Share

Home Stories

Stories 26 Mei 2025

Soeharto Tetap Membayangi Meskipun Sudah 27 Tahun Lengser

Dua puluh tujuh tahun setelah Soeharto mengakhiri 32 tahun kekuasaannya, Indonesia kembali bergulat dengan warisan Orde Baru

Ilustrasi Soeharto/Context-Rizki Ghazali

Context.id, JAKARTA - Reformasi 1998 yang lahir dari darah dan demonstrasi mahasiswa kini dihantui oleh usulan ironis menjadikan sang jenderal yang tumbang sebagai pahlawan nasional.

Pada 21 Mei 1998, Soeharto berdiri kaku di Istana Merdeka, menyatakan pengunduran dirinya di tengah krisis ekonomi dan kerusuhan sosial yang mengguncang fondasi negara. 

Indonesia, yang selama puluhan tahun dikendalikan dengan tangan besi, tiba-tiba memasuki era yang belum terdefinisi. Demokrasi dimulai bukan karena dipersiapkan, tetapi karena dipaksakan oleh keadaan.

Selama seperempat abad berikutnya, Reformasi menjelma menjadi proyek nasional  membangun kembali sistem yang memberi ruang pada oposisi, pers bebas, dan pemilu yang relatif jujur. 

Sesuatu yang jujur harus kita akui bersama menjadi proyek yang belum rampung hingga saat ini. 

Pasalnya, ada paradoks antara semangat perubahan dan jejak masa lalu yang enggan pergi. Bagaimana tidak, kini nama Soeharto kembali diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan nasional. 

Alasan yang dikemukakan, jasanya dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas. Namun banyak yang bertanya, stabilitas untuk siapa? 

Bagi sebagian besar korban pelanggaran HAM, aktivis yang diculik dan tak pernah kembali, serta rakyat kecil yang hidup di bawah kontrol negara, stabilitas itu datang dengan harga mahal.

Pro-kontra pun meledak di ruang publik. Beberapa aktivis menolak, termasuk mantan aktivis yang kini duduk enak di Senayan, sebut saja politikus PDI-P Masinton Pasaribu. 

Para penolak menyebut usulan itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat Reformasi. 

Amnesty International Indonesia menegaskan pemberian gelar itu berarti menghapus jejak kelam sejarah bukan menulis ulang, tapi menyapunya di bawah karpet nasionalisme.

Pemerintah, melalui Kementerian Sosial, mencoba bersikap netral. Mereka menyebut penilaian diberikan oleh tim independen dan prosesnya teknokratis. 

Namun banyak yang tahu, di negeri ini sejarah tak pernah sepenuhnya soal data dan dokumen ia juga soal narasi mana yang dijaga dan siapa yang diberi tempat di museum ingatan.

Usulan gelar ini muncul bukan di ruang hampa. Ia bersamaan dengan naiknya nostalgia pada masa Orde Baru di kalangan generasi muda yang hanya mengenal Soeharto lewat cerita pembangunan dan harga sembako yang stabil. 

Julukannya sebagai “The Smiling General” kembali populer di TikTok. Di sebagian survei, namanya masih muncul sebagai simbol keteraturan.

Tapi sejarah yang hanya dikenang sebagai kenyamanan tanpa mengingat represi, adalah sejarah yang timpang. Soeharto memang bukan tokoh biasa. 

Tapi apakah semua tokoh besar otomatis layak menjadi pahlawan? Indonesia kini berada di titik persimpangan, apakah tetap berjuang untuk melawan lupa atau sengaja melupakannya demi kata keteraturan. 

Di tahun ke-27 Reformasi, debat soal Soeharto bukan hanya tentang gelar, melainkan tentang arah bangsa ini mengingat siapa dirinya



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 26 Mei 2025

Soeharto Tetap Membayangi Meskipun Sudah 27 Tahun Lengser

Dua puluh tujuh tahun setelah Soeharto mengakhiri 32 tahun kekuasaannya, Indonesia kembali bergulat dengan warisan Orde Baru

Ilustrasi Soeharto/Context-Rizki Ghazali

Context.id, JAKARTA - Reformasi 1998 yang lahir dari darah dan demonstrasi mahasiswa kini dihantui oleh usulan ironis menjadikan sang jenderal yang tumbang sebagai pahlawan nasional.

Pada 21 Mei 1998, Soeharto berdiri kaku di Istana Merdeka, menyatakan pengunduran dirinya di tengah krisis ekonomi dan kerusuhan sosial yang mengguncang fondasi negara. 

Indonesia, yang selama puluhan tahun dikendalikan dengan tangan besi, tiba-tiba memasuki era yang belum terdefinisi. Demokrasi dimulai bukan karena dipersiapkan, tetapi karena dipaksakan oleh keadaan.

Selama seperempat abad berikutnya, Reformasi menjelma menjadi proyek nasional  membangun kembali sistem yang memberi ruang pada oposisi, pers bebas, dan pemilu yang relatif jujur. 

Sesuatu yang jujur harus kita akui bersama menjadi proyek yang belum rampung hingga saat ini. 

Pasalnya, ada paradoks antara semangat perubahan dan jejak masa lalu yang enggan pergi. Bagaimana tidak, kini nama Soeharto kembali diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan nasional. 

Alasan yang dikemukakan, jasanya dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas. Namun banyak yang bertanya, stabilitas untuk siapa? 

Bagi sebagian besar korban pelanggaran HAM, aktivis yang diculik dan tak pernah kembali, serta rakyat kecil yang hidup di bawah kontrol negara, stabilitas itu datang dengan harga mahal.

Pro-kontra pun meledak di ruang publik. Beberapa aktivis menolak, termasuk mantan aktivis yang kini duduk enak di Senayan, sebut saja politikus PDI-P Masinton Pasaribu. 

Para penolak menyebut usulan itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat Reformasi. 

Amnesty International Indonesia menegaskan pemberian gelar itu berarti menghapus jejak kelam sejarah bukan menulis ulang, tapi menyapunya di bawah karpet nasionalisme.

Pemerintah, melalui Kementerian Sosial, mencoba bersikap netral. Mereka menyebut penilaian diberikan oleh tim independen dan prosesnya teknokratis. 

Namun banyak yang tahu, di negeri ini sejarah tak pernah sepenuhnya soal data dan dokumen ia juga soal narasi mana yang dijaga dan siapa yang diberi tempat di museum ingatan.

Usulan gelar ini muncul bukan di ruang hampa. Ia bersamaan dengan naiknya nostalgia pada masa Orde Baru di kalangan generasi muda yang hanya mengenal Soeharto lewat cerita pembangunan dan harga sembako yang stabil. 

Julukannya sebagai “The Smiling General” kembali populer di TikTok. Di sebagian survei, namanya masih muncul sebagai simbol keteraturan.

Tapi sejarah yang hanya dikenang sebagai kenyamanan tanpa mengingat represi, adalah sejarah yang timpang. Soeharto memang bukan tokoh biasa. 

Tapi apakah semua tokoh besar otomatis layak menjadi pahlawan? Indonesia kini berada di titik persimpangan, apakah tetap berjuang untuk melawan lupa atau sengaja melupakannya demi kata keteraturan. 

Di tahun ke-27 Reformasi, debat soal Soeharto bukan hanya tentang gelar, melainkan tentang arah bangsa ini mengingat siapa dirinya



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Bahasa Inggris, Tiket ke Panggung Global

Keinginan masyarakat Indonesia untuk menembus dunia kerja dan pendidikan global terus meningkat. Namun satu hal mendasar justru tertinggal, kemamp ...

Renita Sukma . 27 May 2025

Soeharto Tetap Membayangi Meskipun Sudah 27 Tahun Lengser

Dua puluh tujuh tahun setelah Soeharto mengakhiri 32 tahun kekuasaannya, Indonesia kembali bergulat dengan warisan Orde Baru

Renita Sukma . 26 May 2025

Ketika Google AI Jadi Penata Gaya Kostum Pribadi

Bosan menebak-nebak apakah jaket baru itu bakal cocok dengan bentuk badanmu? Google punya jawabannya dan jawabannya bukan coba-coba, tapi algoritma.

Renita Sukma . 22 May 2025

Bioskop Tua dan Jejak Politik yang Tak Pernah Usai

Bagi Yosep Anggi Noen, gedung bioskop bukan sekadar tempat memutar film, tapi ruang yang menjadi saksi propaganda rezim dan ruang tarik ulur suara ...

Renita Sukma . 21 May 2025