Sejarah Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN))
Aturan mengenai kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999
Context.id, JAKARTA - Ramai obrolan tentang harta kekayaan Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani yang mengalami peningkatan signfikan.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Askolani punya harta kekayaan Rp51,87 miliar pada 2022. Artinya, harta dia naik Rp8,6 miliar dari 2021 yang senilai Rp43,26 miliar.
Peningkatan harta yang cukup signifikan terlihat pada bertambahnya nilai surat berharga yang dimilikinya usai satu tahun menjabat sebagai Dirjen.
Hal ini bisa dilihat pada 2021, Askolani tercatat memiliki Rp8,88 miliar surat berharga, sementara pada 2022 naik menjadi Rp19,53 miliar.
Adapun LHKPN dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aturan mengenai kewajiban penyelenggara negara melaporkan kekayaannya diatur Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Selain itu ada juga UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Sebelum dibentuknya KPK, penanganan pelaporan kewajiban LHKPN dilaksanakan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Namun setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, maka KPKPN dibubarkan dan menjadi bagian dari bidang pencegahan KPK.
Berdasarkan ketentuan, penyelenggara negara berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat, melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun.
Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah pejabat negara pada lembaga tertinggi dan tertinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara juga wajib melaporkan kekayaannya.
Beberapa jabatan yang masuk dalam kategori penyelenggara negara adalah direksi, komisaris dan pejabat struktural lainnya sesuai pada BUMN dan BUMD, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan perguruan tinggi negeri, pejabat eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan kepolisian dan kejaksaan, penyidik, serta panitera.
Jika lalai melaporkan LHKPN, maka penyelenggara negara akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait LHKPN ini, banyak pejabat yang tidak melaporkan dengan benar dan jujur. Hal itu terungkap saat para pejabat yang bersangkutan tersangkut kasus hukum seperti misalnya Rafael Alun pejabat di Ditjen Pajak, Eko Darmanto mantan pejabat Bea Cukai Yogyakarta dan lainnya.
RELATED ARTICLES
Sejarah Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN))
Aturan mengenai kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999
Context.id, JAKARTA - Ramai obrolan tentang harta kekayaan Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani yang mengalami peningkatan signfikan.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Askolani punya harta kekayaan Rp51,87 miliar pada 2022. Artinya, harta dia naik Rp8,6 miliar dari 2021 yang senilai Rp43,26 miliar.
Peningkatan harta yang cukup signifikan terlihat pada bertambahnya nilai surat berharga yang dimilikinya usai satu tahun menjabat sebagai Dirjen.
Hal ini bisa dilihat pada 2021, Askolani tercatat memiliki Rp8,88 miliar surat berharga, sementara pada 2022 naik menjadi Rp19,53 miliar.
Adapun LHKPN dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aturan mengenai kewajiban penyelenggara negara melaporkan kekayaannya diatur Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Selain itu ada juga UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Sebelum dibentuknya KPK, penanganan pelaporan kewajiban LHKPN dilaksanakan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Namun setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, maka KPKPN dibubarkan dan menjadi bagian dari bidang pencegahan KPK.
Berdasarkan ketentuan, penyelenggara negara berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat, melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun.
Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah pejabat negara pada lembaga tertinggi dan tertinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara juga wajib melaporkan kekayaannya.
Beberapa jabatan yang masuk dalam kategori penyelenggara negara adalah direksi, komisaris dan pejabat struktural lainnya sesuai pada BUMN dan BUMD, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan perguruan tinggi negeri, pejabat eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan kepolisian dan kejaksaan, penyidik, serta panitera.
Jika lalai melaporkan LHKPN, maka penyelenggara negara akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait LHKPN ini, banyak pejabat yang tidak melaporkan dengan benar dan jujur. Hal itu terungkap saat para pejabat yang bersangkutan tersangkut kasus hukum seperti misalnya Rafael Alun pejabat di Ditjen Pajak, Eko Darmanto mantan pejabat Bea Cukai Yogyakarta dan lainnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES