Disleksia, Kekuatan Tersembunyi di Balik Kesuksesan Tokoh Dunia
Disleksia bisa menjadi kekuatan, seperti yang ditunjukkan Richard Branson, dengan pengakuan terhadap potensi uniknya di tempat kerja
Context.id, JAKARTA - Nama-nama besar seperti Steve Jobs, Muhammad Ali, Pablo Picasso, Tom Cruise, Henry Ford, Tommy Hilfiger, dan Richard Branson tidak hanya diingat karena prestasi mereka, tetapi juga karena perjuangan mereka sebagai pengidap disleksia.
Disleksia, yang didefinisikan oleh Asosiasi Disleksia Internasional sebagai kondisi neurologis yang memengaruhi cara otak memproses kata-kata tertulis, menciptakan tantangan besar dalam membaca dan mengeja.
Namun, bagi banyak individu, termasuk Branson, disleksia bukanlah penghalang, melainkan pendorong kreativitas dan inovasi. Branson, pendiri Virgin Group, mengisahkan perjalanan hidupnya yang penuh lika-liku.
Dia berhenti sekolah pada usia 15 tahun, merasa terasing dan tidak dipahami dalam sistem pendidikan yang tidak mengenali disleksia. Dalam sebuah wawancara dengan NBC News, ia menggambarkan bagaimana disleksia telah membentuk cara berpikirnya, menjadikannya kreatif dan inovatif.
“Saya tidak tahu kalau mengidap disleksia. Itu belum ditemukan ketika saya masih sekolah,” kenangnya. Kini, ia menganggap disleksia sebagai “berkah tersembunyi,” bahkan meluncurkan kampus daring gratis untuk membantu mereka yang berpikir di luar kebiasaan.
BACA JUGA
Diskriminasi di tempat kerja
Meskipun kisah Branson terbilang inspiratif, banyak orang dengan disleksia yang masih berjuang dalam diam di lingkungan kerja.
Menurut laporan Forbes, sekitar 20% populasi penderita disleksia, namun hanya sedikit dari mereka yang merasa tempat kerja mereka memahami potensi unik mereka.
Sebuah studi dari Made by Dyslexia dan LinkedIn menemukan hanya 1 dari 5 karyawan disleksia yang merasa dihargai, meskipun 88% percaya cara berpikir mereka adalah aset berharga.
Kesenjangan ini sering kali disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang disleksia. Sekitar 87% individu disleksia merasa bahwa perusahaan mereka perlu meningkatkan pemahaman tentang disleksia.
Ironisnya, hanya 28% rekan kerja yang bertanya tentang cara kerja orang disleksia. Dalam era di mana kecerdasan buatan (AI) mendominasi, potensi inovatif yang dimiliki individu dengan disleksia menjadi semakin penting.
Branson berpendapat manajer harus mencari dan memanfaatkan keunikan para pemikir disleksia, yang sering kali unggul dalam kreativitas dan pemecahan masalah.
Empati
Kekuatan pemikir disleksia terletak pada kemampuan mereka untuk berpikir secara visual dan abstrak. Mereka sering kali dapat melihat hubungan yang tidak terlihat antara ide-ide, menciptakan solusi inovatif di tengah tantangan.
Di saat lingkungan kerja semakin kompetitif, keterampilan ini menjadi semakin berharga.
Lebih dari itu, banyak individu dengan disleksia yang mengembangkan keterampilan komunikasi yang luar biasa.
Pengalaman mereka menghadapi tantangan seringkali membentuk kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan orang lain, meningkatkan empati dan kecerdasan emosional, sifat penting untuk membangun tim yang kohesif dan produktif.
Branson percaya perusahaan yang ingin bertahan dan bersaing di masa depan harus mengadopsi cara berpikir disleksia sebagai bagian dari strategi bisnis mereka.
Dengan merangkul dan memanfaatkan kekuatan individu disleksia, organisasi tidak hanya akan mendapatkan aset berharga, tetapi juga menciptakan budaya kerja yang inklusif dan mendukung
RELATED ARTICLES
Disleksia, Kekuatan Tersembunyi di Balik Kesuksesan Tokoh Dunia
Disleksia bisa menjadi kekuatan, seperti yang ditunjukkan Richard Branson, dengan pengakuan terhadap potensi uniknya di tempat kerja
Context.id, JAKARTA - Nama-nama besar seperti Steve Jobs, Muhammad Ali, Pablo Picasso, Tom Cruise, Henry Ford, Tommy Hilfiger, dan Richard Branson tidak hanya diingat karena prestasi mereka, tetapi juga karena perjuangan mereka sebagai pengidap disleksia.
Disleksia, yang didefinisikan oleh Asosiasi Disleksia Internasional sebagai kondisi neurologis yang memengaruhi cara otak memproses kata-kata tertulis, menciptakan tantangan besar dalam membaca dan mengeja.
Namun, bagi banyak individu, termasuk Branson, disleksia bukanlah penghalang, melainkan pendorong kreativitas dan inovasi. Branson, pendiri Virgin Group, mengisahkan perjalanan hidupnya yang penuh lika-liku.
Dia berhenti sekolah pada usia 15 tahun, merasa terasing dan tidak dipahami dalam sistem pendidikan yang tidak mengenali disleksia. Dalam sebuah wawancara dengan NBC News, ia menggambarkan bagaimana disleksia telah membentuk cara berpikirnya, menjadikannya kreatif dan inovatif.
“Saya tidak tahu kalau mengidap disleksia. Itu belum ditemukan ketika saya masih sekolah,” kenangnya. Kini, ia menganggap disleksia sebagai “berkah tersembunyi,” bahkan meluncurkan kampus daring gratis untuk membantu mereka yang berpikir di luar kebiasaan.
BACA JUGA
Diskriminasi di tempat kerja
Meskipun kisah Branson terbilang inspiratif, banyak orang dengan disleksia yang masih berjuang dalam diam di lingkungan kerja.
Menurut laporan Forbes, sekitar 20% populasi penderita disleksia, namun hanya sedikit dari mereka yang merasa tempat kerja mereka memahami potensi unik mereka.
Sebuah studi dari Made by Dyslexia dan LinkedIn menemukan hanya 1 dari 5 karyawan disleksia yang merasa dihargai, meskipun 88% percaya cara berpikir mereka adalah aset berharga.
Kesenjangan ini sering kali disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang disleksia. Sekitar 87% individu disleksia merasa bahwa perusahaan mereka perlu meningkatkan pemahaman tentang disleksia.
Ironisnya, hanya 28% rekan kerja yang bertanya tentang cara kerja orang disleksia. Dalam era di mana kecerdasan buatan (AI) mendominasi, potensi inovatif yang dimiliki individu dengan disleksia menjadi semakin penting.
Branson berpendapat manajer harus mencari dan memanfaatkan keunikan para pemikir disleksia, yang sering kali unggul dalam kreativitas dan pemecahan masalah.
Empati
Kekuatan pemikir disleksia terletak pada kemampuan mereka untuk berpikir secara visual dan abstrak. Mereka sering kali dapat melihat hubungan yang tidak terlihat antara ide-ide, menciptakan solusi inovatif di tengah tantangan.
Di saat lingkungan kerja semakin kompetitif, keterampilan ini menjadi semakin berharga.
Lebih dari itu, banyak individu dengan disleksia yang mengembangkan keterampilan komunikasi yang luar biasa.
Pengalaman mereka menghadapi tantangan seringkali membentuk kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan orang lain, meningkatkan empati dan kecerdasan emosional, sifat penting untuk membangun tim yang kohesif dan produktif.
Branson percaya perusahaan yang ingin bertahan dan bersaing di masa depan harus mengadopsi cara berpikir disleksia sebagai bagian dari strategi bisnis mereka.
Dengan merangkul dan memanfaatkan kekuatan individu disleksia, organisasi tidak hanya akan mendapatkan aset berharga, tetapi juga menciptakan budaya kerja yang inklusif dan mendukung
POPULAR
RELATED ARTICLES