Dari Panggung ke Kursi Komisaris: Patronase Politik Gaya Indonesia
Para pengkritik menilainya sebagai bentuk patronase politik atau yang dikenal dalam istilah lokal sebagai politik bagi-bagi kue
Context.id, JAKARTA - Di Indonesia, menjadi artis serba bisa adalah hal lumrah. Seorang penyanyi bisa merangkap aktor, pelawak tampil di sinetron, dan presenter merintis bisnis di berbagai bidang. Tapi belakangan, satu gelar lain mulai sering disematkan ke nama-nama selebritas, komisaris perusahaan milik negara atau Pemda.
Yang terbaru adalah Lies Hartono, atau lebih dikenal dengan nama panggungnya, Cak Lontong. Komedian yang dikenal lewat humor absurd ini mendadak diangkat sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk., perusahaan publik yang mengelola kawasan wisata utama milik Pemprov DKI Jakarta.
Penunjukan ini langsung memicu pembicaraan, bukan karena rekam jejaknya di dunia korporasi, melainkan karena keterlibatannya dalam politik. Cak Lontong sempat menjadi Ketua Tim Pemenangan Pramono Anung-Rano Karno untuk Pilkada Jakarta 2024.
Fenomena ini bukan hal baru. Sebelumnya ada Abdee Negara, gitaris grup band Slank, yang menjabat sebagai komisaris PT Telkom Indonesia sejak 2021. Ada pula aktor Fauzi Baadila yang kini duduk di jajaran komisaris PT Pos Indonesia.
Bahkan, Ifan Seventeen, vokalis band pop yang sempat viral karena kehilangan rekan-rekannya dalam tsunami 2018 baru-baru ini diangkat menjadi Direktur Utama BUMN Produksi Film Negara. Banyak yang mempertanyakan kapasitas manajerialnya.
Tak hanya di BUMN. Pemerintah juga menunjuk sejumlah artis sebagai staf khusus. Raffi Ahmad, selebritas dengan jutaan pengikut media sosial, diangkat sebagai utusan khusus Presiden untuk pembinaan generasi muda dan pekerja seni.
Raline Shah ditugasi di bidang kemitraan global dan edukasi digital. Yovie Widianto ditunjuk di sektor ekonomi kreatif dan Deddy Corbuzier, eks pesulap dan pembawa acara podcast, kini menjadi staf khusus Menteri Pertahanan bahkan punya pangkat Letkol Tituler.
Bagi pendukungnya, penunjukan ini dianggap sebagai cara efektif untuk menjangkau generasi muda, mendorong sektor kreatif, dan memberi sentuhan populer pada birokrasi yang kaku. Tapi para pengkritik menilai ini sebagai bentuk patronase politik, atau yang dikenal dalam istilah lokal sebagai politik bagi-bagi kue.
Istilah ini merujuk pada praktik pemberian jabatan atau keuntungan politik kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa memenangkan pemilu atau memberikan dukungan. Di banyak negara, patronase semacam ini bukan hal asing.
Namun di Indonesia, penunjukan artis ke posisi strategis semakin terang-terangan, dan sering kali kurang berkaitan dengan kompetensi profesional.
Apakah ini bentuk penghargaan atas loyalitas dan cara baru menggerakkan pengaruh? Ataukah justru gejala pelemahan institusi di balik wajah demokrasi yang semarak?
RELATED ARTICLES
Dari Panggung ke Kursi Komisaris: Patronase Politik Gaya Indonesia
Para pengkritik menilainya sebagai bentuk patronase politik atau yang dikenal dalam istilah lokal sebagai politik bagi-bagi kue
Context.id, JAKARTA - Di Indonesia, menjadi artis serba bisa adalah hal lumrah. Seorang penyanyi bisa merangkap aktor, pelawak tampil di sinetron, dan presenter merintis bisnis di berbagai bidang. Tapi belakangan, satu gelar lain mulai sering disematkan ke nama-nama selebritas, komisaris perusahaan milik negara atau Pemda.
Yang terbaru adalah Lies Hartono, atau lebih dikenal dengan nama panggungnya, Cak Lontong. Komedian yang dikenal lewat humor absurd ini mendadak diangkat sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk., perusahaan publik yang mengelola kawasan wisata utama milik Pemprov DKI Jakarta.
Penunjukan ini langsung memicu pembicaraan, bukan karena rekam jejaknya di dunia korporasi, melainkan karena keterlibatannya dalam politik. Cak Lontong sempat menjadi Ketua Tim Pemenangan Pramono Anung-Rano Karno untuk Pilkada Jakarta 2024.
Fenomena ini bukan hal baru. Sebelumnya ada Abdee Negara, gitaris grup band Slank, yang menjabat sebagai komisaris PT Telkom Indonesia sejak 2021. Ada pula aktor Fauzi Baadila yang kini duduk di jajaran komisaris PT Pos Indonesia.
Bahkan, Ifan Seventeen, vokalis band pop yang sempat viral karena kehilangan rekan-rekannya dalam tsunami 2018 baru-baru ini diangkat menjadi Direktur Utama BUMN Produksi Film Negara. Banyak yang mempertanyakan kapasitas manajerialnya.
Tak hanya di BUMN. Pemerintah juga menunjuk sejumlah artis sebagai staf khusus. Raffi Ahmad, selebritas dengan jutaan pengikut media sosial, diangkat sebagai utusan khusus Presiden untuk pembinaan generasi muda dan pekerja seni.
Raline Shah ditugasi di bidang kemitraan global dan edukasi digital. Yovie Widianto ditunjuk di sektor ekonomi kreatif dan Deddy Corbuzier, eks pesulap dan pembawa acara podcast, kini menjadi staf khusus Menteri Pertahanan bahkan punya pangkat Letkol Tituler.
Bagi pendukungnya, penunjukan ini dianggap sebagai cara efektif untuk menjangkau generasi muda, mendorong sektor kreatif, dan memberi sentuhan populer pada birokrasi yang kaku. Tapi para pengkritik menilai ini sebagai bentuk patronase politik, atau yang dikenal dalam istilah lokal sebagai politik bagi-bagi kue.
Istilah ini merujuk pada praktik pemberian jabatan atau keuntungan politik kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa memenangkan pemilu atau memberikan dukungan. Di banyak negara, patronase semacam ini bukan hal asing.
Namun di Indonesia, penunjukan artis ke posisi strategis semakin terang-terangan, dan sering kali kurang berkaitan dengan kompetensi profesional.
Apakah ini bentuk penghargaan atas loyalitas dan cara baru menggerakkan pengaruh? Ataukah justru gejala pelemahan institusi di balik wajah demokrasi yang semarak?
POPULAR
RELATED ARTICLES