Swatch Menang Gugatan Lawan Otoritas Malaysia soal Jam Tangan LGBTQ
Jam tangan Swatch yang dijual di Malaysia berwarna ceria termasuk warna pelangi yang identik dengan warna identitas kelompok LGBTQ
Context.id, JAKARTA - Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur mengeluarkan putusan yang memenangkan Swatch dalam gugatan mereka melawan Kementerian Dalam Negeri Malaysia (KDN), setelah penyitaan 172 jam tangan asal Swiss itu.
Keputusan pengadilan memerintahkan kementerian untuk mengembalikan jam-jam tangan tersebut, yang bernilai sekitar RM64.795 (US$14.545), dalam waktu 14 hari sejak putusan tersebut diterbitkan akhir November kemarin.
Kasus ini sebenarnya sudah berlangsung lama, tepat sejak Mei 2023 lalu saat Kementerian Dalam Negeri Malaysia menyita 172 jam tangan Swatch di berbagai gerai di pusat perbelanjaan besar di seluruh negeri.
Penyitaan dilakukan karena produk tersebut dianggap mempromosikan nilai-nilai LGBTQ, yakni warna berupa pelangi. Hal itu bertentangan dengan norma-norma sosial yang dianut pemerintah Malaysia.
Namun, dalam sidang secara maraton, Hakim Amimit Singh Serjit Singh menyatakan tindakan penyitaan itu ilegal karena tidak disertai dengan surat perintah resmi.
BACA JUGA
Selain itu, hakim mencatat Kementerian Dalam Negeri baru memberlakukan larangan terhadap produk Swatch setelah penyitaan dilakukan, yang berarti tidak ada pelanggaran hukum pada saat itu.
"Keputusan pengadilan adalah final dan harus dihormati. Kementerian Dalam Negeri wajib mengembalikan jam tangan yang disita," kata Menteri Dalam Negeri, Saifuddin Nasution, setelah mendengar putusan tersebut seperti dikutip dari CNA, Senin (2/12)
Namun, dia juga menyatakan kementerian perlu meninjau laporan lengkap dari pengadilan sebelum memutuskan langkah selanjutnya, termasuk kemungkinan banding.
Swatch mengajukan gugatan terhadap pemerintah Malaysia pada Juni 2024, menuntut pengembalian jam tangan yang disita dan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan.
Perusahaan itu juga menuduh penyitaan tersebut dipicu oleh agenda politik menjelang pemilihan umum negara bagian pada Agustus tahun lalu.
Dalam gugatannya, Swatch menyebut beberapa model jam tangan yang disita telah dijual di pasar Malaysia selama lebih dari setahun tanpa masalah.
Pada Agustus 2023, Kementerian Dalam Negeri Malaysia mengeluarkan larangan terhadap jam tangan dan aksesoris Swatch yang berhubungan dengan LGBTQ.
Kementerian tersebut juga mengancam hukuman penjara hingga tiga tahun atau denda hingga RM20.000 bagi siapa saja yang memiliki jam tangan tersebut.
Meskipun hakim tidak mengabulkan permintaan Swatch untuk kompensasi penuh atas kerusakan yang ditimbulkan, dia mencatat perusahaan dapat mengajukan klaim ganti rugi jika terbukti jam tangan yang disita rusak selama proses penyitaan.
Swatch Malaysia mengkritik keras langkah pemerintah, menyatakan tindakan tersebut mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap hak kebebasan individu dan pasar bebas.
"Tindakan ini jelas merupakan upaya politik yang memanfaatkan isu identitas untuk tujuan tertentu," kata perwakilan perusahaan.
Kasus ini menambah panjang daftar ketegangan antara pemerintah Malaysia dan kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak LGBTQ.
Seperti diketahui, Malaysia merupakan negara kerajaan yang menganut hukum Islam dan dikenal cukup konservatif.
RELATED ARTICLES
Swatch Menang Gugatan Lawan Otoritas Malaysia soal Jam Tangan LGBTQ
Jam tangan Swatch yang dijual di Malaysia berwarna ceria termasuk warna pelangi yang identik dengan warna identitas kelompok LGBTQ
Context.id, JAKARTA - Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur mengeluarkan putusan yang memenangkan Swatch dalam gugatan mereka melawan Kementerian Dalam Negeri Malaysia (KDN), setelah penyitaan 172 jam tangan asal Swiss itu.
Keputusan pengadilan memerintahkan kementerian untuk mengembalikan jam-jam tangan tersebut, yang bernilai sekitar RM64.795 (US$14.545), dalam waktu 14 hari sejak putusan tersebut diterbitkan akhir November kemarin.
Kasus ini sebenarnya sudah berlangsung lama, tepat sejak Mei 2023 lalu saat Kementerian Dalam Negeri Malaysia menyita 172 jam tangan Swatch di berbagai gerai di pusat perbelanjaan besar di seluruh negeri.
Penyitaan dilakukan karena produk tersebut dianggap mempromosikan nilai-nilai LGBTQ, yakni warna berupa pelangi. Hal itu bertentangan dengan norma-norma sosial yang dianut pemerintah Malaysia.
Namun, dalam sidang secara maraton, Hakim Amimit Singh Serjit Singh menyatakan tindakan penyitaan itu ilegal karena tidak disertai dengan surat perintah resmi.
BACA JUGA
Selain itu, hakim mencatat Kementerian Dalam Negeri baru memberlakukan larangan terhadap produk Swatch setelah penyitaan dilakukan, yang berarti tidak ada pelanggaran hukum pada saat itu.
"Keputusan pengadilan adalah final dan harus dihormati. Kementerian Dalam Negeri wajib mengembalikan jam tangan yang disita," kata Menteri Dalam Negeri, Saifuddin Nasution, setelah mendengar putusan tersebut seperti dikutip dari CNA, Senin (2/12)
Namun, dia juga menyatakan kementerian perlu meninjau laporan lengkap dari pengadilan sebelum memutuskan langkah selanjutnya, termasuk kemungkinan banding.
Swatch mengajukan gugatan terhadap pemerintah Malaysia pada Juni 2024, menuntut pengembalian jam tangan yang disita dan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan.
Perusahaan itu juga menuduh penyitaan tersebut dipicu oleh agenda politik menjelang pemilihan umum negara bagian pada Agustus tahun lalu.
Dalam gugatannya, Swatch menyebut beberapa model jam tangan yang disita telah dijual di pasar Malaysia selama lebih dari setahun tanpa masalah.
Pada Agustus 2023, Kementerian Dalam Negeri Malaysia mengeluarkan larangan terhadap jam tangan dan aksesoris Swatch yang berhubungan dengan LGBTQ.
Kementerian tersebut juga mengancam hukuman penjara hingga tiga tahun atau denda hingga RM20.000 bagi siapa saja yang memiliki jam tangan tersebut.
Meskipun hakim tidak mengabulkan permintaan Swatch untuk kompensasi penuh atas kerusakan yang ditimbulkan, dia mencatat perusahaan dapat mengajukan klaim ganti rugi jika terbukti jam tangan yang disita rusak selama proses penyitaan.
Swatch Malaysia mengkritik keras langkah pemerintah, menyatakan tindakan tersebut mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap hak kebebasan individu dan pasar bebas.
"Tindakan ini jelas merupakan upaya politik yang memanfaatkan isu identitas untuk tujuan tertentu," kata perwakilan perusahaan.
Kasus ini menambah panjang daftar ketegangan antara pemerintah Malaysia dan kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak LGBTQ.
Seperti diketahui, Malaysia merupakan negara kerajaan yang menganut hukum Islam dan dikenal cukup konservatif.
POPULAR
RELATED ARTICLES