Wiji Thukul dan Gen Z, Ketika Kata-Kata Tak Beristirahat
Sudah lebih dari seperempat abad sejak Wiji Thukul menghilang, namun suaranya masih terdengar kencang di telinga generasi muda

Context.id, Jakarta – Dalam sebuah pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata di ruang terbuka toko buku Makarya, Jakarta Timur, Senin (12/5) malam, kursi-kursi yang tersedia hampir seluruhnya diisi oleh anak-anak muda.
Usia mereka mungkin berkisar 20 hingga awal 30-an, generasi yang tak sempat menyaksikan langsung masa ketika kata-kata Wiji Thukul bersanding dengan risiko kehilangan nyawa.
Film karya Yosep Anggi Noen bukan hanya catatan visual tentang pelarian penyair Wiji Thukul di bawah bayang-bayang represi negara, tapi juga menjadi jembatan antara masa lalu yang gelap dengan masa kini yang tak selalu terang.
Michi, mahasiswi Universitas Indonesia yang menjadi moderator diskusi film malam itu, menyebut Wiji Thukul sebagai sosok yang dikenalnya lewat studi kriminologi sebagai korban kejahatan negara.
“Ketika belajar tentang state crime, nama Wiji Thukul selalu muncul. Relevansinya bukan soal masa, tapi soal pengalaman akan ketidakadilan yang berulang,” katanya.
Ia pun menyinggung kasus terbaru penangkapan seorang mahasiswi ITB yang membuat meme satir terhadap dua presiden, Prabowo dan Jokowi.
“Kasusnya memang beda zaman, beda medium. Tapi polanya serupa, negara yang mudah tersinggung, dan warga yang dihukum karena bersuara,” ujar Michi.
Film Istirahatlah Kata-Kata dirilis pertama kali pada 2016. Namun sembilan tahun kemudian, gema puisinya masih mengisi ruang diskusi.
Sutradaranya, Yosep Anggi Noen atau Anggi menyebut Wiji Thukul sebagai tokoh yang “dekat secara sifat” dengan anak muda hari ini, terutama Gen Z.
“Wiji mempertanyakan banyak hal yang dianggap mapan. Itu juga yang saya lihat di anak-anak muda sekarang. Cuma mungkin bentuknya sudah berbeda dari mimbar ke media sosial, dari pamflet ke Twitter thread,” tutur Anggi dalam sesi diskusi.
Anggi juga mengangkat contoh menarik, sekelompok penggemar K-pop yang membentuk serikat untuk menuntut hak atas refund tiket konser.
Tuntutan mereka mungkin tak menyebutkan buruh atau demokrasi, tapi semangatnya tetap sama mengorganisasi, menyuarakan hak, menolak diam.
“Wiji adalah agen perubahan pada masanya. Gen Z, dengan caranya sendiri, juga bisa jadi agen perubahan,” tambah Anggi.
Wiji Thukul mungkin tidak pernah membayangkan puisinya akan diputar ulang di antara diskusi ringan dan deretan rak buku independen.
Namun justru di sanalah puisi menemukan hidupnya kembali dalam keraguan, tawa gugup, dan diskusi hangat generasi yang punya cara tersendiri dalam membunyikan kata-kata kritik.
Seperti penggalan puisinya yang paling dikenal, “Hanya ada satu kata, lawan!” kata itu tak pernah benar-benar istirahat. Ia hanya berpindah mulut. Sekarang, ia hidup di suara Gen Z.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Wiji Thukul dan Gen Z, Ketika Kata-Kata Tak Beristirahat
Sudah lebih dari seperempat abad sejak Wiji Thukul menghilang, namun suaranya masih terdengar kencang di telinga generasi muda

Context.id, Jakarta – Dalam sebuah pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata di ruang terbuka toko buku Makarya, Jakarta Timur, Senin (12/5) malam, kursi-kursi yang tersedia hampir seluruhnya diisi oleh anak-anak muda.
Usia mereka mungkin berkisar 20 hingga awal 30-an, generasi yang tak sempat menyaksikan langsung masa ketika kata-kata Wiji Thukul bersanding dengan risiko kehilangan nyawa.
Film karya Yosep Anggi Noen bukan hanya catatan visual tentang pelarian penyair Wiji Thukul di bawah bayang-bayang represi negara, tapi juga menjadi jembatan antara masa lalu yang gelap dengan masa kini yang tak selalu terang.
Michi, mahasiswi Universitas Indonesia yang menjadi moderator diskusi film malam itu, menyebut Wiji Thukul sebagai sosok yang dikenalnya lewat studi kriminologi sebagai korban kejahatan negara.
“Ketika belajar tentang state crime, nama Wiji Thukul selalu muncul. Relevansinya bukan soal masa, tapi soal pengalaman akan ketidakadilan yang berulang,” katanya.
Ia pun menyinggung kasus terbaru penangkapan seorang mahasiswi ITB yang membuat meme satir terhadap dua presiden, Prabowo dan Jokowi.
“Kasusnya memang beda zaman, beda medium. Tapi polanya serupa, negara yang mudah tersinggung, dan warga yang dihukum karena bersuara,” ujar Michi.
Film Istirahatlah Kata-Kata dirilis pertama kali pada 2016. Namun sembilan tahun kemudian, gema puisinya masih mengisi ruang diskusi.
Sutradaranya, Yosep Anggi Noen atau Anggi menyebut Wiji Thukul sebagai tokoh yang “dekat secara sifat” dengan anak muda hari ini, terutama Gen Z.
“Wiji mempertanyakan banyak hal yang dianggap mapan. Itu juga yang saya lihat di anak-anak muda sekarang. Cuma mungkin bentuknya sudah berbeda dari mimbar ke media sosial, dari pamflet ke Twitter thread,” tutur Anggi dalam sesi diskusi.
Anggi juga mengangkat contoh menarik, sekelompok penggemar K-pop yang membentuk serikat untuk menuntut hak atas refund tiket konser.
Tuntutan mereka mungkin tak menyebutkan buruh atau demokrasi, tapi semangatnya tetap sama mengorganisasi, menyuarakan hak, menolak diam.
“Wiji adalah agen perubahan pada masanya. Gen Z, dengan caranya sendiri, juga bisa jadi agen perubahan,” tambah Anggi.
Wiji Thukul mungkin tidak pernah membayangkan puisinya akan diputar ulang di antara diskusi ringan dan deretan rak buku independen.
Namun justru di sanalah puisi menemukan hidupnya kembali dalam keraguan, tawa gugup, dan diskusi hangat generasi yang punya cara tersendiri dalam membunyikan kata-kata kritik.
Seperti penggalan puisinya yang paling dikenal, “Hanya ada satu kata, lawan!” kata itu tak pernah benar-benar istirahat. Ia hanya berpindah mulut. Sekarang, ia hidup di suara Gen Z.
POPULAR
RELATED ARTICLES