Cokelat Semakin Mahal dan Kita Bisa Kehilangan Rasa yang Kita Cintai
Cuaca ekstrem dan penyakit tanaman yang menyerang pohon Kakao membuat produksi cokelat menjadi menurun dan langka

Context.id, JAKARTA - Harga cokelat kini bukan sekadar candaan pahit. Dalam setahun terakhir, lonjakan harga kakao hampir menyentuh 300%, membuat camilan manis ini terasa makin mahal dan makin langka di dapur rumah tangga.
Di Amerika Serikat, harga cokelat untuk Hari Valentine naik sekitar 20% dibanding tahun sebelumnya. Di Inggris, telur cokelat putih Twix bukan hanya naik harga, tapi juga menyusut ukuran menyodorkan realitas baru yang disebut para ekonom sebagai “shrinkflation”.
Apa yang terjadi?
Mengacu laporan Al Jazeera, kita bisa mulai dari Afrika Barat, rumah bagi dua pertiga produksi kakao dunia. Di sana, cuaca ekstrem menjadi mimpi buruk bagi para petani. Musim hujan yang terlalu deras, disusul kemarau panjang yang menyiksa, menghancurkan banyak pohon kakao yang sudah menua.
Penyakit tanaman ikut memperparah keadaan. Virus “cocoa swollen shoot” yang menyerang Ghana dan Pantai Gading kini mengancam separuh produksi mereka.
Di sisi lain, perubahan iklim bukan sekadar teori akademik. Cuaca tak menentu ini juga dipicu oleh fenomena El Nino, yang memanaskan suhu laut dan merusak pola hujan di kawasan tropis. Memang, ada harapan La Nina datang dan memperbaiki hasil panen. Tapi itu baru kemungkinan, bukan kepastian.
Sementara itu, di Ghana, banyak petani yang menyerah pada harga kakao yang tak sebanding dengan kerja keras mereka. Mereka menjual lahan ke penambang emas ilegal. Tambang-tambang liar kini menggantikan kebun kakao meninggalkan lubang dan lumpur, bukan cokelat.
Harga kakao sempat menyentuh puncaknya Desember lalu, lebih dari US$12.000 per ton. Kini turun ke angka US$8.000-an, tapi masih jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Dan ketidakpastian tetap menggantung: panen berikutnya bisa saja gagal lagi.
Bagaimana dengan produsen cokelat?
Beberapa perusahaan, seperti Barry Callebaut, sudah memangkas proyeksi penjualannya. Sahamnya sempat anjlok 20% dalam sehari. Raksasa makanan seperti Nestlé mencoba menyiasati dengan produk lebih ringan atau mengganti sebagian kakao. Aero, misalnya, meluncurkan varian hazelnut yang lebih ringan dan lebih murah produksinya.
Korporasi lain bahkan berinovasi lebih jauh. Perusahaan AS, Voyage Foods, menciptakan cokelat tanpa kakao terbuat dari biji anggur, tepung bunga matahari, dan rasa buatan. Di Eropa, startup seperti Nukoko dan Planet A sedang menjajal fermentasi mikroba untuk meniru aroma dan rasa cokelat asli.
Apakah kita akan kehilangan cokelat sebagaimana kita mengenalnya?
Belum tentu. Tapi kemungkinan makin nyata. Ketika perubahan iklim, penyakit tanaman, penambangan liar, dan permintaan global bertabrakan di ladang kakao, satu hal jadi jelas: masa depan cokelat tidak lagi semanis dulu.
RELATED ARTICLES
Cokelat Semakin Mahal dan Kita Bisa Kehilangan Rasa yang Kita Cintai
Cuaca ekstrem dan penyakit tanaman yang menyerang pohon Kakao membuat produksi cokelat menjadi menurun dan langka

Context.id, JAKARTA - Harga cokelat kini bukan sekadar candaan pahit. Dalam setahun terakhir, lonjakan harga kakao hampir menyentuh 300%, membuat camilan manis ini terasa makin mahal dan makin langka di dapur rumah tangga.
Di Amerika Serikat, harga cokelat untuk Hari Valentine naik sekitar 20% dibanding tahun sebelumnya. Di Inggris, telur cokelat putih Twix bukan hanya naik harga, tapi juga menyusut ukuran menyodorkan realitas baru yang disebut para ekonom sebagai “shrinkflation”.
Apa yang terjadi?
Mengacu laporan Al Jazeera, kita bisa mulai dari Afrika Barat, rumah bagi dua pertiga produksi kakao dunia. Di sana, cuaca ekstrem menjadi mimpi buruk bagi para petani. Musim hujan yang terlalu deras, disusul kemarau panjang yang menyiksa, menghancurkan banyak pohon kakao yang sudah menua.
Penyakit tanaman ikut memperparah keadaan. Virus “cocoa swollen shoot” yang menyerang Ghana dan Pantai Gading kini mengancam separuh produksi mereka.
Di sisi lain, perubahan iklim bukan sekadar teori akademik. Cuaca tak menentu ini juga dipicu oleh fenomena El Nino, yang memanaskan suhu laut dan merusak pola hujan di kawasan tropis. Memang, ada harapan La Nina datang dan memperbaiki hasil panen. Tapi itu baru kemungkinan, bukan kepastian.
Sementara itu, di Ghana, banyak petani yang menyerah pada harga kakao yang tak sebanding dengan kerja keras mereka. Mereka menjual lahan ke penambang emas ilegal. Tambang-tambang liar kini menggantikan kebun kakao meninggalkan lubang dan lumpur, bukan cokelat.
Harga kakao sempat menyentuh puncaknya Desember lalu, lebih dari US$12.000 per ton. Kini turun ke angka US$8.000-an, tapi masih jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Dan ketidakpastian tetap menggantung: panen berikutnya bisa saja gagal lagi.
Bagaimana dengan produsen cokelat?
Beberapa perusahaan, seperti Barry Callebaut, sudah memangkas proyeksi penjualannya. Sahamnya sempat anjlok 20% dalam sehari. Raksasa makanan seperti Nestlé mencoba menyiasati dengan produk lebih ringan atau mengganti sebagian kakao. Aero, misalnya, meluncurkan varian hazelnut yang lebih ringan dan lebih murah produksinya.
Korporasi lain bahkan berinovasi lebih jauh. Perusahaan AS, Voyage Foods, menciptakan cokelat tanpa kakao terbuat dari biji anggur, tepung bunga matahari, dan rasa buatan. Di Eropa, startup seperti Nukoko dan Planet A sedang menjajal fermentasi mikroba untuk meniru aroma dan rasa cokelat asli.
Apakah kita akan kehilangan cokelat sebagaimana kita mengenalnya?
Belum tentu. Tapi kemungkinan makin nyata. Ketika perubahan iklim, penyakit tanaman, penambangan liar, dan permintaan global bertabrakan di ladang kakao, satu hal jadi jelas: masa depan cokelat tidak lagi semanis dulu.
POPULAR
RELATED ARTICLES