Share

Home Stories

Stories 18 Juni 2025

Tarif Trump Membuat Industri Solar Panel Asia Tenggara di Ambang Kehancuran

Sekitar 80% panel surya yang dijual di Amerika pada 2024 berasal dari Asia Tenggara

Ilustrasi solar panel/ Sun Energy

Context.id, JAKARTA - Kebijakan nilai tarif yang diputuskan Donald Trump punya dampak hingga ke Asia Tenggara. Pabrik industri panel surya di Rayong, Thailand milik korporasi GSTAR Singapura memutuskan untuk tutup. Sejak awal Juni, Trump memberlakukan tarif sebesar 375% lebih untuk impor panel surya dari Thailand, Malaysia, Vietnam dan Kamboja. 

Tujuannya jelas membendung masuknya panel murah buatan perusahaan China, yang menurut Washington hanya memindahkan produksinya ke Asia Tenggara demi menghindari tarif sebelumnya.

Namun, yang terdampak bukan hanya perusahaan China. Ribuan pekerja lokal seperti Chonlada seorang ibu tunggal berusia 33 tahun ikut terseret gelombang besar proteksionisme. Pabrik tutup, pesangon nihil, masa depan menggantung.

Thailand dan Vietnam pada 2023 mengekspor panel surya senilai total lebih dari US$7,6 miliar ke AS. Sebagian besar produksi datang dari pabrik yang secara langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan China seperti Jinko Solar dan Trina Solar. 

Dalam satu dekade terakhir, China memang menggelontorkan dana besar, sekitar US$2,7 miliar untuk membangun industri energi hijau di Asia Tenggara. Kini, seperti yang dilaporkan Reuters, strategi itu berbalik arah, negara-negara penerima investasi jadi sasaran sanksi.

“Banyak dari pabrik-pabrik ini baru saja mulai beroperasi. Mesin-mesin mahal baru datang, bahan baku sudah masuk gudang. Tapi mereka terpaksa tutup bahkan sebelum produksi maksimal,” ujar Kanyawee, manajer lini produksi Standard Energy. 

Ironisnya, tarif yang dimaksudkan untuk melindungi industri hijau AS justru berpotensi menghambat transisi energi bersih global. Sebab, 80% panel surya yang dijual di Amerika pada 2024 berasal dari Asia Tenggara. 

Ketika harga naik, proyek-proyek energi bersih melambat dan konsumen Amerika ikut menanggung bebannya.

“Kalau produksi surya Asia Tenggara goyah, bukan hanya pekerja lokal yang kehilangan pekerjaan. Konsumen di AS juga akan membayar lebih mahal untuk transisi energi bersih,” kata Pavida Pananond, profesor bisnis internasional dari Universitas Thammasat.

Namun tidak semua pandangan suram. Beberapa pengamat menilai, ini bisa menjadi momentum bagi negara-negara Asia Tenggara untuk menyerap kelebihan pasokan dan mempercepat ambisi energi hijau mereka sendiri. 

Thailand, misalnya, sudah menargetkan netral karbon pada 2050 dan nol emisi bersih pada 2065.

“Kalau pemerintah bisa memotong birokrasi dan melepas dominasi minyak dan gas dalam bauran energi, limpahan suplai dari ekspor yang melambat bisa dimanfaatkan untuk pasar domestik,” ujar Ben McCarron dari Asia Research & Engagement.

Kini menjadi pertanyaan besar, apakah Asia Tenggara hanya akan menjadi korban lanjutan dari konflik dagang global, atau justru bangkit dengan industri hijau yang lebih mandiri?

Tarif Trump adalah tamparan keras sekaligus peringatan, bergantung terlalu besar pada pasar ekspor, terlebih dengan dinamika politik global yang sulit ditebak, bisa jadi risiko strategis. 

Video Player is loading.
Current Time 0:00
Duration 4:05
Loaded: 0%
Stream Type LIVE
Remaining Time 4:05
 
1x


Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 18 Juni 2025

Tarif Trump Membuat Industri Solar Panel Asia Tenggara di Ambang Kehancuran

Sekitar 80% panel surya yang dijual di Amerika pada 2024 berasal dari Asia Tenggara

Ilustrasi solar panel/ Sun Energy

Context.id, JAKARTA - Kebijakan nilai tarif yang diputuskan Donald Trump punya dampak hingga ke Asia Tenggara. Pabrik industri panel surya di Rayong, Thailand milik korporasi GSTAR Singapura memutuskan untuk tutup. Sejak awal Juni, Trump memberlakukan tarif sebesar 375% lebih untuk impor panel surya dari Thailand, Malaysia, Vietnam dan Kamboja. 

Tujuannya jelas membendung masuknya panel murah buatan perusahaan China, yang menurut Washington hanya memindahkan produksinya ke Asia Tenggara demi menghindari tarif sebelumnya.

Namun, yang terdampak bukan hanya perusahaan China. Ribuan pekerja lokal seperti Chonlada seorang ibu tunggal berusia 33 tahun ikut terseret gelombang besar proteksionisme. Pabrik tutup, pesangon nihil, masa depan menggantung.

Thailand dan Vietnam pada 2023 mengekspor panel surya senilai total lebih dari US$7,6 miliar ke AS. Sebagian besar produksi datang dari pabrik yang secara langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan China seperti Jinko Solar dan Trina Solar. 

Dalam satu dekade terakhir, China memang menggelontorkan dana besar, sekitar US$2,7 miliar untuk membangun industri energi hijau di Asia Tenggara. Kini, seperti yang dilaporkan Reuters, strategi itu berbalik arah, negara-negara penerima investasi jadi sasaran sanksi.

“Banyak dari pabrik-pabrik ini baru saja mulai beroperasi. Mesin-mesin mahal baru datang, bahan baku sudah masuk gudang. Tapi mereka terpaksa tutup bahkan sebelum produksi maksimal,” ujar Kanyawee, manajer lini produksi Standard Energy. 

Ironisnya, tarif yang dimaksudkan untuk melindungi industri hijau AS justru berpotensi menghambat transisi energi bersih global. Sebab, 80% panel surya yang dijual di Amerika pada 2024 berasal dari Asia Tenggara. 

Ketika harga naik, proyek-proyek energi bersih melambat dan konsumen Amerika ikut menanggung bebannya.

“Kalau produksi surya Asia Tenggara goyah, bukan hanya pekerja lokal yang kehilangan pekerjaan. Konsumen di AS juga akan membayar lebih mahal untuk transisi energi bersih,” kata Pavida Pananond, profesor bisnis internasional dari Universitas Thammasat.

Namun tidak semua pandangan suram. Beberapa pengamat menilai, ini bisa menjadi momentum bagi negara-negara Asia Tenggara untuk menyerap kelebihan pasokan dan mempercepat ambisi energi hijau mereka sendiri. 

Thailand, misalnya, sudah menargetkan netral karbon pada 2050 dan nol emisi bersih pada 2065.

“Kalau pemerintah bisa memotong birokrasi dan melepas dominasi minyak dan gas dalam bauran energi, limpahan suplai dari ekspor yang melambat bisa dimanfaatkan untuk pasar domestik,” ujar Ben McCarron dari Asia Research & Engagement.

Kini menjadi pertanyaan besar, apakah Asia Tenggara hanya akan menjadi korban lanjutan dari konflik dagang global, atau justru bangkit dengan industri hijau yang lebih mandiri?

Tarif Trump adalah tamparan keras sekaligus peringatan, bergantung terlalu besar pada pasar ekspor, terlebih dengan dinamika politik global yang sulit ditebak, bisa jadi risiko strategis. 

Video Player is loading.
Current Time 0:00
Duration 4:05
Loaded: 0%
Stream Type LIVE
Remaining Time 4:05
 
1x


Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Instagram Map, Cara Baru untuk Terkoneksi atau Ancaman Privasi?

Instagram rilis fitur yang menawarkan konektivitas antar pengguna. Namun di sisi lain memicu kekhawatiran karena berpotensi meningkatkan risiko pr ...

Context.id . 11 August 2025

Musik Punya Peran Penting untuk Meningkatkan Penjualan Usaha?

Musik ternyata punya peran penting untuk meningkatkan penjualan. Riset menunjukkan musik bisa mempengaruhi perilaku pelanggan bahkan membuat merek ...

Context.id . 07 August 2025

NASA Berencana Membangun Reaktor Nuklir di Bulan 2030

Di bulan, malam bisa berlangsung selama dua minggu bumi sehingga tenaga surya tidak selalu efektif dan energi nuklir bisa menjadi solusinya

Renita Sukma . 07 August 2025

Cafe & Restoran Selektif Pilih Musik, Berapa Tarif Royalti yang Sebenarnya?

Kini tarif royalti musik menjadi polemik bagi pelaku usaha di Indonesia, kira-kira berapa tarif royalti yang harus dibayar?

Context.id . 07 August 2025