Share

Home Stories

Stories 09 Agustus 2022

Jokowi Beberkan Dampak Jika Subsidi BBM Dicabut

Apa yang terjadi jika pemerintah Indonesia tidak memberikan subsidi pada bahan bakar minyak (BBM) untuk masyarakat?

Pengendara motor berputar arah setelah mengetahui BBM jenis Pertalite & Pertamax kosong di SPBU 34-16117, Kelurahan Pasir Mulya, Kota Bogor. -Antara-

Context.id, JAKARTA - Apa yang terjadi jika pemerintah Indonesia tidak memberikan subsidi pada bahan bakar minyak (BBM) untuk masyarakat?

Diketahui, bantuan subsidi BBM dari pemerintah sudah sampai ke angka Rp502 triliun atau hampir naik empat kali lipat, dari angka awalnya yang hanya Rp170 triliun.

Hal ini disebabkan oleh harga minyak dunia yang memang sedang naik secara drastis. Dikutip dari Trading Economics, harga minyak (crude oil) per Senin (8/8/2022 pukul 15.39) sudah mencapai US$88.350 atau naik sebesar 32 persen dari tahun lalu (yoy). 

Oleh sebab itu, Presiden Jokowi pun mengklaim bahwa angka subsidi sudah terlalu besar dan tidak ada negara selain Indonesia yang sanggup menanggung subsidi sebesar itu. “Tidak ada negara berani memberikan subsidi sebesar yang dilakukan di Indonesia,” ujar Jokowi.

Pasalnya, hampir semua negara di dunia sedang mengalami penurunan ekonomi akibat krisis yang terjadi di dunia. Mulai dari pandemi Covid-19, perubahan iklim, hingga perang Ukraina-Rusia. Faktanya, negara-negara maju seperti AS, Australia, dan Inggris pun juga terdampak.

Hal ini pun membuat adanya wacana dari pemerintah, bilamana subsidi BBM dicabut saja. Soalnya, dengan pencabutan subsidi, pemerintah dapat jauh berhemat, karena dana yang digunakan untuk subsidi pun dapat disimpan untuk kebutuhan mendesak ataupun dialokasikan pada sektor yang lain. 

Namun ternyata tidak semudah itu. Menurut Jokowi pada Maret 2022, andaikata BBM bersubsidi harganya naik, pasti akan mendapat penolakan dari masyarakat.

“Coba di negara kita bayangkan. Kalau Pertalite naik dari Rp7.650 harga sekarang ini, kemudian naik ke harga yang benar adalah Rp17.100, demonya berapa bulan? Naik 10 persen saja saya ingat demonya tiga bulan. Kalau sampai 100 persen lebih, demonya akan berapa bulan?” tanya Jokowi. 

Sayangnya, menurut Global Petrol Price, harga Pertalite saat ini (per 1/8/2022) sudah naik ke angka Rp17.320/ liter. Jadi anggaplah pengisian motor penuh membutuhkan 4,5 liter, kenaikan harga jika Pertalite tidak disubsidi bisa mencapai Rp43.500, yang mana bisa digunakan untuk makan 2 kali di warteg.

Tak heran, jika menurut Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan, kenaikan BBM juga otomatis membuat naiknya harga kebutuhan lainnya.

“Kita pahami bersama jika BBM dan gas naik, maka otomatis akan diikuti dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan lainnya,” ujar Syarief. 

Selain itu, belajar dari kenaikan BBM pada 2014, Indonesia mengalami kenaikan laju inflasi yang cukup tinggi hingga 2,27 persen dan bertahan hingga dua bulan. 

Masalahnya, kenaikan harga BBM kala itu juga tak banyak mendorong adanya pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, ekonomi saat itu hanya naik sekitar 0,1 persen. Padahal, pada saat itu jumlah belanja negara juga sedang meningkat.



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Putri Dewi

Stories 09 Agustus 2022

Jokowi Beberkan Dampak Jika Subsidi BBM Dicabut

Apa yang terjadi jika pemerintah Indonesia tidak memberikan subsidi pada bahan bakar minyak (BBM) untuk masyarakat?

Pengendara motor berputar arah setelah mengetahui BBM jenis Pertalite & Pertamax kosong di SPBU 34-16117, Kelurahan Pasir Mulya, Kota Bogor. -Antara-

Context.id, JAKARTA - Apa yang terjadi jika pemerintah Indonesia tidak memberikan subsidi pada bahan bakar minyak (BBM) untuk masyarakat?

Diketahui, bantuan subsidi BBM dari pemerintah sudah sampai ke angka Rp502 triliun atau hampir naik empat kali lipat, dari angka awalnya yang hanya Rp170 triliun.

Hal ini disebabkan oleh harga minyak dunia yang memang sedang naik secara drastis. Dikutip dari Trading Economics, harga minyak (crude oil) per Senin (8/8/2022 pukul 15.39) sudah mencapai US$88.350 atau naik sebesar 32 persen dari tahun lalu (yoy). 

Oleh sebab itu, Presiden Jokowi pun mengklaim bahwa angka subsidi sudah terlalu besar dan tidak ada negara selain Indonesia yang sanggup menanggung subsidi sebesar itu. “Tidak ada negara berani memberikan subsidi sebesar yang dilakukan di Indonesia,” ujar Jokowi.

Pasalnya, hampir semua negara di dunia sedang mengalami penurunan ekonomi akibat krisis yang terjadi di dunia. Mulai dari pandemi Covid-19, perubahan iklim, hingga perang Ukraina-Rusia. Faktanya, negara-negara maju seperti AS, Australia, dan Inggris pun juga terdampak.

Hal ini pun membuat adanya wacana dari pemerintah, bilamana subsidi BBM dicabut saja. Soalnya, dengan pencabutan subsidi, pemerintah dapat jauh berhemat, karena dana yang digunakan untuk subsidi pun dapat disimpan untuk kebutuhan mendesak ataupun dialokasikan pada sektor yang lain. 

Namun ternyata tidak semudah itu. Menurut Jokowi pada Maret 2022, andaikata BBM bersubsidi harganya naik, pasti akan mendapat penolakan dari masyarakat.

“Coba di negara kita bayangkan. Kalau Pertalite naik dari Rp7.650 harga sekarang ini, kemudian naik ke harga yang benar adalah Rp17.100, demonya berapa bulan? Naik 10 persen saja saya ingat demonya tiga bulan. Kalau sampai 100 persen lebih, demonya akan berapa bulan?” tanya Jokowi. 

Sayangnya, menurut Global Petrol Price, harga Pertalite saat ini (per 1/8/2022) sudah naik ke angka Rp17.320/ liter. Jadi anggaplah pengisian motor penuh membutuhkan 4,5 liter, kenaikan harga jika Pertalite tidak disubsidi bisa mencapai Rp43.500, yang mana bisa digunakan untuk makan 2 kali di warteg.

Tak heran, jika menurut Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan, kenaikan BBM juga otomatis membuat naiknya harga kebutuhan lainnya.

“Kita pahami bersama jika BBM dan gas naik, maka otomatis akan diikuti dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan lainnya,” ujar Syarief. 

Selain itu, belajar dari kenaikan BBM pada 2014, Indonesia mengalami kenaikan laju inflasi yang cukup tinggi hingga 2,27 persen dan bertahan hingga dua bulan. 

Masalahnya, kenaikan harga BBM kala itu juga tak banyak mendorong adanya pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, ekonomi saat itu hanya naik sekitar 0,1 persen. Padahal, pada saat itu jumlah belanja negara juga sedang meningkat.



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Putri Dewi


RELATED ARTICLES

Sushila Karki, Perdana Menteri Perempuan Pertama di Nepal

Setelah meredanya gelombang protes di Nepal, Sushila Karki ditunjuk sebagai Perdana Menteri Sementara dan disebut menandakan tumbuhnya kepercayaan ...

Renita Sukma . 16 September 2025

Penembak Aktivis Charlie Kirk Ditangkap Setelah 33 Jam Diburu

Tyler Robinson, pria 22 tahun dari Utah, berhasil ditangkap setelah buron 33 jam atas tuduhan membunuh aktivis konservatif Charlie Kirk

Renita Sukma . 14 September 2025

Setelah Penggerebekan Imigrasi AS, Pekerja Korea Selatan Dipulangkan

Sekitar 300 pekerja Korea Selatan akhirnya kembali ke negara setelah sempat ditahan oleh imigrasi AS.

Renita Sukma . 14 September 2025

Ada Tuntutan Bubarkan DPR, Secara Hukum Indonesia Bisa?

Tuntutan pembubaran DPR menggaung saat aksi demonstrasi 25 Agustus 2025. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut hal itu secara hukum tid ...

Renita Sukma . 14 September 2025