Share

Stories 15 Agustus 2022

Bye Bye Pakaian Bekas Impor!

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menyatakan secara lugas bahwa impor baju bekas dilarang.

Ilustrasi pakaian bekas impor. - Puspa Larasati -

Context.id, JAKARTA - Pasar Senen, Pasar Baru, Pasar Atom. Rasanya ketiga pasar tersebut tidak asing ya di telinga para pencinta thrifting. Soalnya dimana lagi, kita bisa mendapatkan baju dengan kualitas bagus dengan harga yang murah?

Sedihnya, saat ini baju yang dapat di-thrift semakin terbatas. Pasalnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) secara lugas menyatakan impor baju bekas dilarang. Artinya, barang-barang thrift dari luar negeri sudah dilarang untuk masuk ke Indonesia. 

“Kemendag (mengatur) impor gak boleh. Kalau kita, boleh jual barang bekas. Yang tidak boleh impor barang bekas. Kalau sudah tersebar gimana? Ya, kita cari,” ujar Zulkifli saat ia sedang memusnahkan baju bekas impor seharga Rp8,5-9 miliar di Karawang. 

Namun siapa sangka, ternyata ucapan Zulkifli ternyata sudah diatur sejak 1999 silam. Saat itu DPR telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lalu pada 2014, permasalahan ini ditindaklanjuti pada UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Lebih lanjut, Menteri Perdagangan saat itu, Thomas Trikasih Lembong telah membuat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 dalam pasal 2 menyatakan bahwa “pakaian bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia”. 

Selain itu, pakaian bekas yang sudah tiba di Indonesia juga akan dibakar. “Pakaian bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau setelah Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan Undang-undang,” ujar Pasal 3 Permendag tersebut.

Kemudian regulasi tersebut diperbaharui lagi pada 2021 dengan Permendag No.18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. 

Menurut Zulhas, pelarangan ini didasari oleh alasan kesehatan. “Beredar baju bekas seperti ini dan yang jelas impor. Yang begini lagi marak, bahaya bagi kesehatan karena bekas dan ada jamurnya,” ujar Zulhas.
 

Dampak Negatif dan Positif dari Thrifting

Zulhas mengaku bahwa impor baju bekas merugikan industri garmen dalam negeri, apalagi bagi Industri Kecil Menengah (IKM). Pasalnya saat ini pelaku usaha juga sedang dalam proses pemulihan pascapandemi. 

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menyatakan bahwa industri pakaian impor bekas telah memangkas 12-15 persen target pasar IKM. 

“Di daerah-daerah pinggiran, mereka bikin toko sendiri second branded. Ada harganya Rp30 ribu, Rp40 ribu. Jaket besar harganya segitu. Gak mungkin segitu kan, bahannya aja gak ngejar. Mereka ngambil market 12-15 persen IKM, berarti sekitar 20 ribu potong dikalikan US$3-5 dolar. Belum efek ke produsen kain, benang, atau ke hulu-nya,” ujar Redma.

Namun di sisi lain, ternyata industri barang bekas juga memiliki sejumlah dampak positif, terutama bagi keberlangsungan lingkungan. Pasalnya dilansir dari Goodwill, dengan menggunakan barang bekas, produsen dapat berhemat 60 hingga 80 pon limbah tekstil per tahunnya. 

Selain itu, produsen juga dapat berhemat sekitar 400 galon air, hanya untuk membuat kapas untuk suatu kaos.



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Putri Dewi

Stories 15 Agustus 2022

Bye Bye Pakaian Bekas Impor!

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menyatakan secara lugas bahwa impor baju bekas dilarang.

Ilustrasi pakaian bekas impor. - Puspa Larasati -

Context.id, JAKARTA - Pasar Senen, Pasar Baru, Pasar Atom. Rasanya ketiga pasar tersebut tidak asing ya di telinga para pencinta thrifting. Soalnya dimana lagi, kita bisa mendapatkan baju dengan kualitas bagus dengan harga yang murah?

Sedihnya, saat ini baju yang dapat di-thrift semakin terbatas. Pasalnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) secara lugas menyatakan impor baju bekas dilarang. Artinya, barang-barang thrift dari luar negeri sudah dilarang untuk masuk ke Indonesia. 

“Kemendag (mengatur) impor gak boleh. Kalau kita, boleh jual barang bekas. Yang tidak boleh impor barang bekas. Kalau sudah tersebar gimana? Ya, kita cari,” ujar Zulkifli saat ia sedang memusnahkan baju bekas impor seharga Rp8,5-9 miliar di Karawang. 

Namun siapa sangka, ternyata ucapan Zulkifli ternyata sudah diatur sejak 1999 silam. Saat itu DPR telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lalu pada 2014, permasalahan ini ditindaklanjuti pada UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Lebih lanjut, Menteri Perdagangan saat itu, Thomas Trikasih Lembong telah membuat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 dalam pasal 2 menyatakan bahwa “pakaian bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia”. 

Selain itu, pakaian bekas yang sudah tiba di Indonesia juga akan dibakar. “Pakaian bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau setelah Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan Undang-undang,” ujar Pasal 3 Permendag tersebut.

Kemudian regulasi tersebut diperbaharui lagi pada 2021 dengan Permendag No.18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. 

Menurut Zulhas, pelarangan ini didasari oleh alasan kesehatan. “Beredar baju bekas seperti ini dan yang jelas impor. Yang begini lagi marak, bahaya bagi kesehatan karena bekas dan ada jamurnya,” ujar Zulhas.
 

Dampak Negatif dan Positif dari Thrifting

Zulhas mengaku bahwa impor baju bekas merugikan industri garmen dalam negeri, apalagi bagi Industri Kecil Menengah (IKM). Pasalnya saat ini pelaku usaha juga sedang dalam proses pemulihan pascapandemi. 

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menyatakan bahwa industri pakaian impor bekas telah memangkas 12-15 persen target pasar IKM. 

“Di daerah-daerah pinggiran, mereka bikin toko sendiri second branded. Ada harganya Rp30 ribu, Rp40 ribu. Jaket besar harganya segitu. Gak mungkin segitu kan, bahannya aja gak ngejar. Mereka ngambil market 12-15 persen IKM, berarti sekitar 20 ribu potong dikalikan US$3-5 dolar. Belum efek ke produsen kain, benang, atau ke hulu-nya,” ujar Redma.

Namun di sisi lain, ternyata industri barang bekas juga memiliki sejumlah dampak positif, terutama bagi keberlangsungan lingkungan. Pasalnya dilansir dari Goodwill, dengan menggunakan barang bekas, produsen dapat berhemat 60 hingga 80 pon limbah tekstil per tahunnya. 

Selain itu, produsen juga dapat berhemat sekitar 400 galon air, hanya untuk membuat kapas untuk suatu kaos.



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Putri Dewi


RELATED ARTICLES

Peringkat Global Negara dan Kota yang Mendorong Perusahaan Rintisan AI

Jerman menunjukkan peningkatan dalam pemeringkatan baru untuk tempat terbaik bagi perusahaan rintisan AI, sementara Prancis menurun dan AS serta I ...

Context.id . 25 November 2024

Apakah Hologram AI Yesus Bisa Menerima Pengakuan Dosa?

\"Tuhan, ampunilah saya karena telah melakukan kesalahan......\"

Context.id . 25 November 2024

Apakah Flu saat Hamil Meningkatkan Risiko Autisme Anak? Ini Kata Para Ahli

Meskipun belum bisa dipastikan sebagai penyebab langsung, infeksi seperti flu saat hamil bisa berkontribusi meningkatkan risiko gangguan spektrum ...

Context.id . 25 November 2024

Haruskah Tetap Belajar Coding di Dunia AI?

Kamp pelatihan coding dulunya tampak seperti tiket emas menuju masa depan yang aman secara ekonomi. Namun, saat janji itu memudar, apa yang harus ...

Context.id . 25 November 2024