Presiden Mau Memihak sementara ASN Diminta Netral
DPR didesak ajukan interpelasi terkait pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa dia boleh berpihak dalam rangkaian pemilu.
Context.id, JAKARTA- DPR didesak ajukan interpelasi terkait pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa dia boleh berpihak dalam rangkaian pemilu.
Interpelasi adalah hak yang dimiliki oleh DPR untuk meminta penjelasan, mengajukan pertanyaan dan melakukan kritik atas suatu masalah, kebijakan atau tindakan Pemerintah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dia diperbolehkan memihak selama masa kampanye pemilihan umum tahun ini.
Menanggapi hal itu, para pembelajar dan pegiat hukum tata dan adminsitrasi negara yang Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menilai pernyataan ini bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya yang menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral.
“Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum,” ujar mereka dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (25/1/2024).
Menurut mereka, tidak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden. Padahal harus disadari, seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu berasaskan langsung umum bebas rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
Bila kemudian para pejabat negara aktif berkampanye, menurut mereka bisa mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal.
Pertama, fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat. Selain itu, pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih.
Keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi terstruktur, sistematis, dan masif seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Perlu dibedakan antara berpolitik dan berkampanye. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Kita bisa berdebat pada bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu, namun UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu luber jurdil, dengan penekanan pada aspek keadilan," tulis CALS.
Bagi CALS, UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik.
Sedangkan nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta cawe-cawe politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.
"Karena itu, pasal-pasal itu memang belum mengantisipasi situasi presiden yang ingin berkampanye untuk kepentingan anaknya,” ulas mereka.
Menurut CALS, pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Mestinya, sebagai presiden, Jokowi harus membiarkan semua berproses sesuai aturan main yang ada, tanpa perlu membuat pernyataan yang membenarkan perilaku yang melanggar etik dan hukum.
Biarkan lembaga-lembaga yang berwenang menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang, presiden tidak patut membuatkan justifikasi apapun, termasuk bagi dirinya sendiri.
“Kita harus ingat, kepatutan atau perbuatan yang tercela yang dilakukan oleh presiden berbeda dengan yang dilakukan oleh warga negara biasa, presiden dan semua pejabat negara harus diletakkan dalam konteks jabatannya," masih dalam keterangan itu.
Oleh karena itu, bagi CALS sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi tidak sesuai dengan tujuan pendidikan politik yang bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (2) UU Pemilu.
Untuk itu, CALS mendesak agar Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kepala negara boleh berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya, dengan mengingat kapasitas jabatannya sebagai presiden.
“Presiden Jokowi kami desak untuk menghentikan semua tindakan jabatan dirinya maupun menteri-menterinya, yang telah dilakukan selama ini yang berdampak menguntungkan pasangan calon presiden dan Bawaslu menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat terstruktur sistematif dan masi untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum,” kata mereka.
Mahkamah Konstitusi juga diminta mulai melakukan telaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti, dalam kaitannya dengan kecurangan yang terstrruktur dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan dan kebijakan dan anggaran yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini.
DPR juga didesak mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024.
“Kami desak Seluruh penyelenggara negara, presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik. Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hati ini,” seperti tertulis dari pernyataan yang diwakilkan oleh Bivitri Susanti, Yance Arizona dan Beni Kurnia Illahi itu.
RELATED ARTICLES
Presiden Mau Memihak sementara ASN Diminta Netral
DPR didesak ajukan interpelasi terkait pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa dia boleh berpihak dalam rangkaian pemilu.
Context.id, JAKARTA- DPR didesak ajukan interpelasi terkait pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa dia boleh berpihak dalam rangkaian pemilu.
Interpelasi adalah hak yang dimiliki oleh DPR untuk meminta penjelasan, mengajukan pertanyaan dan melakukan kritik atas suatu masalah, kebijakan atau tindakan Pemerintah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dia diperbolehkan memihak selama masa kampanye pemilihan umum tahun ini.
Menanggapi hal itu, para pembelajar dan pegiat hukum tata dan adminsitrasi negara yang Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menilai pernyataan ini bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya yang menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral.
“Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum,” ujar mereka dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (25/1/2024).
Menurut mereka, tidak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden. Padahal harus disadari, seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu berasaskan langsung umum bebas rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
Bila kemudian para pejabat negara aktif berkampanye, menurut mereka bisa mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal.
Pertama, fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat. Selain itu, pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih.
Keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi terstruktur, sistematis, dan masif seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Perlu dibedakan antara berpolitik dan berkampanye. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Kita bisa berdebat pada bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu, namun UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu luber jurdil, dengan penekanan pada aspek keadilan," tulis CALS.
Bagi CALS, UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik.
Sedangkan nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta cawe-cawe politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.
"Karena itu, pasal-pasal itu memang belum mengantisipasi situasi presiden yang ingin berkampanye untuk kepentingan anaknya,” ulas mereka.
Menurut CALS, pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Mestinya, sebagai presiden, Jokowi harus membiarkan semua berproses sesuai aturan main yang ada, tanpa perlu membuat pernyataan yang membenarkan perilaku yang melanggar etik dan hukum.
Biarkan lembaga-lembaga yang berwenang menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang, presiden tidak patut membuatkan justifikasi apapun, termasuk bagi dirinya sendiri.
“Kita harus ingat, kepatutan atau perbuatan yang tercela yang dilakukan oleh presiden berbeda dengan yang dilakukan oleh warga negara biasa, presiden dan semua pejabat negara harus diletakkan dalam konteks jabatannya," masih dalam keterangan itu.
Oleh karena itu, bagi CALS sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi tidak sesuai dengan tujuan pendidikan politik yang bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (2) UU Pemilu.
Untuk itu, CALS mendesak agar Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kepala negara boleh berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya, dengan mengingat kapasitas jabatannya sebagai presiden.
“Presiden Jokowi kami desak untuk menghentikan semua tindakan jabatan dirinya maupun menteri-menterinya, yang telah dilakukan selama ini yang berdampak menguntungkan pasangan calon presiden dan Bawaslu menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat terstruktur sistematif dan masi untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum,” kata mereka.
Mahkamah Konstitusi juga diminta mulai melakukan telaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti, dalam kaitannya dengan kecurangan yang terstrruktur dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan dan kebijakan dan anggaran yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini.
DPR juga didesak mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024.
“Kami desak Seluruh penyelenggara negara, presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik. Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hati ini,” seperti tertulis dari pernyataan yang diwakilkan oleh Bivitri Susanti, Yance Arizona dan Beni Kurnia Illahi itu.
POPULAR
RELATED ARTICLES