Stories - 21 September 2023

Polemik Utang Pemerintah ke BUMN

Pemerintah diminta untuk segera membayarkan utang atau tanggungannya kepada BUMN agar tidak mengganggu kinerja perusahaan pelat merah tersebut


Menteri BUMN Erick Thohir didampingi Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wiroatmojo mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta Bisnis/Arief Hermawan

Context.id, JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendorong agar pemerintah lebih cepat membayar utang ke BUMN. Hal itu agar tidak menjadi beban bagi perusahaan pelat merah untuk menjalankan bisnisnya. 

Hal itu dikatakan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo atau Tiko usai rapat kerja dengan Komisi VI DPR membahas utang pemerintah. Rapat ini sendiri digelar secara tertutup.

Tiko menjelaskan, pihaknya rutin melaporkan kepada Komisi VI mengenai penugasan pemerintah kepada BUMN. Persoalannya, banyak penugasan pemerintah kepada BUMN seringkai kasbon alias utang.  

"Kedatangan ini untuk melaporkan seluruh penugasan dan memang setiap tahun selalu ada outstanding daripada penagihan. Intinya kami mendorong untuk ada percepatan pembayaran dan juga ada regulasi ke depan yang lebih jelas sehingga penugasan ini semua didasari dengan anggaran fiskal yang memadai," katanya di DPR Jakarta, Rabu (20/9/2023).

Dia mengatakan, jika pembayaran lambat maka akan memberikan tekanan pada cash flow atau arus kas perusahaan pelat merah. Imbasnya BUMN harus berutang untuk menunggu pembayaran tersebut.

“Ini bisa menjadi tidak efisien karena ada tambahan biaya bunga. Jadi, sebisa mungkin ke depannya kita kurangi, supaya tidak ada biaya bunga untuk hanya membridging sebelum pembayaran itu," ujarnya.

Masalah penugasan pemerintah ke BUMN ini nantinya juga bakal diatur dalam Rancangan Undang-Undang BUMN yang kini tengah dibahas.

"Kementerian sedang mendiskusikan draft RUU BUMN bersama Komisi VI dan Baleg, memang kita usulkan ke depan semua penugasan ini dari kementerian teknis diatur sebelum APBN. Jadi antara menteri teknis, menteri keuangan dan menteri BUMN," katanya.

Seperti misalnya penugasan energi, Menteri ESDM, Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN sepakat dulu, apakah untuk solar, untuk LPG, untuk Pertalite dan berapa juta kilo liter serta berapa anggarannya untuk masuk dalam APBN. 

Jika sudah seperti itu, nantinya akan jelas mulai dari penugasannya, sumber pendanaan dari fiskal tersedia atau tidak dan berapa besar anggarannya. 

Rapat tertutup ini sendiri diikuti banyak BUMN. Selain Wamen ada juga Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero), Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Direktur Utama PT Adhi Karya (Persero) Tbk, Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Tbk. 

Selain itu turut hadir juga Direktur Utama PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, Direktur Utama PT Brantas Abipraya (Persero), Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk dan Direktur Utama PT Nindya Karya (Persero).

Wakil Ketua Komisi VI Mohamad Hekal bertindak sebagai pemimpin dalam rapat ini. Dia mengatakan, rapat ini dihadiri oleh 22 anggota dari 7 fraksi sehingga kuorum telah terpenuhi.

PLN Vs Kementerian Keuangan

Sebelumnya Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menyatakan pemerintah masih memiliki utang kepada perusahaannya senilai Rp60,6 triliun.

Utang tersebut terdiri dari sisa pembayaran subsidi listrik 2022, subsidi listrik hingga Agustus 2023, dan kompensasi listrik non subsidi hingga Agustus 2023.

"Kekurangan pembayaran ke PLN totalnya adalah Rp60,66 triliun," kata Darmawan dalam rapat kerja dengan Komisi VI, Rabu (20/9).

 Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo sedang memantau layar terkait dengan sebaran jaringan listrik di wilayah Pulau Bali

Rinciannya, subsidi listrik di 2022 senilai Rp58,83 triliun, sementara pembayarannya baru dilakukan senilai Rp54,15 triliun. Artinya masih ada sisa utang pemerintah untuk subsidi yang belum terbayar senilai Rp4,67 triliun.

Kemudian subsidi listrik sampai dengan Agustus 2023 mencapai Rp43,32 triliun, realisasi pembayaran yang dilakukan pemerintah baru Rp37,2 triliun. Maka ada kekurangan pembayaran sebesar Rp5,82 triliun.

Utang pemerintah ke PLN paling banyak adalah untuk urusan kompensasi listrik non subsidi sampai dengan Agustus 2023. Jumlahnya mencapai Rp50,16 triliun dan belum terbayar sama sekali.

Dalam paparan Darmawan, terlihat proses penagihan terkini yang dilakukan PLN. Untuk subsidi listrik tahun 2023 hingga Agustus dengan jumlah terutang Rp5,82 triliun, estimasinya di akhir September ini PLN bakal kembali mendapatkan bayaran senilai Rp5,53 triliun.

Kemudian untuk kekurangan pembayaran subsidi listrik 2023 akan ada lagi pembayaran sebesar Rp 289,4 miliar, namun masih dalam proses verifikasi.

Sementara itu untuk utang kompensasi listrik senilai Rp50,16 triliun, akan ada pembayaran juga dari pemerintah di September ini senilai Rp18,39 triliun. Pembayaran dilakukan untuk kompensasi listrik pada triwulan I.

Lebih lanjut, untuk pembayaran kompensasi listrik di triwulan II dengan nilai sebesar Rp19,34 triliun, masih dalam proses riviu. Laporan hasil riviu (LHR) dari Itjen Kemenkeu sedang diproses penerbitannya.

Terakhir, untuk kompensasi listrik bulan Juli hingga Agustus 2023 masih dalam proses perhitungan asersi kompensasi dengan nilai sebesar Rp12,43 triliun.

Terkait dengan pernyataan Dirut PLN yang membuat publik ramai, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa mekanisme pembayaran subsidi dan kompensasi listrik telah disepakati. Pemerintah mengaku akan mengacu pada hal itu.

"Kan ada mekanisme untuk pembayaran subsidi kompensasi yang sudah disepakati," kata Sri Mulyani saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (21/9/2023).

Sementara itu, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mempertanyakan utang yang dimaksud PLN tersebut.

Ia mengatakan pembayaran subsidi dan kompensasi listrik di 2023 tidak bisa disebut utang karena masih berjalan dan harus melalui proses audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sementara kewajiban pembayaran subsidi dan kompensasi listrik di 2022, Isa mengaku telah membayarkannya, termasuk kepada PT Pertamina (Persero) terkait subsidi dan kompensasi BBM dan LPG.

"Kita itu ya PLN, Pertamina sampai 2022 sudah kita bayar. Kalau 2023 kan sedang berjalan, itu nggak bisa disebut utang. Kita tunggu dulu auditnya BPK. Ya setelah audit dong," ujar Isa yang juga berada di DPR


Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

MORE  STORIES

Perebutan Likuiditas di Indonesia, Apa Itu?

Likuditas adalah kemampuan entitas dalam memenuhi kewajiban finansialnya yang akan jatuh tempo

Noviarizal Fernandez | 26-07-2024

Suku Inuit di Alaska, Tetap Sehat Walau Tak Makan Sayur

Suku Inuit tetap sehat karena memakan banyak organ daging mentah yang mempunyai kandungan vitamin C, nutrisi, dan lemak jenuh tinggi

Context.id | 26-07-2024

Dampingi Korban Kekerasan Seksual Malah Terjerat UU ITE

Penyidik dianggap tidak memperhatikan dan berupaya mencari fakta-fakta yang akurat berkaitan dengan kasus kekerasan seksual

Noviarizal Fernandez | 26-07-2024

Ini Aturan Penggunaan Bahan Pengawet Makanan

Pengawet makanan dari bahan kimia boleh digunakan dengan batas kadar yang sudah ditentukan BPOM

Noviarizal Fernandez | 25-07-2024