Ini Perhitungan Kemiskinan Orang Indonesia Versi Bank Dunia
Harap perhatikan, 172 juta orang Indonesia bisa disebut miskin dalam semalam. Kenapa?
Context.id, JAKARTA - Di tengah hiruk pikuk pekerjaan, macet, dan cicilan bulanan, banyak pekerja muda mungkin merasa hidup mereka cukup layak. Bisa ngopi di kedai favorit, langganan Netflix, dan sesekali staycation.
Tapi tunggu dulu. Laporan terbaru Bank Dunia menyarankan: jangan terlalu cepat merasa aman. Karena menurut standar internasional, kamu… mungkin saja tergolong miskin. Ya, Bank Dunia baru saja memicu kehebohan kecil: 60,3% penduduk Indonesia atau sekitar 172 juta orang digolongkan sebagai miskin.
Angka yang jauh melampaui klaim Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, yang menyebut hanya 24 juta orang (8,57%) tergolong miskin. Sebuah selisih yang bukan main besarnya. Jadi, bagaimana mungkin dua institusi besar bisa berbeda jauh dalam membaca realitas?
Masalahnya ada di definisi “miskin”
BPS menggunakan indikator pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan dan non-makanan dasar, dengan garis kemiskinan nasional di angka Rp595.242 per kapita per bulan. Kalau kamu menghabiskan lebih dari itu, kamu dianggap tidak miskin.
Tapi Bank Dunia bermain di liga yang berbeda. Mereka mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas sejak 2023, dan menggunakan standar kemiskinan yang lebih tinggi, US$6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari.
Jika kamu tidak mencapai batas itu, kamu dianggap miskin secara global.
Lalu apa itu PPP? Secara singkat, PPP mengukur daya beli riil di masing-masing negara, bukan cuma berdasarkan nilai tukar pasar. Jadi, bukan US$6,85 dikali kurs dolar hari ini, melainkan dikalikan dengan faktor khusus, PPP conversion factor.
Untuk Indonesia, angka PPP 2017 (yang masih jadi acuan) adalah 4.756,17. Jika dikalikan, maka standar kemiskinan Bank Dunia di Indonesia menjadi sekitar Rp32.579 per hari, atau sekitar Rp977.393 per bulan.
Tunggu sebentar. Itu artinya, seseorang bisa tidak miskin menurut BPS, tetapi tetap miskin menurut Bank Dunia. Misalnya, jika pengeluaran bulananmu Rp700.000, jauh di atas garis BPS, tapi jauh di bawah garis Bank Dunia.
Jadi… Kita semua miskin?
Tidak semua. Tapi bagi banyak pekerja informal, buruh lepas, ojek online, dan bahkan sebagian pekerja kantoran bergaji UMR di luar Jakarta, kemungkinan besar pendapatan riil mereka masih di bawah ambang batas Bank Dunia.
Apakah ini berarti Indonesia gagal mengentaskan kemiskinan? Tidak juga. Angka BPS tetap penting untuk kebijakan nasional, karena mempertimbangkan konteks lokal dan harga-harga domestik.
Tapi angka Bank Dunia memberikan cermin global, sebuah pengingat tidak miskin menurut standar nasional belum tentu berarti hidup sejahtera.
Maka, pertanyaan pentingnya, berapa besar pengeluaranmu per hari? Jika di bawah Rp32.579, Bank Dunia bilang kamu miskin. Jika di atas itu tapi di bawah Rp595.242 per bulan, kamu hidup dalam zona abu-abu, tidak miskin menurut negara, tapi juga belum aman menurut standar global.
Yang jelas, menjadi pekerja muda hari ini bukan hanya soal gaji bulanan dan CV menarik. Tapi juga tentang memahami angka-angka, konteks global, dan… ya, kadang soal definisi kemiskinan.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Ini Perhitungan Kemiskinan Orang Indonesia Versi Bank Dunia
Harap perhatikan, 172 juta orang Indonesia bisa disebut miskin dalam semalam. Kenapa?
Context.id, JAKARTA - Di tengah hiruk pikuk pekerjaan, macet, dan cicilan bulanan, banyak pekerja muda mungkin merasa hidup mereka cukup layak. Bisa ngopi di kedai favorit, langganan Netflix, dan sesekali staycation.
Tapi tunggu dulu. Laporan terbaru Bank Dunia menyarankan: jangan terlalu cepat merasa aman. Karena menurut standar internasional, kamu… mungkin saja tergolong miskin. Ya, Bank Dunia baru saja memicu kehebohan kecil: 60,3% penduduk Indonesia atau sekitar 172 juta orang digolongkan sebagai miskin.
Angka yang jauh melampaui klaim Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, yang menyebut hanya 24 juta orang (8,57%) tergolong miskin. Sebuah selisih yang bukan main besarnya. Jadi, bagaimana mungkin dua institusi besar bisa berbeda jauh dalam membaca realitas?
Masalahnya ada di definisi “miskin”
BPS menggunakan indikator pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan dan non-makanan dasar, dengan garis kemiskinan nasional di angka Rp595.242 per kapita per bulan. Kalau kamu menghabiskan lebih dari itu, kamu dianggap tidak miskin.
Tapi Bank Dunia bermain di liga yang berbeda. Mereka mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas sejak 2023, dan menggunakan standar kemiskinan yang lebih tinggi, US$6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari.
Jika kamu tidak mencapai batas itu, kamu dianggap miskin secara global.
Lalu apa itu PPP? Secara singkat, PPP mengukur daya beli riil di masing-masing negara, bukan cuma berdasarkan nilai tukar pasar. Jadi, bukan US$6,85 dikali kurs dolar hari ini, melainkan dikalikan dengan faktor khusus, PPP conversion factor.
Untuk Indonesia, angka PPP 2017 (yang masih jadi acuan) adalah 4.756,17. Jika dikalikan, maka standar kemiskinan Bank Dunia di Indonesia menjadi sekitar Rp32.579 per hari, atau sekitar Rp977.393 per bulan.
Tunggu sebentar. Itu artinya, seseorang bisa tidak miskin menurut BPS, tetapi tetap miskin menurut Bank Dunia. Misalnya, jika pengeluaran bulananmu Rp700.000, jauh di atas garis BPS, tapi jauh di bawah garis Bank Dunia.
Jadi… Kita semua miskin?
Tidak semua. Tapi bagi banyak pekerja informal, buruh lepas, ojek online, dan bahkan sebagian pekerja kantoran bergaji UMR di luar Jakarta, kemungkinan besar pendapatan riil mereka masih di bawah ambang batas Bank Dunia.
Apakah ini berarti Indonesia gagal mengentaskan kemiskinan? Tidak juga. Angka BPS tetap penting untuk kebijakan nasional, karena mempertimbangkan konteks lokal dan harga-harga domestik.
Tapi angka Bank Dunia memberikan cermin global, sebuah pengingat tidak miskin menurut standar nasional belum tentu berarti hidup sejahtera.
Maka, pertanyaan pentingnya, berapa besar pengeluaranmu per hari? Jika di bawah Rp32.579, Bank Dunia bilang kamu miskin. Jika di atas itu tapi di bawah Rp595.242 per bulan, kamu hidup dalam zona abu-abu, tidak miskin menurut negara, tapi juga belum aman menurut standar global.
Yang jelas, menjadi pekerja muda hari ini bukan hanya soal gaji bulanan dan CV menarik. Tapi juga tentang memahami angka-angka, konteks global, dan… ya, kadang soal definisi kemiskinan.
POPULAR
RELATED ARTICLES