Ini Kunci Menekan Kasus Kekerasan Terhadap Anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menilai pembenahan kesenjangan regulasi dengan penerapan di lapangan menjadi kunci menekan kasus kekerasan terhadap anak.
Context.id, JAKARTA- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, pembenahan kesenjangan regulasi dengan penerapannya di lapangan dapat menjadi kunci untuk menekan kasus kekerasan terhadap anak.
Hal tersebut perlu dibenahi sehingga regulasi yang sudah komprehensif serta penerapan penanganan di lapangan dapat terintegrasi.
Pandangan itu dikemukakan oleh Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dalam diskusi bertajuk “Negara Hadir Atasi Darurat Kekerasan Anak, Senin (13/11/2023).
Ai menyebutkan bahwa sejumlah regulasi yang berkaitan dengan perlindungan anak sebetulnya sudah cukup komprehensif.
Hal tersebut bisa untuk menciptakan ekosistem yang kondusif menekan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak.
Menurutnya, setidaknya dalam 5 tahun terakhir, pemerintah menerbitkan sejumlah aturan, salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak.
“Namun, KPAI melihat ada gap, mulai upaya dalam regulasi dan aksesibilitasnya ini. Seperti lebih menguatkan sentra-sentra rehabilitasi. Mau tidak mau negara harus hadir,” paparnya.
Data KPAI menunjukkan bahwa pengaduan kasus perlindungan anak sepanjang Januari – September 2023 mencapai 1.800 kasus, terkait Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA).
Adapun sepanjang 2022, pihaknya mencatat sebanyak 2.133 kasus kekerasan terhadap anak, dengan kategori tertinggi berkaitan dengan kejahatan seksual, termasuk kekerasan fisik juga psikologis, serta kasus pornografi dan kejahatan siber.
“Bentuknya eskalatif, artinya tingkatannya dari yang ringan, sedang, hingga pada situasi yang kita tidak pernah terpikir. Angka tertinggi kekerasan seksual. Lalu fisik juga luar biasa tingginya. Memang ada penurunan, terutama pada 2019 sebelum Covid. Setelah Covid, era digital, kembali naik,” katanya.
Menurut Ai, beberapa penyebab anak menjadi korban kekerasan, baik fisik dan atau psikis, salah satunya pengaruh negatif perkembangan teknologi dan informasi, permitivitas lingkungan sosial budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan, tingginya angka pengangguran, serta kondisi lingkungan yang tidak ramah anak.
“Dengan angka yang masih tinggi ini, perhatian kita semua, khususnya pemerintah, memang harus lebih ditingkatkan kembali. Termasuk ke daerah-daerah luar yang tidak memiliki akses terdekat ke pengaduan maupun rehabilitasi,” tuturnya.
RELATED ARTICLES
Ini Kunci Menekan Kasus Kekerasan Terhadap Anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menilai pembenahan kesenjangan regulasi dengan penerapan di lapangan menjadi kunci menekan kasus kekerasan terhadap anak.
Context.id, JAKARTA- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, pembenahan kesenjangan regulasi dengan penerapannya di lapangan dapat menjadi kunci untuk menekan kasus kekerasan terhadap anak.
Hal tersebut perlu dibenahi sehingga regulasi yang sudah komprehensif serta penerapan penanganan di lapangan dapat terintegrasi.
Pandangan itu dikemukakan oleh Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dalam diskusi bertajuk “Negara Hadir Atasi Darurat Kekerasan Anak, Senin (13/11/2023).
Ai menyebutkan bahwa sejumlah regulasi yang berkaitan dengan perlindungan anak sebetulnya sudah cukup komprehensif.
Hal tersebut bisa untuk menciptakan ekosistem yang kondusif menekan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak.
Menurutnya, setidaknya dalam 5 tahun terakhir, pemerintah menerbitkan sejumlah aturan, salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak.
“Namun, KPAI melihat ada gap, mulai upaya dalam regulasi dan aksesibilitasnya ini. Seperti lebih menguatkan sentra-sentra rehabilitasi. Mau tidak mau negara harus hadir,” paparnya.
Data KPAI menunjukkan bahwa pengaduan kasus perlindungan anak sepanjang Januari – September 2023 mencapai 1.800 kasus, terkait Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA).
Adapun sepanjang 2022, pihaknya mencatat sebanyak 2.133 kasus kekerasan terhadap anak, dengan kategori tertinggi berkaitan dengan kejahatan seksual, termasuk kekerasan fisik juga psikologis, serta kasus pornografi dan kejahatan siber.
“Bentuknya eskalatif, artinya tingkatannya dari yang ringan, sedang, hingga pada situasi yang kita tidak pernah terpikir. Angka tertinggi kekerasan seksual. Lalu fisik juga luar biasa tingginya. Memang ada penurunan, terutama pada 2019 sebelum Covid. Setelah Covid, era digital, kembali naik,” katanya.
Menurut Ai, beberapa penyebab anak menjadi korban kekerasan, baik fisik dan atau psikis, salah satunya pengaruh negatif perkembangan teknologi dan informasi, permitivitas lingkungan sosial budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan, tingginya angka pengangguran, serta kondisi lingkungan yang tidak ramah anak.
“Dengan angka yang masih tinggi ini, perhatian kita semua, khususnya pemerintah, memang harus lebih ditingkatkan kembali. Termasuk ke daerah-daerah luar yang tidak memiliki akses terdekat ke pengaduan maupun rehabilitasi,” tuturnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES