Satu Dekade Bergulir, Redenominasi Belum Terlaksana
Mengapa redenominasi rupiah belum kunjung terlaksana, padahal banyak dampak baik yang akan dihasilkan?
Context.id, JAKARTA - Isu redenominasi rupiah semakin menguat. Apalagi sebenarnya kajian mengenai redenominasi sudah dimulai sejak 2010.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahkan sudah mengeluarkan regulasi tentang rencana strategis penyederhanaan mata uang ini, di mana tenggatnya pada 2024. Namun, mengapa belum kunjung dilaksanakan ya?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa merubah nilai tukarnya.
Singkatnya, kalau saat ini uang Rp5.000 dapat untuk membeli sebotol air mineral, setelah redenominasi uang Rp5.000 akan menjadi Rp5 dan harga air mineral akan menjadi Rp5.
Dengan adanya redenominasi ini, transaksi dengan mata uang rupiah akan semakin sederhana dan efisien. Selain itu, hal ini akan membuat nilai rupiah “seakan” lebih berharga dibandingkan mata uang negara lainnya.
Soalnya, saat ini uang pecahan rupiah Rp100.000 merupakan uang pecahan ketiga terbesar di dunia, setelah Zimbabwe dan Vietnam.
Perlu diketahui bahwa redenominasi tentu berbeda dengan kebijakan sanering yang pernah terjadi pada 1950. Sanering adalah pemotongan nilai mata uang yang sedang beredar.
Pada 1950, uang rupiah diterbitkan di masing-masing provinsi sehingga uang menjadi terlalu banyak dan inflasi tak terkendali.
Maka dari itu, dilakukanlah sanering, yakni menurunkan nilai mata uang, tanpa menurunkan harga. Jadi pecahan Rp500 diturunkan menjadi Rp50, padahal harga barang masih tetap sama.
Kembali lagi ke redenominasi, mengapa ya hal ini belum terlaksana, padahal banyak dampak baik yang akan dihasilkan?
Mengutip Bisnis, redenominasi masih belum diterapkan karena menunggu situasi yang kondusif, baik di dalam negeri maupun global.
Selain itu, hal ini masih memiliki sejumlah kendala, khususnya di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Pasalnya, redenominasi ini bisa menyebabkan inflasi dan kebingungan.
“Bisa berdampak pada inflasi dan kebingungan khususnya pada masyarakat, khususnya yang berpendidikan menengah bawah,” ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics, Mohammad Faisal pada Bisnis.
Faisal mengatakan bahwa redonominasi juga tidak dapat terjadi pada situasi politik saat ini, mengingat tahun depan adalah tahun politik.
“Yang jelas, tidak di saat menjelang tahun politik seperti sekarang ya. Kami perlu menjaga stabilitas ekonomi dan politik menjelang pilpres,” ujar Faisal lagi.
RELATED ARTICLES
Satu Dekade Bergulir, Redenominasi Belum Terlaksana
Mengapa redenominasi rupiah belum kunjung terlaksana, padahal banyak dampak baik yang akan dihasilkan?
Context.id, JAKARTA - Isu redenominasi rupiah semakin menguat. Apalagi sebenarnya kajian mengenai redenominasi sudah dimulai sejak 2010.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahkan sudah mengeluarkan regulasi tentang rencana strategis penyederhanaan mata uang ini, di mana tenggatnya pada 2024. Namun, mengapa belum kunjung dilaksanakan ya?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa merubah nilai tukarnya.
Singkatnya, kalau saat ini uang Rp5.000 dapat untuk membeli sebotol air mineral, setelah redenominasi uang Rp5.000 akan menjadi Rp5 dan harga air mineral akan menjadi Rp5.
Dengan adanya redenominasi ini, transaksi dengan mata uang rupiah akan semakin sederhana dan efisien. Selain itu, hal ini akan membuat nilai rupiah “seakan” lebih berharga dibandingkan mata uang negara lainnya.
Soalnya, saat ini uang pecahan rupiah Rp100.000 merupakan uang pecahan ketiga terbesar di dunia, setelah Zimbabwe dan Vietnam.
Perlu diketahui bahwa redenominasi tentu berbeda dengan kebijakan sanering yang pernah terjadi pada 1950. Sanering adalah pemotongan nilai mata uang yang sedang beredar.
Pada 1950, uang rupiah diterbitkan di masing-masing provinsi sehingga uang menjadi terlalu banyak dan inflasi tak terkendali.
Maka dari itu, dilakukanlah sanering, yakni menurunkan nilai mata uang, tanpa menurunkan harga. Jadi pecahan Rp500 diturunkan menjadi Rp50, padahal harga barang masih tetap sama.
Kembali lagi ke redenominasi, mengapa ya hal ini belum terlaksana, padahal banyak dampak baik yang akan dihasilkan?
Mengutip Bisnis, redenominasi masih belum diterapkan karena menunggu situasi yang kondusif, baik di dalam negeri maupun global.
Selain itu, hal ini masih memiliki sejumlah kendala, khususnya di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Pasalnya, redenominasi ini bisa menyebabkan inflasi dan kebingungan.
“Bisa berdampak pada inflasi dan kebingungan khususnya pada masyarakat, khususnya yang berpendidikan menengah bawah,” ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics, Mohammad Faisal pada Bisnis.
Faisal mengatakan bahwa redonominasi juga tidak dapat terjadi pada situasi politik saat ini, mengingat tahun depan adalah tahun politik.
“Yang jelas, tidak di saat menjelang tahun politik seperti sekarang ya. Kami perlu menjaga stabilitas ekonomi dan politik menjelang pilpres,” ujar Faisal lagi.
POPULAR
RELATED ARTICLES