Myanmar Menjadi Negara dengan Jumlah Korban Ranjau Darat Terbanyak
Laporan Landmine Monitor 2024 mencatat warga sipil, termasuk anak-anak, menanggung beban paling besar akibat ranjau darat
Context.id, JAKARTA - Myanmar telah melampaui Suriah sebagai negara dengan jumlah korban tertinggi akibat ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak perang.
Pada 2023 lalu, korban ranjau darat di Myanmar tercatat menelan korban 1.003 orang walaupun sebenarnya korban sesungguhnya bisa lebih dari yang tercatat seperti dilaporkan Landmine Monitor 2024.
Di Myanmar penggunaan ranjau darat secara luas melonjak setelah kudeta militer 2021. Junta militer dan kelompok perlawanan bersenjata menyebarkan ranjau darat itu hampir di semua wilayah kecuali ibu kota berbenteng, Naypyidaw.
Laporan utama ini mencatat jumlah warga sipil yang terbunuh atau terluka akibat ranjau darat termasuk anak-anak.
“Setiap penggunaan ranjau darat baik yang disebarkan junta maupun pemberontak dalam keadaan apa pun tidak dapat diterima dan harus dikutuk. Semua negara harus meratifikasi Perjanjian Larangan Ranjau untuk mengakhiri penderitaan akibat senjata keji ini,” ujarnya.
BACA JUGA
Perjanjian Larangan Ranjau mulai berlaku 1 Maret 1999 dan melarang penggunaan, produksi, penyimpanan, dan pemindahan ranjau darat.
Perjanjian ini juga mewajibkan bantuan bagi korban, pembersihan ranjau, dan pemusnahan persediaan ranjau. Hingga saat ini, 164 negara telah bergabung dengan perjanjian ini.
Warga sipil, termasuk anak-anak di Myanmar, seringkali menjadi korban. Laporan itu menunjukkan militer menggunakan warga sipil sebagai tameng di daerah rawan ranjau.
Hal yang lebih mengerikannya, laporan itu menemukan ranjau darat semakin banyak ditempatkan di wilayah sipil, termasuk zona perkotaan yang dikuasai militer dan disamarkan sebagai benda sehari-hari.
Setelah Myanmar, pada 2023 lalu Suriah mencatat jumlah korban tertinggi kedua akibat ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak perang dengan 933 korban.
Posisi selanjutnya diisi Afghanistan dan diikuti Ukraina, masing-masing melaporkan lebih dari 500 korban pada tahun 2023.
Secara global, warga sipil merupakan 84 persen dari korban, sedangkan anak-anak merupakan lebih dari sepertiga dari mereka yang terkena dampak.
“Warga sipil terus menanggung beban kerugian yang disebabkan oleh senjata-senjata ini, dengan 84 persen korban yang tercatat adalah warga sipil, yang statusnya diketahui. Anak-anak merupakan lebih dari sepertiga dari semua korban sipil,” tulis laporan itu.
Laporan tersebut menyatakan kelompok bersenjata non-negara sebagian besar menggunakan ranjau darat rakitan selama periode 2023 dan 2024 di Kolombia, India, Myanmar, Pakistan, dan Palestina (Gaza) diikuti wilayah Sahel di Afrika”.
“Di balik statistik korban yang mengkhawatirkan ini, terdapat orang-orang yang berusaha membangun kembali kehidupan mereka setelah dampak ranjau yang menghancurkan,” kata Elea Boureux, manajer proyek Landmine Monitor seperti dikutip Independent
Banyak sekali korban yang tidak dapat mengakses perawatan medis, layanan rehabilitasi, atau dukungan lain yang memadai.
Selama Konferensi Peninjauan Perjanjian Anti Ranjau yang akan datang, masyarakat internasional harus berkomitmen untuk menyediakan layanan yang tepat, terjangkau, inklusif, dan mudah diakses bagi para korban.
Sampai saat ini setidaknya ada 58 negara dan kawasan yang masih terdampak atau terdapat persebaran ranjau darat.
RELATED ARTICLES
Myanmar Menjadi Negara dengan Jumlah Korban Ranjau Darat Terbanyak
Laporan Landmine Monitor 2024 mencatat warga sipil, termasuk anak-anak, menanggung beban paling besar akibat ranjau darat
Context.id, JAKARTA - Myanmar telah melampaui Suriah sebagai negara dengan jumlah korban tertinggi akibat ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak perang.
Pada 2023 lalu, korban ranjau darat di Myanmar tercatat menelan korban 1.003 orang walaupun sebenarnya korban sesungguhnya bisa lebih dari yang tercatat seperti dilaporkan Landmine Monitor 2024.
Di Myanmar penggunaan ranjau darat secara luas melonjak setelah kudeta militer 2021. Junta militer dan kelompok perlawanan bersenjata menyebarkan ranjau darat itu hampir di semua wilayah kecuali ibu kota berbenteng, Naypyidaw.
Laporan utama ini mencatat jumlah warga sipil yang terbunuh atau terluka akibat ranjau darat termasuk anak-anak.
“Setiap penggunaan ranjau darat baik yang disebarkan junta maupun pemberontak dalam keadaan apa pun tidak dapat diterima dan harus dikutuk. Semua negara harus meratifikasi Perjanjian Larangan Ranjau untuk mengakhiri penderitaan akibat senjata keji ini,” ujarnya.
BACA JUGA
Perjanjian Larangan Ranjau mulai berlaku 1 Maret 1999 dan melarang penggunaan, produksi, penyimpanan, dan pemindahan ranjau darat.
Perjanjian ini juga mewajibkan bantuan bagi korban, pembersihan ranjau, dan pemusnahan persediaan ranjau. Hingga saat ini, 164 negara telah bergabung dengan perjanjian ini.
Warga sipil, termasuk anak-anak di Myanmar, seringkali menjadi korban. Laporan itu menunjukkan militer menggunakan warga sipil sebagai tameng di daerah rawan ranjau.
Hal yang lebih mengerikannya, laporan itu menemukan ranjau darat semakin banyak ditempatkan di wilayah sipil, termasuk zona perkotaan yang dikuasai militer dan disamarkan sebagai benda sehari-hari.
Setelah Myanmar, pada 2023 lalu Suriah mencatat jumlah korban tertinggi kedua akibat ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak perang dengan 933 korban.
Posisi selanjutnya diisi Afghanistan dan diikuti Ukraina, masing-masing melaporkan lebih dari 500 korban pada tahun 2023.
Secara global, warga sipil merupakan 84 persen dari korban, sedangkan anak-anak merupakan lebih dari sepertiga dari mereka yang terkena dampak.
“Warga sipil terus menanggung beban kerugian yang disebabkan oleh senjata-senjata ini, dengan 84 persen korban yang tercatat adalah warga sipil, yang statusnya diketahui. Anak-anak merupakan lebih dari sepertiga dari semua korban sipil,” tulis laporan itu.
Laporan tersebut menyatakan kelompok bersenjata non-negara sebagian besar menggunakan ranjau darat rakitan selama periode 2023 dan 2024 di Kolombia, India, Myanmar, Pakistan, dan Palestina (Gaza) diikuti wilayah Sahel di Afrika”.
“Di balik statistik korban yang mengkhawatirkan ini, terdapat orang-orang yang berusaha membangun kembali kehidupan mereka setelah dampak ranjau yang menghancurkan,” kata Elea Boureux, manajer proyek Landmine Monitor seperti dikutip Independent
Banyak sekali korban yang tidak dapat mengakses perawatan medis, layanan rehabilitasi, atau dukungan lain yang memadai.
Selama Konferensi Peninjauan Perjanjian Anti Ranjau yang akan datang, masyarakat internasional harus berkomitmen untuk menyediakan layanan yang tepat, terjangkau, inklusif, dan mudah diakses bagi para korban.
Sampai saat ini setidaknya ada 58 negara dan kawasan yang masih terdampak atau terdapat persebaran ranjau darat.
POPULAR
RELATED ARTICLES