Share

Home Stories

Stories 30 April 2025

Cokelat Semakin Mahal dan Kita Bisa Kehilangan Rasa yang Kita Cintai

Cuaca ekstrem dan penyakit tanaman yang menyerang pohon Kakao membuat produksi cokelat menjadi menurun dan langka

Ilustrasi buat kakao atau cokelat/getimg.ai

Context.id, JAKARTA - Harga cokelat kini bukan sekadar candaan pahit. Dalam setahun terakhir, lonjakan harga kakao hampir menyentuh 300%, membuat camilan manis ini terasa makin mahal dan makin langka di dapur rumah tangga.

Di Amerika Serikat, harga cokelat untuk Hari Valentine naik sekitar 20% dibanding tahun sebelumnya. Di Inggris, telur cokelat putih Twix bukan hanya naik harga, tapi juga menyusut ukuran menyodorkan realitas baru yang disebut para ekonom sebagai “shrinkflation”.

Apa yang terjadi?

Mengacu laporan Al Jazeera, kita bisa mulai dari Afrika Barat, rumah bagi dua pertiga produksi kakao dunia. Di sana, cuaca ekstrem menjadi mimpi buruk bagi para petani. Musim hujan yang terlalu deras, disusul kemarau panjang yang menyiksa, menghancurkan banyak pohon kakao yang sudah menua. 

Penyakit tanaman ikut memperparah keadaan. Virus “cocoa swollen shoot” yang menyerang Ghana dan Pantai Gading kini mengancam separuh produksi mereka.

Di sisi lain, perubahan iklim bukan sekadar teori akademik. Cuaca tak menentu ini juga dipicu oleh fenomena El Nino, yang memanaskan suhu laut dan merusak pola hujan di kawasan tropis. Memang, ada harapan La Nina datang dan memperbaiki hasil panen. Tapi itu baru kemungkinan, bukan kepastian.

Sementara itu, di Ghana, banyak petani yang menyerah pada harga kakao yang tak sebanding dengan kerja keras mereka. Mereka menjual lahan ke penambang emas ilegal. Tambang-tambang liar kini menggantikan kebun kakao meninggalkan lubang dan lumpur, bukan cokelat.

Harga kakao sempat menyentuh puncaknya Desember lalu, lebih dari US$12.000 per ton. Kini turun ke angka US$8.000-an, tapi masih jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Dan ketidakpastian tetap menggantung: panen berikutnya bisa saja gagal lagi.

Bagaimana dengan produsen cokelat?

Beberapa perusahaan, seperti Barry Callebaut, sudah memangkas proyeksi penjualannya. Sahamnya sempat anjlok 20% dalam sehari. Raksasa makanan seperti Nestlé mencoba menyiasati dengan produk lebih ringan atau mengganti sebagian kakao. Aero, misalnya, meluncurkan varian hazelnut yang lebih ringan dan lebih murah produksinya.

Korporasi lain bahkan berinovasi lebih jauh. Perusahaan AS, Voyage Foods, menciptakan cokelat tanpa kakao terbuat dari biji anggur, tepung bunga matahari, dan rasa buatan. Di Eropa, startup seperti Nukoko dan Planet A sedang menjajal fermentasi mikroba untuk meniru aroma dan rasa cokelat asli.

Apakah kita akan kehilangan cokelat sebagaimana kita mengenalnya?

Belum tentu. Tapi kemungkinan makin nyata. Ketika perubahan iklim, penyakit tanaman, penambangan liar, dan permintaan global bertabrakan di ladang kakao, satu hal jadi jelas: masa depan cokelat tidak lagi semanis dulu.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 30 April 2025

Cokelat Semakin Mahal dan Kita Bisa Kehilangan Rasa yang Kita Cintai

Cuaca ekstrem dan penyakit tanaman yang menyerang pohon Kakao membuat produksi cokelat menjadi menurun dan langka

Ilustrasi buat kakao atau cokelat/getimg.ai

Context.id, JAKARTA - Harga cokelat kini bukan sekadar candaan pahit. Dalam setahun terakhir, lonjakan harga kakao hampir menyentuh 300%, membuat camilan manis ini terasa makin mahal dan makin langka di dapur rumah tangga.

Di Amerika Serikat, harga cokelat untuk Hari Valentine naik sekitar 20% dibanding tahun sebelumnya. Di Inggris, telur cokelat putih Twix bukan hanya naik harga, tapi juga menyusut ukuran menyodorkan realitas baru yang disebut para ekonom sebagai “shrinkflation”.

Apa yang terjadi?

Mengacu laporan Al Jazeera, kita bisa mulai dari Afrika Barat, rumah bagi dua pertiga produksi kakao dunia. Di sana, cuaca ekstrem menjadi mimpi buruk bagi para petani. Musim hujan yang terlalu deras, disusul kemarau panjang yang menyiksa, menghancurkan banyak pohon kakao yang sudah menua. 

Penyakit tanaman ikut memperparah keadaan. Virus “cocoa swollen shoot” yang menyerang Ghana dan Pantai Gading kini mengancam separuh produksi mereka.

Di sisi lain, perubahan iklim bukan sekadar teori akademik. Cuaca tak menentu ini juga dipicu oleh fenomena El Nino, yang memanaskan suhu laut dan merusak pola hujan di kawasan tropis. Memang, ada harapan La Nina datang dan memperbaiki hasil panen. Tapi itu baru kemungkinan, bukan kepastian.

Sementara itu, di Ghana, banyak petani yang menyerah pada harga kakao yang tak sebanding dengan kerja keras mereka. Mereka menjual lahan ke penambang emas ilegal. Tambang-tambang liar kini menggantikan kebun kakao meninggalkan lubang dan lumpur, bukan cokelat.

Harga kakao sempat menyentuh puncaknya Desember lalu, lebih dari US$12.000 per ton. Kini turun ke angka US$8.000-an, tapi masih jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Dan ketidakpastian tetap menggantung: panen berikutnya bisa saja gagal lagi.

Bagaimana dengan produsen cokelat?

Beberapa perusahaan, seperti Barry Callebaut, sudah memangkas proyeksi penjualannya. Sahamnya sempat anjlok 20% dalam sehari. Raksasa makanan seperti Nestlé mencoba menyiasati dengan produk lebih ringan atau mengganti sebagian kakao. Aero, misalnya, meluncurkan varian hazelnut yang lebih ringan dan lebih murah produksinya.

Korporasi lain bahkan berinovasi lebih jauh. Perusahaan AS, Voyage Foods, menciptakan cokelat tanpa kakao terbuat dari biji anggur, tepung bunga matahari, dan rasa buatan. Di Eropa, startup seperti Nukoko dan Planet A sedang menjajal fermentasi mikroba untuk meniru aroma dan rasa cokelat asli.

Apakah kita akan kehilangan cokelat sebagaimana kita mengenalnya?

Belum tentu. Tapi kemungkinan makin nyata. Ketika perubahan iklim, penyakit tanaman, penambangan liar, dan permintaan global bertabrakan di ladang kakao, satu hal jadi jelas: masa depan cokelat tidak lagi semanis dulu.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025