Stories - 20 March 2024

Undang-Undang Keamanan Baru, Hong Kong Mulai Diatur China?

Parlemen Hong Kong secara mengejutkan telah mengesahkan Undang-undang Keamanan Nasional baru atas seruan China


Hong Kong Mulai Diatur China - Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Pada Selasa (20/3) Parlemen Hong Kong secara mengejutkan telah mengesahkan Undang-undang Keamanan Nasional baru atas seruan China.

Melansir VoA, RUU ini disahkan dengan perolehan suara sebesar 90 banding 0 oleh Majelis dengan periode kurang dari dua minggu setelah rancangan tersebut diajukan oleh Badan Legislatif sebagaimana disyaratkan dalam Undang-undang Dasar Hong Kong.

“Ini adalah momen bersejarah bagi Hong Kong dan perjanjian tersebut akan menjaga kota tersebut aman dari potensi sabotase dan arus tersembunyi yang mencoba menciptakan masalah.” ucap Kepala Eksekutif Hong Kong John Lee, seperti dikutip, Rabu, (20/3).

Undang-Undang ini akan menyasar pada permasalahan seperti pemberontakan, makar, pencurian rahasia negara, pengaruh asing, dan sabotase yang dapat membahayakan keamanan nasional.

“Memungkinkan Hong Kong untuk secara efektif mencegah dan menghentikan kegiatan spionase, konspirasi dan jebakan unit intelijen serta infiltrasi dan perusakan pasukan musuh.” tutur Lee, seperti dikutip, Rabu, (20/3).

Kendati demikian, pengesahan UU ini mendapatkan kecaman dari para kritikus karena dapat memberikan pukulan terhadap otonomi parsial yang telah dijanjikan oleh Beijing.

Pasalnya, UU baru ini dikabarkan akan memberikan lebih banyak wewenang kepada pemerintahan Hong Kong untuk menindak para oposisi Beijing dan mempersulit perusahaan untuk beroperasi di pusat keuangan Asia ini.

Para pengamat juga mengatakan jika UU yang berlaku pada 23 Maret mendatang ini akan memberikan dampak negatif bagi banyak orang dan kelompok pekerja lainnya terutama pekerjaan yang berkaitan dengan dokumen dan informasi rahasia lainnya.

Tak hanya para pengamat, Komisaris Tinggi PBB Divisi HAM Volker Turk juga mengkritik kecepatan pengesahan RUU tersebut dan sangat ambigu.

“Ambiguitas ini sangat meresahkan, mengingat potensi penyalahgunaan dan penerapan sewenang-wenang, termasuk untuk menargetkan suara-suara berbeda pendapat, jurnalis, peneliti, aktor masyarakat sipil, dan pembela hak asasi manusia,” katanya.

Direktur Eksekutif Pusat Hukum Asia Universitas Georgetown Thomas E. Kellogg juga mengungkapkan jika memberikan kekuasaan kepada kepala eksekutif untuk memperluas undang-undang tersebut lebih jauh lagi akan berpotensi disalahgunakan.

“Hong Kong, yang beberapa tahun lalu dikenal karena oposisi politiknya yang riuh, kini lebih mirip dengan Tiongkok daratan, di mana perbedaan pendapat bisa menimbulkan dampak yang besar.” kata Profesor Kellogg.

Menurutnya, Hong Kong saat ini tampaknya mencari cara untuk menunjukkan kesetiaan mereka terhadap agenda keamanan nasional pemerintah China. 

Penulis: Candra Soemirat 


Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

MORE  STORIES

Ada Asteroid Raksasa Mendekat, Bakal Nabrak Bumi?

Asteroid berukuran dewasa akan mendekati bumi pada 18 September 2024.

Naufal Jauhar Nazhif | 13-09-2024

India, Nigeria dan Indonesia Penyumbang Sampah Plastik Terbesar Dunia

Indonesia disebut sebagai salah satu dari tiga negara penyumbang polusi plastik terbesar di dunia.

Fahri N. Muharom | 13-09-2024

Paus Berikan Peringatan tentang Penggunaan AI

Paus Fransiskus mengeluarkan peringatan tentang kecerdasan buatan (AI) saat bertemu dengan para pemimpin G7 dan saat berkunjung ke Singapura.

Context.id | 13-09-2024

Uni Eropa Kalah Ekonomi juga Teknologi dari AS dan China

Kejayaan Eropa mulai memudar. China menyalipnya dan Amerika meninggalkannya

Context.id | 12-09-2024