Paus dari Chicago, Leo XIV dan Langkah Baru Gereja Katolik
Dikenal cukup moderat tapi tetap memegang teguh doktrin gereja

Context.id, JAKARTA - “Seorang uskup tidak seharusnya menjadi pangeran kecil yang duduk di kerajaannya.” Kalimat itu pernah diucapkan Robert Francis Prevost dan pada 8 Mei 2025, dia membuktikan ucapannya. Mantan misionaris di Peru itu terpilih sebagai pemimpin 1,4 miliar umat Katolik di dunia.
Dunia kini mengenalnya sebagai Paus Leo XIV, paus pertama dalam sejarah yang berasal dari Amerika Serikat. Dari balkon Basilika Santo Petrus, pria 69 tahun itu melambaikan tangan ke ribuan umat di Lapangan Vatikan.
Sorakan, tangis, dan nyanyian pecah menyambutnya. Bagi Gereja Katolik, ini lebih dari sekadar seremoni, ini adalah penanda perubahan zaman.
Anak Veteran, Imam dan Kini Paus
Robert lahir dan tumbuh besar di Chicago Selatan, dari keluarga Katolik keturunan Spanyol, Prancis, dan Italia. Ayahnya veteran Perang Dunia II, ibunya pustakawan dan pemusik gereja. Sejak kecil, ia sudah jadi putra altar dan aktif di Gereja St. Mary.
Setelah lulus matematika dari Villanova, ia mendalami teologi di Chicago dan kemudian meraih gelar doktor hukum kanonik di Roma. Pada usia 27 tahun ia ditahbiskan, dan sejak usia 30 tahun, hidupnya berubah.
Ia menetap di Peru, bekerja di Trujillo dan Chiclayo. Di sana Prevost hidup di tengah masyarakat miskin dan terpinggirkan. Jadi pengajar, imam, hingga akhirnya ditunjuk Paus Fransiskus sebagai uskup, lalu kardinal. Selain itu pernah memimpin Ordo Agustinus dan menjabat kepala Dikasteri untuk Uskup di Vatikan.
Leo XIV dikenal sebagai sosok moderat, terbuka terhadap pembaruan sosial, namun tetap teguh pada doktrin gereja. Dirinya mendukung kaum migran dan miskin, namun menolak penahbisan perempuan. Terlihat dia cenderung menghindari polarisasi dalam isu-isu sensitif.
Sebelum jadi paus, ia bahkan masih tercatat sebagai pemilih aktif dalam Pemilu AS, baik dalam pemilu Demokrat maupun Republik.
Prevost memilih nama Leo, mengikuti jejak Paus Leo I, sang negosiator ulung yang menghadapi Attila si Hun pada abad ke-5. Sebuah isyarat bahwa Leo XIV ingin jadi penjaga moral sekaligus juru damai di tengah dunia yang penuh gejolak.
Sambutan Dunia
Ucapan selamat datang dari seluruh penjuru dunia. Presiden Trump menyebutnya “kehormatan besar bagi Amerika.” Obama menyebutnya sebagai “teladan bagi banyak orang, tanpa memandang agama.”
Dari Chicago, Wali Kota Brandon Johnson menulis, “Segala hal hebat, termasuk Paus, berasal dari Chicago!”
Pilihan terhadap Leo XIV mencerminkan transformasi Gereja di era global bukan hanya karena dia orang Amerika, tapi juga karena dia pernah jadi misionaris lintas budaya dan pernah memimpin organisasi besar keagamaan.
Di tengah dunia yang makin mengaburkan batas antara iman dan urusan publik, Leo XIV tampil bukan sekadar pemuka agama, tapi juga pemimpin spiritual global dengan pengalaman akar rumput, birokrasi, dan diplomasi internasional.
RELATED ARTICLES
Paus dari Chicago, Leo XIV dan Langkah Baru Gereja Katolik
Dikenal cukup moderat tapi tetap memegang teguh doktrin gereja

Context.id, JAKARTA - “Seorang uskup tidak seharusnya menjadi pangeran kecil yang duduk di kerajaannya.” Kalimat itu pernah diucapkan Robert Francis Prevost dan pada 8 Mei 2025, dia membuktikan ucapannya. Mantan misionaris di Peru itu terpilih sebagai pemimpin 1,4 miliar umat Katolik di dunia.
Dunia kini mengenalnya sebagai Paus Leo XIV, paus pertama dalam sejarah yang berasal dari Amerika Serikat. Dari balkon Basilika Santo Petrus, pria 69 tahun itu melambaikan tangan ke ribuan umat di Lapangan Vatikan.
Sorakan, tangis, dan nyanyian pecah menyambutnya. Bagi Gereja Katolik, ini lebih dari sekadar seremoni, ini adalah penanda perubahan zaman.
Anak Veteran, Imam dan Kini Paus
Robert lahir dan tumbuh besar di Chicago Selatan, dari keluarga Katolik keturunan Spanyol, Prancis, dan Italia. Ayahnya veteran Perang Dunia II, ibunya pustakawan dan pemusik gereja. Sejak kecil, ia sudah jadi putra altar dan aktif di Gereja St. Mary.
Setelah lulus matematika dari Villanova, ia mendalami teologi di Chicago dan kemudian meraih gelar doktor hukum kanonik di Roma. Pada usia 27 tahun ia ditahbiskan, dan sejak usia 30 tahun, hidupnya berubah.
Ia menetap di Peru, bekerja di Trujillo dan Chiclayo. Di sana Prevost hidup di tengah masyarakat miskin dan terpinggirkan. Jadi pengajar, imam, hingga akhirnya ditunjuk Paus Fransiskus sebagai uskup, lalu kardinal. Selain itu pernah memimpin Ordo Agustinus dan menjabat kepala Dikasteri untuk Uskup di Vatikan.
Leo XIV dikenal sebagai sosok moderat, terbuka terhadap pembaruan sosial, namun tetap teguh pada doktrin gereja. Dirinya mendukung kaum migran dan miskin, namun menolak penahbisan perempuan. Terlihat dia cenderung menghindari polarisasi dalam isu-isu sensitif.
Sebelum jadi paus, ia bahkan masih tercatat sebagai pemilih aktif dalam Pemilu AS, baik dalam pemilu Demokrat maupun Republik.
Prevost memilih nama Leo, mengikuti jejak Paus Leo I, sang negosiator ulung yang menghadapi Attila si Hun pada abad ke-5. Sebuah isyarat bahwa Leo XIV ingin jadi penjaga moral sekaligus juru damai di tengah dunia yang penuh gejolak.
Sambutan Dunia
Ucapan selamat datang dari seluruh penjuru dunia. Presiden Trump menyebutnya “kehormatan besar bagi Amerika.” Obama menyebutnya sebagai “teladan bagi banyak orang, tanpa memandang agama.”
Dari Chicago, Wali Kota Brandon Johnson menulis, “Segala hal hebat, termasuk Paus, berasal dari Chicago!”
Pilihan terhadap Leo XIV mencerminkan transformasi Gereja di era global bukan hanya karena dia orang Amerika, tapi juga karena dia pernah jadi misionaris lintas budaya dan pernah memimpin organisasi besar keagamaan.
Di tengah dunia yang makin mengaburkan batas antara iman dan urusan publik, Leo XIV tampil bukan sekadar pemuka agama, tapi juga pemimpin spiritual global dengan pengalaman akar rumput, birokrasi, dan diplomasi internasional.
POPULAR
RELATED ARTICLES