Share

Home Stories

Stories 12 Juli 2024

Ketika Prabowo Ketiban Utang Jumbo dari Jokowi

Dalam menyusun kabinet, Prabowo diminta jangan sampai salah pilih menteri, terutama untuk menteri yang mengurusi keuangan dan ekonomi

Ilustrasi utang Jokowi/Theindonesian.id

Context.id, JAKARTA- Prabowo Subianto mendapatkan warisan utang yang besar dari era kepemimpinan Joko Widodo.

Pengamat ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, jika diibaratkan, ketika menjadi presiden, Joko Widodo mendapatkan warisan mobil dengan kondisi baik. Namun kondisi sebaliknya diberikannya kepada Prabowo Subianto. 

“Artinya ketika menjabat, Pak Jokowi menerima kondisi fiskal yang solid. Namun Pak Prabowo ketika menjabat, menerima kondisi yang sulit,” ucapnya dalam diskusi bertajuk Dilema Kabinet Prabowo Dalam Bingkai Besar Koalisi yang digelar Universitas Paramadina, Kamis (12/7/2024).

Hal ini cukup beralasan. Dia memaparkan, saat peralihan pemerintahan, dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo, tercatat utang pemerintahan sebesar Rp2.608,7 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 24,7%.

Sementara ketika pemerintahan beralih ke Prabowo kelak, jumlah utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.353,02 triliun. Rasio utang tersebut sebesar 38,71% terhadap PDB. Hampir 90% utang ini dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).

Menurutnya, ada empat krisis yang akan dihadapi oleh Prabowo ketika memegang tampuk kekuasaan yaitu krisis fiskal, industri, lapangan kerja dan nilai tukar rupiah. Hal-hal ini, tuturnya merupakan persoalan krusial tetapi sering diabaikan.

Adapun terkait ukuran kabinet mendatang di era Prabowo, dia mengutip data dari Universitas  Oxford. Data itu menyatakan, pemerintahan yang efektif ada kaitannya dengan jumlah menteri yang dimiliki tiap negara.

“Semakin banyaknya menteri makin tidak efektif pemerintahan tersebut. Indonesia menempati 10 persen terbanyak jumlah menteri dalam pemerintahan,” jelasnya.

Dalam pemilihan menteri pun menurut Wijayanto, Prabowo tidak boleh gegabah menempatkan kader partai politik pendukungnya.

Pasalnya, selama orde reformasi dari 15 tersangka korupsi, sebanyak 11 orang tersangka merupakan menteri berlatar belakang partai politik.

Banyaknya jumlah menteri dari latar belakang partai politik yang menjadi tersangka korupsi karena biaya politik yang mahal, sehingga ada menteri yang mendapatkan tugas dari partai untuk mencari dana, ditambah dengan karakter politisi lebih berani mengambil risiko.

Wijayanto mengusulkan nomenklatur kabinet yang inti terdiri dari urusan manusia, urusan kawasan dan infrastruktur, urusan ekonomi, serta urusan hukum dan politik. 

Anggota kabinet, menurutnya perlu diisi oleh sosok yang memiliki kredibilitas dan integritas, guna meminimalisir unsur nepotisme dalam pemilihan menteri.

Prabowo sebaiknya meminimalkan perubahan jumlah kementerian yang drastis. Idealnya 30-34 menteri dengan orientasi pada efektifitas dan efisiensi, unsur partai dan non-partai tidak terlalu berpengaruh tetapi perlu diantisipasi fakta bahwa sosok patai lebih rentan terlibat dalam korupsi. 

Selain itu, untuk pembentukan badan penerimaan negara, perlu dilakukan secara terencana dan hati-hati idealnya direalisasikan pada pertengahan masa jabatan.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 12 Juli 2024

Ketika Prabowo Ketiban Utang Jumbo dari Jokowi

Dalam menyusun kabinet, Prabowo diminta jangan sampai salah pilih menteri, terutama untuk menteri yang mengurusi keuangan dan ekonomi

Ilustrasi utang Jokowi/Theindonesian.id

Context.id, JAKARTA- Prabowo Subianto mendapatkan warisan utang yang besar dari era kepemimpinan Joko Widodo.

Pengamat ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, jika diibaratkan, ketika menjadi presiden, Joko Widodo mendapatkan warisan mobil dengan kondisi baik. Namun kondisi sebaliknya diberikannya kepada Prabowo Subianto. 

“Artinya ketika menjabat, Pak Jokowi menerima kondisi fiskal yang solid. Namun Pak Prabowo ketika menjabat, menerima kondisi yang sulit,” ucapnya dalam diskusi bertajuk Dilema Kabinet Prabowo Dalam Bingkai Besar Koalisi yang digelar Universitas Paramadina, Kamis (12/7/2024).

Hal ini cukup beralasan. Dia memaparkan, saat peralihan pemerintahan, dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo, tercatat utang pemerintahan sebesar Rp2.608,7 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 24,7%.

Sementara ketika pemerintahan beralih ke Prabowo kelak, jumlah utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.353,02 triliun. Rasio utang tersebut sebesar 38,71% terhadap PDB. Hampir 90% utang ini dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).

Menurutnya, ada empat krisis yang akan dihadapi oleh Prabowo ketika memegang tampuk kekuasaan yaitu krisis fiskal, industri, lapangan kerja dan nilai tukar rupiah. Hal-hal ini, tuturnya merupakan persoalan krusial tetapi sering diabaikan.

Adapun terkait ukuran kabinet mendatang di era Prabowo, dia mengutip data dari Universitas  Oxford. Data itu menyatakan, pemerintahan yang efektif ada kaitannya dengan jumlah menteri yang dimiliki tiap negara.

“Semakin banyaknya menteri makin tidak efektif pemerintahan tersebut. Indonesia menempati 10 persen terbanyak jumlah menteri dalam pemerintahan,” jelasnya.

Dalam pemilihan menteri pun menurut Wijayanto, Prabowo tidak boleh gegabah menempatkan kader partai politik pendukungnya.

Pasalnya, selama orde reformasi dari 15 tersangka korupsi, sebanyak 11 orang tersangka merupakan menteri berlatar belakang partai politik.

Banyaknya jumlah menteri dari latar belakang partai politik yang menjadi tersangka korupsi karena biaya politik yang mahal, sehingga ada menteri yang mendapatkan tugas dari partai untuk mencari dana, ditambah dengan karakter politisi lebih berani mengambil risiko.

Wijayanto mengusulkan nomenklatur kabinet yang inti terdiri dari urusan manusia, urusan kawasan dan infrastruktur, urusan ekonomi, serta urusan hukum dan politik. 

Anggota kabinet, menurutnya perlu diisi oleh sosok yang memiliki kredibilitas dan integritas, guna meminimalisir unsur nepotisme dalam pemilihan menteri.

Prabowo sebaiknya meminimalkan perubahan jumlah kementerian yang drastis. Idealnya 30-34 menteri dengan orientasi pada efektifitas dan efisiensi, unsur partai dan non-partai tidak terlalu berpengaruh tetapi perlu diantisipasi fakta bahwa sosok patai lebih rentan terlibat dalam korupsi. 

Selain itu, untuk pembentukan badan penerimaan negara, perlu dilakukan secara terencana dan hati-hati idealnya direalisasikan pada pertengahan masa jabatan.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025