Ketika Sampah Low Value Kian Dilirik
Komoditas sampah yang disebut low value kian dilirik dalam koridor ekonomi sirkular.
Context.id,JAKARTA- Komoditas sampah yang disebut low value kian dilirik dalam koridor ekonomi sirkular.
Amelia Maran, Wakil Ketua Indonesia Plastics Recyclers (IPR) mengungkapkan bahwa komoditas sampah yang kerap disebut low value biasanya diasosiasikan dengan kantung kresek. Padahal, di luar jenis itu, masih banyak plastik bisa dikategorikan sebagai low value.
“Sampah low value itu kemasan sekali pakai seperti sachet dan sebagainya. Kalau kantung kresek itu sebenarnya tidak langsung sekali pakai karena sering digunakan kembali sebagai wadah barang lain,” ujarnya dalam diskusi bertjauk ‘Kontribusi Industri Daur Ulang terhadap Plastik Low Value’ Senin (26/6/2023).
Dia melanjutkan, saat ini sampah yang tergolong low value semacam itu mulai dilirik oleh para pelaku ekonomi sirkular karena bisa didaur ulang menjadi berbagai produk turunan semisal bahan pencampuran pada aspal, bahan bakar minyak alternatif, serta bisa juga menjadi bahan bangunan.
Hal ini sekaligus mematahkan klaim sebagian pihak yang mengkambinghitamkan sampah low value sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Padahal, tuturnya, penyebab kerusakan lingkungan akibat sampah adalah karena ketiadaan sistem pengelolaan sampah yang baik.
“Di Batam, ada mushola yang dibangun menggunakan bahan campuran dari plastik low value dan rencananya akan diresmikan bulan depan [Juli]. Ini menanadakan sampah plastik daur ulang jenis low value memiliki nilai yang besar,” tambahnya.
Adapun, bisnis pengolahan sampah ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena membutuhkan sumber daya yang besar baik tenaga kerja maupun modal dan memiliki nilai investasi yang bervariasi tergantung rantai pasok mana dalam sistem ekonomi sirkular.
Sebagai contoh, jika masuk dalam rantai pelapak, tentunya harus memiliki lahan dan rumah bedeng untuk menimbun berbagai produk daur ulang yang diperoleh dari pemulung.
Jika masuk pada tataran penggiling, maka biasanya pelaku usaha sudah berbadan hukum dan punya investasi yang lebih riil lagi misalkan menguasai areal seluas 500 m2 serta mesin penggiling yang harganya bervariasi.
Untuk mesin penggiling sederhana saja, nilai investasinya sudah mencapai lebih dari Rp100 juta, belum termasuk operasional seperti pembayaran gaji pekerja.
“Kalau sudah masuk level industri di mana sudah mengubah plastik setengah jadi menjadi produk jadi maka nilai investasinya sudah miliaran. Harga mesinnya saja bisa Rp5-10 miliar,” terangnya.
Senada dengan Amelia, Pris Polly, Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) mengungkapkan bahwa sampah yang tergolong low value saat ini terus dilirik oleh para pemulung.
Pasalnya, terjadi penurunan harga pada produk-produk plastik yang sebelumnya sering dikumpulkan oleh para pemulung. Hal ini ini diperparah dengan importasi limbah yang kian menekan harga plastik daur ulang.
“Karena itu yang menjadi penyelamat adalah plastik daur ulang low value karena mudah diperoleh dan mudah pula diolah,” tuturnya.
Menurutnya, saat ini para pemulung di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) misalkan di Bantargebang, Kota Bekasi, lebih sering mengumpulkan sampah low value karena mudah diperoleh di permukaan tumpukan sampah dan volumenya sangat besar.
Di TPS tersebut, dalam sehari para pemulung bisa mengumpulkan hingga 1.600 ton.
“Kalau pemulung yang bukan di TPS, mereka agak sulit mengumpulkan kantung kresek atau plastik low value lainnya karena volumenya kecil. Mereka lebih memilih plastik padat seperti kemasan pelumas dan lain sebagainya,” ucapnya.
Pembicara lainnya, Nicko Setyabudi, Circular Economy Senior Spesialist PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. mengungkapkan bahwa ada beberapa tantangan dalam melaksanakan ekonomi sirkular.
Tantangan itu misalkan dari sisi teknis, adanya limbah multi material sehingga menyulitkan proses pengolahan karena harus menjalani proses pemisahan material terlebih dahulu.
Tantangan lainnya dari sisi infrastruktur yakni masih minimnya sistem pengumpulan dan pemilahan sampah. Adapun dari sisi konsumen berupa kebiasaan buruk dalam membuang sampah tanpa dipilah dan tidak pada tempat yang semestinya.
Ada juga tantangan dari sisi regulasi misalkan kurangnya penegakan hukum,” tuturnya.
Sejauh ini Chandra Asri telah melakukan sejumlah terobosan dalam pengolahan limbah plastik low value misalkan digunakan sebagai bahan campuran aspal, atau produksi bahan bakar minyak yang juga bersumber dari limbah plastik.
RELATED ARTICLES
Ketika Sampah Low Value Kian Dilirik
Komoditas sampah yang disebut low value kian dilirik dalam koridor ekonomi sirkular.
Context.id,JAKARTA- Komoditas sampah yang disebut low value kian dilirik dalam koridor ekonomi sirkular.
Amelia Maran, Wakil Ketua Indonesia Plastics Recyclers (IPR) mengungkapkan bahwa komoditas sampah yang kerap disebut low value biasanya diasosiasikan dengan kantung kresek. Padahal, di luar jenis itu, masih banyak plastik bisa dikategorikan sebagai low value.
“Sampah low value itu kemasan sekali pakai seperti sachet dan sebagainya. Kalau kantung kresek itu sebenarnya tidak langsung sekali pakai karena sering digunakan kembali sebagai wadah barang lain,” ujarnya dalam diskusi bertjauk ‘Kontribusi Industri Daur Ulang terhadap Plastik Low Value’ Senin (26/6/2023).
Dia melanjutkan, saat ini sampah yang tergolong low value semacam itu mulai dilirik oleh para pelaku ekonomi sirkular karena bisa didaur ulang menjadi berbagai produk turunan semisal bahan pencampuran pada aspal, bahan bakar minyak alternatif, serta bisa juga menjadi bahan bangunan.
Hal ini sekaligus mematahkan klaim sebagian pihak yang mengkambinghitamkan sampah low value sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Padahal, tuturnya, penyebab kerusakan lingkungan akibat sampah adalah karena ketiadaan sistem pengelolaan sampah yang baik.
“Di Batam, ada mushola yang dibangun menggunakan bahan campuran dari plastik low value dan rencananya akan diresmikan bulan depan [Juli]. Ini menanadakan sampah plastik daur ulang jenis low value memiliki nilai yang besar,” tambahnya.
Adapun, bisnis pengolahan sampah ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena membutuhkan sumber daya yang besar baik tenaga kerja maupun modal dan memiliki nilai investasi yang bervariasi tergantung rantai pasok mana dalam sistem ekonomi sirkular.
Sebagai contoh, jika masuk dalam rantai pelapak, tentunya harus memiliki lahan dan rumah bedeng untuk menimbun berbagai produk daur ulang yang diperoleh dari pemulung.
Jika masuk pada tataran penggiling, maka biasanya pelaku usaha sudah berbadan hukum dan punya investasi yang lebih riil lagi misalkan menguasai areal seluas 500 m2 serta mesin penggiling yang harganya bervariasi.
Untuk mesin penggiling sederhana saja, nilai investasinya sudah mencapai lebih dari Rp100 juta, belum termasuk operasional seperti pembayaran gaji pekerja.
“Kalau sudah masuk level industri di mana sudah mengubah plastik setengah jadi menjadi produk jadi maka nilai investasinya sudah miliaran. Harga mesinnya saja bisa Rp5-10 miliar,” terangnya.
Senada dengan Amelia, Pris Polly, Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) mengungkapkan bahwa sampah yang tergolong low value saat ini terus dilirik oleh para pemulung.
Pasalnya, terjadi penurunan harga pada produk-produk plastik yang sebelumnya sering dikumpulkan oleh para pemulung. Hal ini ini diperparah dengan importasi limbah yang kian menekan harga plastik daur ulang.
“Karena itu yang menjadi penyelamat adalah plastik daur ulang low value karena mudah diperoleh dan mudah pula diolah,” tuturnya.
Menurutnya, saat ini para pemulung di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) misalkan di Bantargebang, Kota Bekasi, lebih sering mengumpulkan sampah low value karena mudah diperoleh di permukaan tumpukan sampah dan volumenya sangat besar.
Di TPS tersebut, dalam sehari para pemulung bisa mengumpulkan hingga 1.600 ton.
“Kalau pemulung yang bukan di TPS, mereka agak sulit mengumpulkan kantung kresek atau plastik low value lainnya karena volumenya kecil. Mereka lebih memilih plastik padat seperti kemasan pelumas dan lain sebagainya,” ucapnya.
Pembicara lainnya, Nicko Setyabudi, Circular Economy Senior Spesialist PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. mengungkapkan bahwa ada beberapa tantangan dalam melaksanakan ekonomi sirkular.
Tantangan itu misalkan dari sisi teknis, adanya limbah multi material sehingga menyulitkan proses pengolahan karena harus menjalani proses pemisahan material terlebih dahulu.
Tantangan lainnya dari sisi infrastruktur yakni masih minimnya sistem pengumpulan dan pemilahan sampah. Adapun dari sisi konsumen berupa kebiasaan buruk dalam membuang sampah tanpa dipilah dan tidak pada tempat yang semestinya.
Ada juga tantangan dari sisi regulasi misalkan kurangnya penegakan hukum,” tuturnya.
Sejauh ini Chandra Asri telah melakukan sejumlah terobosan dalam pengolahan limbah plastik low value misalkan digunakan sebagai bahan campuran aspal, atau produksi bahan bakar minyak yang juga bersumber dari limbah plastik.
POPULAR
RELATED ARTICLES