologi yang telah terbukti efikasinya.

Sebagai pilot project di Indonesia, dilaksanakan di lima kota yaitu Kota Semarang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang dan Kota Bontang berdasarkan Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaran Pilot project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan dengue.

Efektivitas wolbachia sendiri telah diteliti sejak 2011 yang dilakukan oleh World Mosquito Program (WMP) di Yogyakarta dengan dukungan filantropi yayasan Tahija. Penelitian dilakukan melaui fase persiapan dan pelepasan aedes aegypti ber-wolbachia dalam skala terbatas (2011-2015).

Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (FK UGM) sangat mendukung dan terlibat dalam program ini. Salah satu guru besar FK UGM, Adi Utarini menjadi Project Leader WMP Yogyakarta. 

Menurut Utarini, persiapan keamanan dan kelayakan dilakukan di tahun 2011, kemudian pelepasan terbatas di 2014, kajian risiko di 2016, penelitian quasi-experimental di 2016, dan penelitian Randomised Controlled Trial pada 2017-2020. 

Teknologi Wolbachia ini kemudian diimplementasikan di Sleman dan Bantul, bekerja sama dengan pemerintah kabupaten melalui Dinas Kesehatan di tahun 2021 dan 2022

“Penelitian WMP Yogyakarta yang sudah berlangsung lebih dari 1 dekade ini menghasilkan efikasi di mana Wolbachia efektif menurunkan 77% kasus dengue, dan 86% menurunkan tingkat rawat inap di rumah sakit,”ungkapnya seperti dikutip dari laman UGM. 

Kontroversi? 

Sekadar informasi, di Bali, daerah yang juga menjadi tempat untuk penyebaran nyamuk ber-Wolbachia, untuk saat ini ditunda penyebaran jentiknya.

Penolakan itu karena informasi penyebaran telur nyamuk Wolbachia ini belum disosialisasikan kepada masyarakat luas sehingga terjadi banyak penolakan. 

Sebelum penolakan tersebut, banyak video hoaks dan mengaburkan fakta yang berseliweran di berbagai platform media sosial.

Salah satunya terkait dengan rekayasa genetika dari nyamuk Wolbachia yang berbahaya bagi keamanan nasional Indonesia dan bisa menjadikan orang berubah ketertarikan seksualnyanya atau menjadi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LBGT). 

Peneliti Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota peneliti WMP Yogyakarta Riris Andono Ahmad mengatakan bahwa Wolbachia tidak menginfeksi manusia dan tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain bahkan Wolbachia tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik.

Ia menyampaikan bahwa dari penelitian teknologi Wolbachia sudah dilakukan di Yogyakarta selama 12 tahun sejak 2011 lalu. 

Dari sisi aspek keamanan wolbachia, ujarnya, hasil analisis risiko yang diinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes, Kemenkes, pada tahun 2016 dengan membentuk 20 orang anggota tim independen dari berbagai kepakaran menyebutkan bahwa nyamuk Wolbachia memiliki tingkat risiko rendah bagi manusia dan lingkungannya. 

“Kesimpulan mereka bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, di mana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan,” katanya.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 17 November 2023

Polemik Nyamuk Wolbachia dan Nyamuk DBD

Kemenkes RI menggunakan nyamuk ber-Wolbachia untuk menekan angka DBD yang disebarkan nyamuk Aedes Aegypti. Langkah ini memantik pro dan kontra

Ilustrasi Nyamuk Wolbachia - Alvin Alatas.

Context.id, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI saat ini tengah sibuk memberikan penjelasan dan sosialisasi kepada masyarakat luas perihal pelepasan nyamuk Wolbachia ke beberapa wilayah, salah satunya Bali. 

Sebagai informasi, Kemenkes sedang mencoba menekan angka penyebaran penyakit demam berdarah dengue (DBD) di berbagai daerah di Indonesia yang memang angkanya sedang tinggi.

Salah satu upaya untuk menanggulangi DBD ini dengan menggunakan teknologi Wolbachia yang disebarkan melalui nyamuk. 

Jadi, pemerintah menggunakan nyamuk ber-Wolbachia untuk 'melawan' nyamuk Aedes Aegypti penyebar DBD.  

Saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia maka telurnya tidak akan menetas, namun bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak ber-Wolbachia seluruh telurnya akan menetas. 

Selanjutnya bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan ber-Wolbachia maka keturunannya semua akan menetas dan mengandung Wolbachia.

Sebagai informasi, Wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat dalam sel tubuh lebih dari 60% spesies serangga di dunia dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat telur. Bakteri itu ditemukan di banyak serangga umum seperti ngengat, lalat buah, capung, kumbang, dan lain-lain. 

Namun, Wolbachia tidak ditemukan pada nyamuk Aedes aegypti yang menularkan DBD. 

Kemenkes dalam laman resminya menjelaskan, selain di Indonesia, pemanfaatan teknologi Wolbachia juga telah dilaksanakan di sembilan negara lain dan hasilnya terbukti efektif untuk pencegahan Dengue. 

Adapun negara yang dimaksud adalah Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, dan Sri Lanka. Inovasi Wolbachia ini 

Teknologi wolbachia sudah menjadi bagian dari strategi nasional penanggulangan dengue 2021- 2025 dan juga sudah telah mendapat rekomendasi dari Vector Control and Environment Unit at the Department of Control of Neglected Tropical Diseases (VCAG) WHO untuk implementasi teknologi yang telah terbukti efikasinya.

Sebagai pilot project di Indonesia, dilaksanakan di lima kota yaitu Kota Semarang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang dan Kota Bontang berdasarkan Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaran Pilot project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan dengue.

Efektivitas wolbachia sendiri telah diteliti sejak 2011 yang dilakukan oleh World Mosquito Program (WMP) di Yogyakarta dengan dukungan filantropi yayasan Tahija. Penelitian dilakukan melaui fase persiapan dan pelepasan aedes aegypti ber-wolbachia dalam skala terbatas (2011-2015).

Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (FK UGM) sangat mendukung dan terlibat dalam program ini. Salah satu guru besar FK UGM, Adi Utarini menjadi Project Leader WMP Yogyakarta. 

Menurut Utarini, persiapan keamanan dan kelayakan dilakukan di tahun 2011, kemudian pelepasan terbatas di 2014, kajian risiko di 2016, penelitian quasi-experimental di 2016, dan penelitian Randomised Controlled Trial pada 2017-2020. 

Teknologi Wolbachia ini kemudian diimplementasikan di Sleman dan Bantul, bekerja sama dengan pemerintah kabupaten melalui Dinas Kesehatan di tahun 2021 dan 2022

“Penelitian WMP Yogyakarta yang sudah berlangsung lebih dari 1 dekade ini menghasilkan efikasi di mana Wolbachia efektif menurunkan 77% kasus dengue, dan 86% menurunkan tingkat rawat inap di rumah sakit,”ungkapnya seperti dikutip dari laman UGM. 

Kontroversi? 

Sekadar informasi, di Bali, daerah yang juga menjadi tempat untuk penyebaran nyamuk ber-Wolbachia, untuk saat ini ditunda penyebaran jentiknya.

Penolakan itu karena informasi penyebaran telur nyamuk Wolbachia ini belum disosialisasikan kepada masyarakat luas sehingga terjadi banyak penolakan. 

Sebelum penolakan tersebut, banyak video hoaks dan mengaburkan fakta yang berseliweran di berbagai platform media sosial.

Salah satunya terkait dengan rekayasa genetika dari nyamuk Wolbachia yang berbahaya bagi keamanan nasional Indonesia dan bisa menjadikan orang berubah ketertarikan seksualnyanya atau menjadi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LBGT). 

Peneliti Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota peneliti WMP Yogyakarta Riris Andono Ahmad mengatakan bahwa Wolbachia tidak menginfeksi manusia dan tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain bahkan Wolbachia tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik.

Ia menyampaikan bahwa dari penelitian teknologi Wolbachia sudah dilakukan di Yogyakarta selama 12 tahun sejak 2011 lalu. 

Dari sisi aspek keamanan wolbachia, ujarnya, hasil analisis risiko yang diinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes, Kemenkes, pada tahun 2016 dengan membentuk 20 orang anggota tim independen dari berbagai kepakaran menyebutkan bahwa nyamuk Wolbachia memiliki tingkat risiko rendah bagi manusia dan lingkungannya. 

“Kesimpulan mereka bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, di mana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan,” katanya.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Jaga Kesehatan Sopir, Jepang Siapkan Jalan Otomatis untuk Logistik

Jepang merancang jalur transportasi otomatis antara Tokyo dan Osaka untuk mengantisipasi krisis pengemudi truk serta lonjakan kebutuhan logistik.

Context.id . 07 November 2024

Kolaborasi Manusia dan Kecerdasan Buatan Mengubah Metode Perawatan Kanker

Teknologi AI merevolusi deteksi, diagnosis, dan perawatan kanker dengan meningkatkan akurasi dan kecepatan, namun perlu kehati-hatian dan keputusa ...

Context.id . 06 November 2024

Jack Ma Berbagi Pelajaran Hidup bagi Generasi Muda

Jack Ma, pendiri Alibaba, mengajarkan kesuksesan datang dari ketekunan menghadapi kegagalan, belajar dari kesalahan dan memberikan dampak positif ...

Context.id . 06 November 2024

Mungkinkah Mars Menjadi Tempat Tinggal? Temuan Baru Soal Kehidupan Mikroba

NASA menemukan area di Mars yang berpotensi mendukung kehidupan mikroba, tersembunyi di bawah lapisan es dan debu.

Context.id . 31 October 2024